Tidak seperti biasanya, Safira berangkat lebih dulu untuk bekerja. Sedang Riki dan Winarti belakangan.
Pagi ini Safira sengaja berangkat lebih lama dari biasanya. Dia ingin menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sebagai permintaan maaf atas kejadian malam tadi.
Penuh semangat dia menata menu sarapan pagi di atas meja makan. Menunggu penghuni rumah lainnya bersiap.
Riki orang yang pertama datang kemeja makan tampak heran, melihat Safira masih di rumah dan menyiapkan sarapan pagi. Biasanya sarapan saja dia terburu buru.
"Fira, tumben kau belum berangkat?" tanya Riki, sembari menarik kursi lalu duduk disana. Mata tajamnya menatap Safira yang tengah membuka apron dari tubuhnya.
"Iya mas, hari ini gak terlalu sibuk. Jadi bisa berangkat sedikit siang." sahut Safira. Dia menarik kursi di sisi Riki lalu duduk disana.
Tak berapa lama Winarti juga menyusul ke ruang makan. Sedang putra mereka masih bersiap, karena baru saja bangun.
Safira dan Riki memang tidak terjun langsung mengurus anak mereka satu satunya. Karena kesibukan mereka, menuntut mereka harus mempekerjakan pengasuh untuk putra mereka satu satunya.
"Wah, tumben mbak Fira belum berangkat." ujar Winarti saat melihat Safira sarapan dengan santai. Biasanya dia selalu terburu buru, karena tempat kerjanya yang lumayan jauh jadi banyak memakan waktu di jalan.
"Iya dek, kebetulan pekerjaan mbak hari ini gak terlalu banyak." sahut Safira, sembari menatap Winarti. Tak sengaja matanya menangkap bintik kemerahan di balik kemeja Winarti.
Winarti memakai kemeja putih, dengan kancing yang sengaja dia buka sedikit rendah. Sehingga mengespos leher dan belahan dadanya yang menantang.
Melihat itu Safira melirik suaminya, siapa tau pria itu diam diam menikmati pemandangan yang di suguhkan Winarti.
Safira tersenyum puas saat melihat Riki hanya focus pada piring nasinya.
"Kamu sudah punya pacar?" tanya Safira, sembari menatap Winarti.
Winarti terdiam, tapi kemudian tersenyum. "Kok mbak tau?" sahutnya senang.
"Gimana gak tau. Tuh lihat lehermu merah semua." ujar Safira dengan mimik muka serius.
Kalimat Safira sukses membuat Riki mengangkat wajahnya menatap dada Winarti. Wajahnya langsung pucat saat melihat hasil karyanya tercetak jelas disana.
Sial...!!!
"Mbak gak ngelarang kamu pacaran, tapi jangan terlalu berlebihan. Apa lagi belum jelas laki laki itu serius sama kamu apa gak. Bukan apa apa, mbak gak mau kamu sakit hati. Karena mbak udah anggap kamu adik sendiri." ujar Safira menasihati.
Tidak ada raut sakit hati di wajah Winarti. Wanita itu malah senyum senyum menatap Safira yang sedang menasehatinya.
"Iya mbak, terimakasih udah ngasih aku nasehat. Tapi pacarku ini serius sama aku kok mbak. Dia gak main main." sahut Winarti, sementara sudut matanya melirik ke Riki. Membuat Safira ikut melirik suaminya.
Safira tertegun sesaat saat melihat perubahan wajah Riki. Entah mengapa mendadak perasaannya jadi tak enak. Ada sesuatu yang menganjal di hatinya saat melihat gerak gerik Winarti.
Gadis yang biasanya bersikap lugu dan sopan itu, hari ini terlihat centil. Bahkan saat makan tidak sekali dua kali dia melihat Winarti melirik Riki dengan sorot mata menggoda.
"Berapa usia pacarmu?" tanya Safira.
Winarti yang sedang menumpuk piring kotor di meja, kembali meliri Riki. "Tiga puluh lebih kayaknya mbak." sahutnya manja. Membuat Safira jengah. Mungkin karena jatuh cinta, bisa jadi seperti itu.
"Ooo sudah dewasa ya," ujar Safira menanggapi.
"Ya gitu lah mbak."
"Semoga langgeng ya, biasanya lelaki dewasa kalau pacaran gak suka main main."
"Amin mbak, aku sih berharapnya gitu." ujarnya sembari tersenyum centil.
"Ya udah, mbak udah harus berangkat kerja. Kamu juga mau ke kampus kan?"
"Iya mbak."
Safira beralih pada Riki yang ternyata sedang menatap Winarti dengan mata membulat. Merasa di pergoki istrinya, Riki terlihat gugup.
"Mas mau berangkat sekarang atau nanti?" tanya Safira, berlagak tak tau kelakuan suaminya.
"Iya aku pergi bareng sayang." sahut Riki, lalu beranjak bangkit.
"Ya udah pamit dulu sama jagoan mu sana." ujar Safira sembari menyentuh pundak Riki. Lalu mengekori langkah Riki dari belakang.
"Iya sayang."
Keduanya tampak pergi kekamar Rifai untuk berpamitan. Sebab hanya pagi seperti ini mereka baru bisa bertemu putra mereka satu satunya. Saat mereka pulang kerja nanti, Rifai sudah terlelap di alam mimpi.
Sementara Winarti memandang keduanya dengan perasaan geram. Apa lagi saat melihat Riki menggandeng tangan istrinya dengan begitu mesrah. Hatinya panas di bakar api cemburu. Lama lama dia tak tahan dengan kedekatan keduanya. Perasaan cemburu dan merasa di kalahkan membuatnya bertindak sembrono. Seperti tindakannya tadi, yang sengaja memamerkan tato cinta yang di buat Riki.
Sementara Riki merasa jengkel dengan tindakan sembrono Winarti. Bagaimana kalau Safira sampai curiga, bisa runyam urusannya.
"Mas mau pergi bareng aku gak?" ajak Safira, setelah berpamitan dengan putra mereka.
"Aku masih ada pekerjaan yang belum selesai di rumah. Kamu duluan aja." tolak Riki.
"Ya udah, kalau gitu aku duluan ya mas."
"Iya sayang." Pria bertubuh tegap berisi itu, meraih tubuh langsing istrinya. Lalu melabuhkan kecupan hangat di keningnya.
"Tumben?" ujar Safira setelah Riki melepas kecupannya.
"Kok gitu sih sayang, dulu juga seringkan aku lakukan. Tapi karena kamunya selalu pergi duluan, ya aku gak ada kesempatan buat mesrah ke kamu kayak gini."
Safira terkekeh mendengar ucapan Riki. "Iya iya, ya udah aku buru buru harus pergi. Soalnya ada yang mau fitting baju pengantin di kantor ku."
"Ooo ya udah, ayok aku anter."
Riki mengantarkan Safira kegarasi, lelaki itu bahkan tak beranjak dari tempatnya sampai mobil Safira menghilang di balik tembok.
Setelah itu dia bergegas masuk kedalam rumah. Dikamarnya, dia sibuk mengetik pesan untuk Winarti.
"Apa yang kau lakukan tadi?!" ketiknya dengan ekspresi geram. Tak butuh waktu lama, pesannya langsung berbalas.
"Memangnya apa?" balas Winarti.
Merasa tak puas dengan hanya mengirim pesan. Riki melakukan panggilan suara.
"Kau sudah gila?!" umpat Riki, begitu panggilan diangkat Winarti.
"Apa sih, kok marah marah." terdengar suara manja Winarti, merajuk.
"Gak usah ngeles, kamu sengaja kan?"
"Gk lah, masak aku gila sengaja gitu."
"Siapa tau, kau tidak pernah seperti ini sebelumnya. Tapi tadi kau buat aku jengkel."
"Memangnya aku tadi ngapain."
"Kau sengaja bersikap genit terhadap ku kan, agar di lihat Fira. Kau pikir aku suka dengan kelakuan mu. Jangan coba macam macam, awas kalau hal itu kau lakukan lagi." ancam Riki.
Winarti tak menyahut, dia malah memutus panggilan. Membuat Riki bertambah geram di buat gadis itu.
Winarti meremas ujung kemejanya kesal. Kurang apa dia melayani lelaki itu, tapi ini balasannya. Dia hanya membalas sedikit pada Riki, tapi Riki sudah semarah itu.
Dia akui dialah yang merayu Riki duluan, tapi bukankah pria itu mau. Setelahnya pria itulah yang selalu mengajak dia bercinta sepanjang malam.
Lalu apa artinya itu, apa Riki sama sekali tak menganggap dirinya ada?
Keterlaluan...!
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments