Sedari tadi aku hanya memperhatikan beberapa orang yang sedang sibuk wara-wiri di depanku, aku menghela nafas. Melihatnya saja sudah lelah, apalagi harus turun tangan langsung. Sebetulnya aku merasa tidak enak jika hanya duduk ongkang-ongkang kaki, tapi mbak ika tadi mengancamku untuk tetap diam dan menikmati cemilan yang disuguhkan.
Jadilah aku hanya diam sambil melihat sekitarku yang begitu riuh. Hembusan angin berhasil membuatku terpejam karena merasakan hawanya yang sejuk, detik kemudian aku menoleh pada jendela terbuka yang menjadi jalan angin masuk tadi.
Ada sesuatu di luar sana yang mencuri perhatianku. Aku sampai mengerjapkan mata berkali-kali, apakah ini efek setiap hari aku bersama anak-anak kecil, jadi sekarang aku berhalusinasi melihat anak laki-laki berdiri di taman belakang?.
Untuk menuntaskan rasa penasaran dan memastikan aku sedang tidak berhalusinasi. Ku putusukan untuk bangkit menghampiri bocah yang masih berdiri itu. Ku dekati dia perlahan, mencari tahu apa yang sedang dia kerjakan. Ternyata dia sedang mengamati kupu-kupu yang sedang menempel pada bunga.
Aku tersenyum melihat rautnya yang imut sekali, kemudian berjongkok disampingnya. Sekarang terpampang jelas wajahnya yang memiliki pipi tembam dan mata bulat.
"Itu namanya kupu-kupu sayang" jelasku tanpa ditanya.
Bocah itu menatapku, aku melemparkan senyuman padanya. Kemudian matanya yang bulat itu kembali menelisik hewan yang masih betah di atas bunga mawar merah yang telah mekar sempurna.
"Kamu belum pernah lihat yah?" Tanyaku lagi karena sepertinya dia begitu penasaran pada hewan yang kini sedang menggerakkan sayapnya, menunjukkan bagian sayapnya yang memiliki warna berbeda.
Bocah itu tidak menjawab, dia hanya menggelengkan kepala membuatku sedikit heran. "Dia tinggal dimana sih? Kok nggak pernah lihat kupu-kupu" batinku sambil memperhatikan penampilannya, sepertinya dia bukan dari keluarga yang sederhana. Terlihat sekali dari pakaian yang menempel di badannya.
"Arin"
"Adit"
Dua suara bariton itu kompak memanggilku dan mungkin bocah ini?, karena dia langsung menoleh ke belakang. Berbeda denganku yang menoleh ke samping tepat dimana rama berdiri, dia tersenyum kepadaku memberi kode agar aku mendekat. Aku mengangguk dengan senyum lebar.
Saat aku menoleh, ternyata bocah itu sudah tidak di tempatnya. Kepalaku celingukan dan mendapati dia masuk ke rumah, mungkin dipanggil orang tuanya. Padahal aku ingin mengajaknya ngobrol sedikit lama lagi.
"Rin. Ngapain disini sih? Dicariin yang lain tuh" ucap rama yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku, aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Kemudian mengikuti laki-laki yang lebih tinggi 15 cm dariku.
Acara berjalan lancar, setelah tamu pulang kami masih saja nongkrong di rumah rama. Tentu saja untuk mengobrol dan menebus rindu karena kesibukan masing-masing. Meskipun akhirnya kita bisa bertemu dengan cara meninggalkan 'paksa' kesibukan kita terlebih dahulu.
"Ehh.. ram. Tadi gue lihat ada anak kecil, dia siapa ya?" Tanyaku setelah menandaskan kue, kebetulan rama duduk di sebelahku.
"Ohhh.. yang di taman tadi?" Rama menjawab dengan pertanyaan. Aku hanya mengangguk menatap wajahnya yang mempunyai rahang tegas dan hidung mancung itu.
"Itu adit, anaknya sepupu gue. Kenapa emang?" Jelas rama setelah makanan di mulutnya habis. Sebenarnya sedikit ragu ingin bertanya lagi, tapi aku sangat penasaran kenapa dia begitu asing dengan hewan yang bisa dijumpai di lingkungan sekitar.
"Dia tinggal dimana emang?" Tanyaku sedikit demi sedikit mengkorek informasi tentang bocah manis itu. Entah kenapa aku merasa harus menolongnya, padahal aku belum tahu anak itu mau dan butuh bantuanku atau tidak.
"Tinggal di kota, bareng sama papahnya. Kesini karena di undang sama mbak ika, sekalian ada bisnis katanya. Tapi adit itu agak beda rin... dia nggak kayak anak seumurannya" ucapan rama yang absurd itu membuatku menyimpulkan bahwa anak itu kurang kasih sayang dan sedikit tidak normal, apa jangan-jangan ini efek dari orang tuanya yang bercerai.
Tadi rama mengatakan kalau adit tinggal bersama papahnya saja, apakah cara berfikir adit yang lamban itu terjadi karena dia berasal dari keluarga yang broken home. Aku semakin kasihan pada bocah itu. Aku ingin mendekatinya, memberi tahu segala yang ada di lungkungannya.
"Eh rin. Lo masih betah jadi guru TK?, Nggak ada niat kerja di perusahaan gitu?" Pertanyaan itu datang dari prasetya, dia terlihat sangat penasaran saat bertanya tadi.
"Hmm... tau nih pras, gue masih betah" jawabku jujur, karena pertanyaan pras tadilah sekarang aku menjadi pusat perhatian. Sebenarnya mereka sudah tahu bagaimana keadaanku sekarang dan alasanku memilih menjadi guru TK daripada menerima tawaran bekerja di perusahaan besar.
"Gue kira ibu sama bapak bakal nyuruh lo urusin pabrik rin" rama kembali berucap, sepertinya laki-laki itu tengah menoleh ke arahku. Tapi fokusku hilang karena aku kembali melihat bocah bermata bulat itu.
"Bapak ibu siapa ram?" Caca yang duduk di sebelahku kini bertanya pada rama, tapi aku menemukan ada gelagat yang aneh dari senyum miring perempuan berjilbab hitam itu.
"Bapak ibunya arinlah. Emangnya siapa lagi yang punya pabrik disini?" Jawab rama terdengar sewot. Sial, mataku terus saja mengekor pergerakan bocah itu. Dia lari ke arah dapur aku pun tetap mengikuti, dia lari ke halaman depan aku juga masih mengawasi. Sungguh aku gemas sekali pada anak itu.
"Lagian lo udah lemes banget manggil orang tuanya arin, kayak orang tua sendiri. Atau emang pengen nih jadi anaknya bapak himawan sama ibu fatma?" Sepertinya caca mulai melancarkan permainan, target kali ini adalag rama si tuan rumah.
"Emangnya boleh sama arin?" Sungguh diluar prediksi jawaban rama kali ini. Caca saja yang mengharapkan penolakan atau reaksi panik yang lucu dari rama pun kaget. Dia melihat kalau rama sedang tidak bercanda dalam menyikapi candaannya kali ini. Pun sama dengan yang lain, mereka memandang rama dan aku bergantian. Tapi gadis itu sedang tidak fokus sekarang.
"Rin... rama mau jadi anak orang tua lo tuh... boleh nggak?" Kini giliran amel yang bertanya, tapi sayangnya aku masih saja kehilangan fokus. Mataku masih sibuk mengawasi bocah yang terus mondar-mandir sendirian.
"Rin.arini!!. Boleh nggak?" Caca terdengar kesal saat bertanya, membuatku bingung. "Apanya yang boleh?" Begitu batinku berucap. Untuk sesaat aku kehilangan fokus tentang anak laki-laki itu, selain karena pertanyaan caca, juga karena objek yang sedang ku amati menghilang ke dapur.
Saat hendak bertanya tentang pertanyaan yang diajukan oleh caca, adit. Anak kesepian itu muncul lagi, membuatku urung bertanya dan menjawab sekenanya. "Iya.. boleh". Aku berharap setelah jawaban itu, tidak akan ada lagi yang bertanya padaku. Aku sedang tidak memperhatikan topik yang sedang dibicarakan. Aku hanya ingin fokus pada adit. Bocah malang itu, padahal belum tentu juga dia menderita.
"Rin! Kamu serius aku boleh jadi bagian dari keluarga kamu?" Pertanyaan rama membuatku kaget. Pasalnya dia tidak hanya berteriak, dia juga mencengkeram tanganku. Hal yang paling tidak aku senangi, bukannya sok suci atau sok islami. Tapi aku hanya sedang menjaga diri sampai aku bertemu dengan pasanganku nanti, aku ingin menjaga jiwa ragaku untuk pasangan halalku nanti .
Aku menatap tangan kekar rama, lalu dengan sedikit keras aku menghempasnya. Meskipun tidak sekeras di sinetron-sinetron alay, tapi cukup untuk membuat rama kaget dan meminta maaf.
"Iya Ram. Boleh. Ibu sama bapak udah anggep kalian semua anak sendiri. Ng.." ucapanku terpotong oleh suara sesuatu terjatuh kemudian disusul dengan suara tangisan. Reflek aku mencari sumber suara dan alangkah kagetnya aditlah yang menangis. Langsung saja aku berlari menghampirinya dan menggendongnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Wilda Qorri Ainani
haduuhh aku juga pernah ngalamin hal yg mirip kyk gini, malah bikin salah paham semua orang. pas sadar ada yang salah, jadinya bingung sendiri🥴
2024-01-29
1