Pindahan

Pria bernama Adelio Prasaja, dengan panggilan Lio itu baru saja pindah ke sebuah kompleks perumahan. Semua perabot belum tersusun sempurna, maklum saja, untuk seorang lelaki yang tinggal sendiri sepertinya kemudian diminta pindah tinggal oleh Ayahnya dengan perabotan serba baru membuatnya bingung. Harus memulai menyusun barang-barang itu dari mana.

Ia menjatuhkan diri pada sebuah sofa yang belum bertempat diposisi seharusnya. Mengulas napas yang tersengal. Peluh membasahi tubuh atletisnya.

“Andai saja aku membiarkan para bapak-bapak itu mengangkat barang-barang ini ke tempatnya, aku tidak akan bingung seperti ini.” Keluhnya pada diri sendiri, saat perabotan itu diantarkan oleh anak buah pemilik toko, mereka sudah menawarkan diri untuk membantunya mengangkat dan menyusun perabot tersebut, namun pemuda itu menolak dengan alasan akan disusun sendiri. Alhasil ia kewalahan menata perabot rumahnya seorang diri.

Drttt…

Ponselnya bergetar. Ia merogohnya dari dalam saku kemudian menekan tombol jawab.

“Halo, Assalamualaikum Pa.” Sapanya.

“Wa alaikum salam. Gimana rumah barumu, udah selesai beres-beresnya?” pria yang menelepon itu adalah Ayahnya, Hendi Prasaja.

“Belum Pa. Aku bingung beresinnya.”

“Mau Papa panggilin orang untuk membatu bereskan?”

“Gak usah Pa, nanti Lio beresin sendiri.” Lagi-lagi pemuda itu menolak tawaran bantuan. Bukan karena tidak butuh. Ia menginginkan bantuan itu turun dari tangan Ayahnya sendiri. Namun sudahlah, bisa jadi pria paruh baya itu sibuk di kantornya atau pun mungkin sudah tidak mampu mengangkat beban. Maka ia pun akan mengurus dirinya sendiri.

“Yaudah kalau gitu nanti kamu temuin Papa di kantor ya.”

“Oke Pa.” Sambungan telepon itu berakhir.

“Haduh, kayaknya aku gak boleh istirahat. Mesti cepet-cepet beresin trus ke kantor.”

Pemuda itu bangkit lagi dari duduknya kemudian sibuk menata barang.

---ooo---

Matahari bersinar dengan terik. Lio sudah mendaratkan diri di halaman kantor selepas sholat dhuhur guna memenuhi permintaan sang Ayah. Tubuhnya penat, tulang-tulang dan sendinya terasa nyeri, tapi apalah daya, menjadi anak berbakti adalah keinginannya sejak kecil. Sehingga rasa penat itu pun sirna saat melihat PT. TIRTA PRASAJAYA terpampang pada dekorasi luar gedung kantor tersebut.

Pemuda itu sangat merindukan tempat dimana Ayahnya merintis usaha itu. Saat masih kecil ia sering ke gedung ini bersama almarhumah sang Mama. Sayang, itu sudah lama sekali, sebelum gedung kantor ini berubah lebih modern.

Ia segera melangkahkan kaki memasuki gedung tersebut. Sambutan hangat menyapanya dari meja resepsionis.

“Ada yang bisa saya bantu Pak?”

“Saya ingin bertemu Pak Hendi.”

“Baik. Apakah anda sudah membuat janji temu?”

“Tidak. Beliau mengundang saya secara pribadi.”

“Oh maaf. Apakah anda Pak Adelio prasaja?”

“Benar.”

“Baiklah. Mari saya antar.”

“Tidak perlu. Biar saya masuk sendiri. Terimakasih sebelumnya.” Pemuda itu segera meninggalkan sang resepsionis tersebut.

Menekan tombol nomor tujuh. Lift pun berjalan ke lantai atas tempat dimana sang komisaris kantor berada. Tak berselang lama pintu segera terbuka. Pemuda jangkung itu mengarahkan langkah ke ruangan komisaris.

Tok tok tok

Dengan sopan, Lio mengetok pintu pejabat tertinggi perusahaan ini.

“Silahkan masuk.” Pintanya dari dalam.

“Assalamualaikum Pak Hendi prasaja.” Pemuda itu mengucap salam seperti biasa kepada empunya perusahaan.

“Wa alaikumsalam.” Balasnya kemudian, dengan wajah sumringah menyambut kedatangan sang putra, “Adelio prasaja.” Pria paruh baya bertubuh jangkung itu mendekat lalu memeluk tubuh putranya yang mewarisi gen jangkung tersebut.

“Papa semakin menua.” Ucap Lio setengah meledek membalas pelukan sang Ayah.

“Tentu saja. Jika aku bertambah muda, maka aku akan menjadi sainganmu memperebutkan wanita.” Balas Pak Hendi. Lio tergelak.

“Bagaimana kota ini? Kau masih tidak menyukainya?” pria paruh baya itu melepaskan pelukan lalu mencengkeram kedua lengan putranya.

“Tidak. Aku menyukainya, hanya saja aku selalu teringat almarhumah Mama.” Mereka duduk beriringan.

“Tentu saja, karena tak ada yang bisa menggantikan posisinya di hatimu.” Pak Hendi menepuk pundak putranya.

“Bagaimana kabar orang rumah?” tanya Lio.

Mereka pun terlibat obrolan yang intim sampai obrolan serius. Mulai dari pembahasan keluarga sampai soal perusahaan.

Saat mereka tengah mengobrol dengan asiknya, seorang pria masuk ke dalam ruangan dan bergabung dengan mereka. Ia adalah Denis wijaya, saudara tiri Lio. Anak dari istri kedua Hendi prasaja. Lebih jelasnya, saat pak Hendi menikah dengan istri keduanya, ia membawa seorang anak dari almarhum istri pertamanya Adelio prasaja, lalu istri keduanya yang bernama Mirna ayu membawa anak dari suami pertamanya pula yaitu Denis wijaya. Sehingga kedua pemuda itu menjadi saudara tiri.

“Lama tak berjumpa Adelio. Kelihatannya kau semakin gagah.” Ucap Denis

“Alhamdulillah jika abang berkata begitu. Abang juga tampak semakin mapan.” Balas Lio.

“Bagaimana aku bisa mapan jika jabatanku tidak pernah dinaikkan. Terlebih lagi, sekarang adik tiriku menjadi atasanku.” Singgung Denis terang-terangan.

Lio dan Ayahnya saling pandang dan merasa canggung atas penuturan Denis.

“Berikan kesempatan kepada Lio untuk bisa menjadi bagian dari perusahaan ini juga.” Pak Hendi angkat bicara.

“Memberikan kesempatan bukan berarti langsung menempatkannnya di posisi tertinggi Pa.” Sergah Denis.

“Apa kau tidak terima? Kau jangan serakah Denis. Lio juga putraku. Aku berhak memberikannya kenyamanan yang tidak ia dapatkan saat belia.” Pak Hendi.

“Ya benar, dia putramu, sedangkan aku hanya anak sambungmu.” Ujar Denis. Ia beranjak pergi, namun Lio meraih tangannya, “bang.”

Genggaman tangan Lio dicekal begitu saja oleh Denis yang murka. Ia tak mengindahkan Lio yang berusaha untuk menenangkannya.

“Sekarang kau tidak perlu memikirkan apapun lagi. Kau tidak perlu merasa tidak enak hati kepada saudara tirimu itu, kau berhak mendapatkannya. Kau adalah putraku.”

“Tapi bang Denis tersinggung Pa. Ia pasti merasa rendah diri jika aku mejadi atasannya.”

“Itu sudah menjadi keputusan Papa. Jika dia tidak terima, terserah dia mau berbuat apa.”

Lio mengela napas berat. Ada sesak dalam rongga dadanya. Kehadirannya kembali ke kota ini tidak membuat saudara tirinya itu senang. Ia malah menganggapnya saingan. Sudah sejak lama Lio mengalah, tak mendapatkan banyak fasilitas mewah sang Ayah sejak sekolah karena ia memilih keluar dari rumah dan tinggal bersama paman bibinya di kota sebelah agar keluarga baru Ayahnya itu tak merasa kurang kasih sayang dari Ayahnya. Namun tanpa sadar, dirinya sendirilah yang kurang mendapat kasih sayang itu dari sang Ayah. Kini, perihal posisi dalam perusahaan pun ingin dikuasainya. Bukankah itu sudah melampaui batas?.

“Kalau begitu aku pamit berkeliling ya Pa sekalian sholat ashar. Setelah itu aku akan pulang.” Ucap Lio pamit.

“Kau tidak mampir menyapa Ibumu?” tawar pak Hendi.

Lio terdiam cukup lama, memikirkan jawaban dan tindakan yang akan ia lakukan, “sebaiknya tidak Pa, aku titip salam untuk Alisya.” Jawab Lio kemudian.

“Baiklah akan Papa sampaikan. Dia pasti senang mendapat salam itu darimu.”

Lio pun beranjak setelah mengucapkan salam. Menunaikan Shalat ashar yang tertinggal di musholah kemudian berkeliling dan mengamati area kantor yang akan menjadi tempat kerja barunya nanti.

Terpopuler

Comments

Gato Piola

Gato Piola

Cerita ini menggabungkan emosi dan petualangan dengan sempurna.

2024-01-18

3

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 61 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!