Seperempat Abad

Pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor, Yuna sudah rapi dengan pakaian kerjanya, mengenakan hijab segi empat bernada sama dengan busananya, make up tipis agar tak terlihat kusam. Sling bag dan arloji sebagai aksesoris.

 Ia sudah duduk di meja makan menunggu Ayahnya yang masih berpakaian. Perutnya sudah terasa perih, cacing-cacingnya seolah berdemo ingin mendapat jatah makan. Namun keluarganya menjadikan makan bersama sebagai sebuah tradisi, jadi tak sopan untuk makan duluan, kecuali dalam kondisi tertentu.

Pagi ini ia tak buru-buru. Jadi, ia sempatkan untuk makan bersama orang tuanya.

Bakwan jagung yang berada tepat di hadapan Yuna seolah memanggil-manngil untuk segera dilahap. Ibunya ikut menjatuhkan diri pada kursi yang ada di hadapan Yuna setelah siap menyajikan menu sarapan pagi ini. Menunggu sang Ayah, sesekali wanita paruh baya bernama Santi itu mencuri pandang kepada putrinya.

“Na?” ia pun mulai menyapa putri semata wayangnya tersebut.

“Ya Bu?” sahut Yuna. Ia pun segera menyambar bakwan jagung untuk mengganjal perut, selagi menunggu Ayahnya duduk bersama.

“Kamu udah punya pacar?”

Yuna menatap Ibunya lekat, “belum Bu.” Berkata dengan hati-hati.

“Yuna kan udah bilang gak mau pacaran, kalau Yuna sudah mendapatkan calon yang tepat, pasti akan langsung Yuna kenalkan pada Ibu.”

“Kamu masih ingat kan usiamu semakin bertambah?”

“Ingat kok Bu.”

“Yuna, kamu semakin menua. Usiamu sudah seperempat abad. Tugasmu bukan hanya kerja dan nonton drakor. Kamu harus membuat generasi baru, makanya kamu harus nikah.”

Yuna bergeming.

“Kamu selalu menolak untuk dijodohkan, sementara kamu tetap bersantai tidak memikirkan pernikahan, apa kamu tau perasaan Ayah sama Ibu? Kami semakin menua, sementara anak gadis kami tidak kunjung menikah, lalu orang-orang menggunjingkannya. Perasaan kami terluka. Kalau kami sudah tidak ada, lalu siapa yang akan menjagamu?”

“Ibu! Jangan bicara begitu.”

“Itu memang benar Yuna. Begitulah perasaan kami sebagai orang tua.”

Untuk sepersekian detik keduanya terdiam.

“Ibu harap, kamu bisa segera menikah.”

Yuna terhenyak, ia menatap Ibunya lekat, “tapi, bagaimana Bu? Aku kan belum punya calon.”

“Ibu yang akan mencarikanmu calon. Ibu akan mengenalkanmu pada seseorang. Dia anak teman arisan Ibu. Kamu bersedia kan?” Akhirnya Bu Sinta mengutarakan niat pembicaraannya.

“Ibu.” Yuna merengek.

Saat ini, usia Yuna memang terbilang usia pantas menikah. 26 tahun tidak lagi dini untuk membahas pernikahan. Bahkan teman-teman seangkatannya sudah berlomba-lomba untuk menikah dan memiliki anak. Sedangkan dirinya masih saja asik nonton drama Korea. Namun, itu bukan berarti ia harus dijodohka begitu saja, ini jaman modern. Perjodohan bukanlah tren, apalagi menikah karena perjodohan itu tidak akan nyaman.

“Aku minta satu kesempatan lagi. Kalau aku benar-benar tidak menemukan jodohku sendiri, aku bersedia dijodohkan dengan siapapun pemuda pilihan Ibu.” Pinta Yuna.

“Ibu, tidak gampang menemukan seseorang yang cocok untuk pendamping hidup kita begitu saja, jadi kumohon, bersabar sedikit lagi ya.”

“Yuna … .”

“Ibu!” gadis itu buru-buru memotong pembicaraan Ibunya.

“Ada apa ini?” ditengah ketegangan Ibu dan anak itu, Pak Darmawan, pria yang ditunggu-tunggu kehadirannya sejak tadi akhirnya muncul.

“Ayah. Ibu ingin menjodohkanku dengan anak temannya.” Gadis dewasa itu mengadu pada Ayahnya bak anak SD yang dirundung teman-temannya.

Pria setengah baya bertubuh tambun itu duduk di kursi paling ujung, berada antara Yuna dan Ibunya, sehingga kedua wanita itu menoleh padanya dengan saksama.

“Bagus itu. Artinya putri Ayah tidak perlu repot-repot lagi cari jodoh sendiri.”

“Ayah!” kembali, gadis berhijab dengan lesung pipi itu merengek pada Ayahnya, “aku tidak nyaman dengan perjodohan.”

“Yuna, kamu kan belum bertemu dengan pemuda itu. Siapa tau saja, dia adalah pria yang kau cari selama ini.” Pak Darmawan menegaskan.

Pria itu tahu betul keinginan putrinya, sosok gadis yang tak hanya menjadikan pernikahan sebagai ajang mengubah status. Ia ingin menjadikan pernikahan sebagai tempat memadu cinta dan kasih sayang seterusnya. Oleh sebab itu, ia ingin menemukan seseorang yang benar-benar jatuh cinta padanya dan ia pun mencintainya dengan tulus. Namun, usia putri semata wayangnya itu pun semakin menua, tidak ada lagi waktu untuk berleha-leha hanya menatapi drama Korea dan menunggu jodoh datang begitu saja.

Yuna hanya mendengkus, kehabisan kata-kata untuk meyakinkan kedua orang tuanya tersebut.

“Jodoh bisa bertemu di jalan, di kantor, di masjid bahkan dengan perjodohan itu sendiri. Jadi tidak ada salahnya kamu coba dulu mengenal pemuda itu.” Pak Darmawan melempar senyum, namun gadis itu malah merengut.

“Bagaimana? Kamu setuju kan?”

Gadis itu mengangguk dengan berat hati.

---ooo---

Jam istirahat kantor sedang berjalan. Kerumunan karyawan memenuhi sudut-sudut kantin dan musholah. Siang ini Yuna dan Wanda juga Kasim selesai menunaikan sholat. Ketiga sahabat itu sudah duduk di meja kantin dengan menu makan siang masing-masing.

“Gaes?!” Yuna menyapa kedua sahabatnya dengan raut serius.

“Kenapa Na?” tanya Wanda.

“Apa argumen kalian tentang jodoh?”

“Ha? Kenapa tiba-tiba membahas itu?”

“Aku hanya ingin tau pendapat kalian.”

“Menurutku, jodoh itu rahasia lah. Allah yang tentuin.” Balas Wanda.

“Udah tau rahasia Allah ngapain juga pacaran? Pacaran lama-lama eh gak taunya bukan jodoh, sakit tau, jagain jodoh orang.” Ledek Kasim.

“Maksudmu apa? Ngeledek aku belum dinikahin Ronald? Aku pacaran itu kan salah satu usahaku untuk menemukan jodoh!.” Wanda naik pitam.

“Mana ada begitu. Menemukan jodoh itu kalau kenal sebulan trus nikah. La ini udah bertahun-tahun tapi masih gak jelas.”

“Kok kalian malah gelut sih.” Protes Yuna. Namun sayangnya ocehannya tak ada yang mendengar. Kedua sahabatnya itu masih seru melanjutkan perdebatan. Meskipun sekali lagi Yuna meminta perhatian, Kasim dan Wanda tidak juga menggubris, hingga akhirnya,

“Ya udah! Gelut aja terus, sampai aku doain jodoh!” Yuna memilih jalan ninjanya untuk melerai perdebatan Kasim dan Wanda. Kedua sahabat itu terdiam sejenak.

“Gak sudi berjodoh sama Kasim.” Tepis Wanda.

“Emang aku mau.” Timpal Kasim.

“Semoga kalian jodoh. Aamiin.” harap Yuna, kesal. Kedua sahabat itu akhirnya kembali mengatupkan bibir.

“Aku tuh lagi pusing, lagi bimbang. Pengen cerita sama kalian, tapi malah kalian yang asik debat.” Omel Yuna.

“Ibuku mau aku segera menikah, dan aku akan dijodohkan.” Ungkap Yuna tiba-tiba.

“APA?.”

“Serius?.”

“Iya. Makanya aku bimbang. Aku butuh pendapat kalian.”

“Emang sama siapa?.”

“Aku juga belum tau. Tapi dia anak temannya Ibu.”

“Kalau memang Ibumu mau kamu cepat nikah, ya saran aku sih, mending kamu coba. Kalau kamu cocok ya teruskan, kalau enggak ya suruh Ibumu cari kandidat lain.” Kasim memberikan saran. Disatu sisi, Yuna memang sudah berumur, sudah seharusnya dia menikah. Disisi lain, Yuna akan sulit mendapatkan jodoh karena tidak pernah pacaran, maka saran perjodohan dari orang tuanya adalah cara terbaik bagi Yuna untuk mendapatkan pasangan.

“Gak segampang itu Cim, perjodohan itu berat. Entah aku atau dia pasti akan merasa tertekan. Dan entah mengapa rasanya aku tidak bisa menerima ini.” Yuna menyangkal.

“Apa kamu menyukai seseorang selama ini?” pemuda itu melempar tanya.

“Enggak sih. Aku hanya menyukai oppa-oppaku.”

“Aku serius, Yuna!” Kasim tegas, “apa kau sedang menyukai seorang pria?.”

Yuna menggeleng, “enggak.”

“Kau sedang menunggu lamaran seseorang?”

“Enggak.”

“Lantas apa yang kau tunggu? Usiamu sudah seperempat abad, kau tidak punya pacar yang kau tunggu lamarannya. Kau seharusnya menyambut dengan senang hati niat orang tuamu.” Kasim menasihati.

“Apa kamu belum ada niat untuk menikah?” Kasim kembali melempar tanya.

“Aku juga belum yakin Cim. Tapi, kalau aku sudah mantap dengan calonnya, sepertinya aku juga sudah siap untuk menikah.”

“Ya sudah, kalau begitu kamu coba saja perjodohan itu. Bisa jadi kan tiba-tiba kalian memang jodoh.”

“Aku juga nyaranin gitu Na, ikutin kata orang tuamu. Kalau kamu nyaman dengan orang itu alhamdulillah, kalau tidak, aku yakin ibumu juga tidak akan memaksa. Itu hanya salah satu usaha agar anak perempuan cantiknya ini segera mendapatkan jodoh dan tidak jatuh ke dalam pelukan pria yang salah.” Wanda menambahkan.

Yuna menopang dagu di atas meja, berpikir keras tentang saran kedua sahabatnya. Memang ada benarnya saran perjodohan itu, walau hatinya berat, tapi ia memang perlu mencoba.

“Baiklah. Akan ku turuti keinginan orang tuaku, akan ku terima rencana perjodohan itu.”

“Semangat dong. Masa pacarnya Ji chang wook lemes.” Wanda menyemangati.

Terpopuler

Comments

naan

naan

dlu sering dengar Istilah 1/4 abad ini, semangat Thor tayang😍

2024-02-20

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 61 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!