Bab 3

    Aku memejamkan mata, kuhirup udara sebanyak-banyaknya yang ku bisa, mencoba meresapi ocehannya, mungkin saja bisa terdengar lebih merdu.

   Haaaahhh... apalagi ini? Bisa tidak sih si gempal ini mengambilkan barang yang ku beli saja?. Mulutku sedikit terbuka untuk mengeluarkan karbondioksida, mencoba tenang meskipun tahu sekarang aku jadi pusat perhatian semua orang disana, jadi peran utama dari drama yang dimulai si gendut.

    "Apa jangan-jangan kamu kurang menarik jadi karyawan di bank? Makanya kamu itu dandan dong.. anak gadis kok cuek banget sama penampilan" sekarang dia menyerang pakaianku, aku masih diam. Membiarkan para penonton menilaiku kalah.

   "Emang ya buah jatuh tak jauh dari pohon, ibu kamu aja pakaiannya gitu, mana mungkin anaknya jadi secantik anak saya" entah dari mana hawa panas ini berasal. Yang jelas aku tidak tahan lagi, dia sudah berani menyeret ibuku sebagai bahan roastingannya.

 "Ngocehnya udah? Gantian sekarang saya yang ngomong bu. Tadi nanyain IPK saya kan? IPK saya 3.9, IPK segitu cukuplah diterima di perusahaan gede. Banyak panggilan kerja masuk bu, cuma saya sengaja nggak ambil. Nanti kalo saya ambil, gaji saya gede, terus saya tambah kaya dong. Nanti siapa yang iri? Ibu juga kan? Nanti jadi sakit-sakitan lagi liat tetangganya tambah kaya" ucapku dengan tenang dan elegan, aku tidak sebodoh yang dipikirkan si gendut ini.

  "Ibu tau perusahaan Menara Wangi itu? Bahkan mereka menawari saya gaji yang besar asal saya mau jadi manager disana. Tapi saya tolak bu. Ibu tahu kenapa? Yah itu tadi.. biar ibu nggak kepanasan, biar anak ibu yang IPK nya cuma 2.5 itu terlihat keren jadi karyawan bank. Baik bangetkan saya bu? Tapi ibu malah ngata-ngatain saya terus"

  Sekarang siapa yang kalah? Aku tersenyum manis sekali pada si gendut yang mukanya sudah merah menahan amarah, kulirik si ayu juga sekilas, ternyata rautnya sama dengan sang ibu. Dia juga langsung menunduk saat para pembeli memandangnya.

   Amarahku belum kutuangkan semua, tadi dia juga menyinggung pakaianku. "Dan lagi bu, mau saya berantakan, mau saya rapi. Itu urusan saya, saya beli baju juga nggak minta duit sama situ kan? Apa yang saya pakai itu yang nyaman dipakai, nggak ada niat buat nyenengin orang lain, apalagi orang julid kaya anda", agak ngeri sebenarnya aku lihat matanya si gendut yang hampir keluar itu. Tapi tahan, mulutku belum selesai mengomel.

 "Ibu jadi tetangga saya berapa lama sih bu? Masa nggak tahu ibu saya?. Kalo belum tahu nih saya beritahu yah.. ibu saya itu, tetangga anda yang paling diam ketika tetangganya nyinyir, tetangga yang tetap membeli di warung reot ini meskipun penjualnya tukang nyiyir, memang ibu saya berpenampilan sederhana, tapi ibu saya tidak pernah menginjak-injak mereka yang lebih lemah. Sayangnya saya sebagai anaknya tidak akan tinggal diam jika ada yang menyakiti keluarga saya. Jika anda sekali lagi menyinggung ibu saya, saya akan benar-benar membuat toko gratis di depan warung ini, biar anda bangkrut sekalian" sedikit kukeluarkan pupilku yang bulat ini, agar terlihat menakutkan seperti tokoh antagonis di TV.

   Dia tidak bisa menjawab ucapanku, bergegas mengambil barang yang kubeli lalu memasukkannya dengan sewot ke dalam kantong, langsung saja menaruhnya dengan sedikit kasar di depanku, seakan berkata "sudah sana cepat pergi!!!". Aku ambil kantong tersebut dengan senyum manis, ditambah tatapan sinis. Aku berucap dalam hati "kamu menang rin!".

   Sudah kukatakan sebelumnya, aku sedang belajar untuk tidak mengurusi apa yang orang lain katakan tentang diriku, toh itu penilaian dari manusia yang tidak tahu benar salahnya, aku akan mencoba sabar. Tapi tidak dengan hinaan mereka yang sudah menyangkut orang tuaku.

   "Nah.. gini kan enak bu, saya beli terus ibu ambilin apa yang saya beli. Saya bayar, saya dapet barangnya, anda dapet uangnya. Tapi ibu malah minta saya omelin. Besok-besok jangan gitu ya bu.. saya ini aslinya baik banget loh sama anda, udah ya... ini kopinya ditungguin sama ibu saya di rumah" aku ngeloyor meninggalkan si gendut yang masih menatapku dengan sengit.

  Baru beberapa langkah, aku kembali berbalik menatap si gendut lagi. "Sekarang ibu nggak cuma jualan sembako yah, jual anak juga?" Ucapku pedas sambil melirik si ayu yang kini melotot ke arahku.

   "Maksud kamu apa sih arin?!" Tanya pemilik warung dengan kesal, entah kenapa malah membuatku senang. Mungkin ini juga yang dirasakan si gendut saat melihatku sewot ketika dia menghinaku. Waaahh.. sensasi luar biasa yang baru aku tahu.

  "Tuh.. anak ibu yang IPK nya cuma 2.5 tumben banget di warung, biasanya juga jijik mau melayani pembeli. Lahh kok sekarang malah ramah banget meladeni pembeli. Eehhh.. ternyata..." sengaja kugantungkan ucapanku, aku yakin si gendut dan anaknya paham betul maksud ucapanku.

   "Kebangetan banget sih kamu arin, sayakan cuma pengen ingetin kamu biar kamu lebih rapi. Biar kamu.." aku mengangkat tangan menginterupsi ucapannya yang ingin membela diri. Sungguh aku sudah benar-benar muak dengan sikapnya yang suka menindas, tapi akhirnya dia yang merasa jadi korban.

    "Cukup bu! Saya nggak butuh saran dari anda. Sekali lagi saya nggak peduli pandangan orang terhadap saya. Dan jangan salahkan saya kalau sikap saya seperti ini, saya bersikap sesuai dengan orang yang ada di hadapan saya. Jangan sok jadi korban bu, orang di kampung ini juga sudah tahu kalau ibu itu tukang julid"

  Ucapku dengan tenang, setelahnya aku memandang mereka dengan senyum sinis, setelahnya benar-benar pergi meninggalkan warung tanpa menghiraukan bagaimana pandangan orang-orang disitu.

   Penilaian manusia tidak penting, mereka memang tidak mengaku Tuhan, tapi seringnya mereka mengambil peran Tuhan. Menetapkan takdir manusia, menilai dengan sekenanya, bahkan berani sekali menentukan surga dan neraka sesama.

   Jika mereka menilaiku buruk. Memangnya, sejak kapan aku baik dimata mereka?. Satu hal yang membuatku bertindak demikian adalah, aku sudah menjadi pusat perhatian, kenapa tidak sekalian memberi pertunjukan?. Aku harap sikapku yang pedas itu membuat orang berfikir ulang jika ingin membuat keributan terhadap keluargaku.

    Entah sejak kapan mulutku jadi sepedas sekarang. Yang jelas kadang aku merasa kalau sikapku salah, tapi sisi lain hatiku berkata kalau tindakanku sudah benar. Aku hanya ingin menjaga martabat keluargaku saja agar tidak terus-terusan jadi bahan tindasan.

    "Bu.. catet aja semua kebutuhan dapur. Biar arin yang belanja ke supermarket. Harganya juga lumayan kalo sekalian beli banyak. Arin nggak mau ya bu beli sama orang yang nggak menghargai pembeli" omelku begitu masuk ke rumah, ibu yang sedang menyapu pun hanya tersenyum teduh melihat putrinya ini bersungut-sungut.

  Kemudian beliau mengangguk, tentu saja tidak akan menuliskan kebutuhan dapur sungguhan. Anggukan itu hanya ingin melihat putrinya merasa tenang, yakin betul kalau pemilik warung itu sudah mengganggu putrinya.

  Heran sekali kepada ibuku, kenapa pula masih setia beli di warung panas itu. Toh nggak pernah dikasih THR istimewa, hanya piring. Paling bagus dikasih teko, itu pun seminggu sudah bejat.

  Awas saja yah, aku akan pastikan kalau ibuku tidak akan menginjakkan kakinya lagi di warung si gendut itu, aku akan memasok kebutuhan dapur sendiri. Khawatir ibuku yang selembut sutra itu harus mendengar ocehan bak mercon kawinan. Huhhh.. benar-benar menyakiti gendang telinga.

  Setelah memberikan belanja tadi, aku kembali ke kamar untuk melanjutkan kegiatan pentingku. Apalagi kalau bukan rebahan, sudah jelas bagi kaum introvert sepertiku tidak boleh meninggalkan ritual glundang-glundung mengukur kasur.

Terpopuler

Comments

Wilda Qorri Ainani

Wilda Qorri Ainani

wkwk, toko gratis beneran ga tuh.

2024-01-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!