Bab 2

  "Arin cukup! Kembali ke kamar!" Ucap bapakku pelan, tapi aku sadar beliau menahan amarahnya. Aku tidak bisa berkutik, seketika berdiri dengan lelehan air mata yang tumpah di pipi.

  "Pokoknya Arin nggak mau bapak kasih uang itu buat dia" setelah berucap demikian aku langsung berlari ke kamar.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

    Kenapa pula aku mengingat kejadian yang sudah terjadi beberapa tahun lalu itu, dan sialnya aku harus melihat mantan ketua Rt itu di ujung jalan, dia langsung menundukkan kepalanya ketika melihat aku mengendarai motor.

  Yah.. memang setelah kejadian itu bapak tetap meminjaminya uang, tentu saja karena bapakku orang baik. Beliau sangat klop dengan ibu yang sama-sama pemaaf. Kadang aku bingung kenapa mereka harus memiliki anak sepertiku yang suka sekali mengingat kejahatan orang lain, ditambah lagi wajahku yang tak pernah senyum menyapa.

   Semenjak kejadian mantan ketua Rt itulah reputasiku sebagai gadis angkuh tercipta, biarlah.. aku sudah tidak memikirkan omongan tidak penting, mereka bebas menilaiku seperti apa, aku tak peduli. Tapi jika mereka berani mencemooh orang tuaku, jangan harap aku akan diam.

   Sebulan sudah aku mengajar di Tk Kartini, jujur aku betah meskipun harus belajar mengendalikan emosi setiap hari. Niat awal aku mengajar hanya untuk mengisi waktu luang sebelum adanya panggilan kerja yang sesuai bidangku, tapi lama kelamaan aku malah ingin mengajar selamanya.

  Sebenarnya banyak panggilan kerja masuk, bahkan dari perusahaan yang aku inginkan dulu. Tapi rasanya sekarang aku hanya ingin bermain dengan anak-anak yang lucu itu, bahkan dengan membayangkan kejadian-kejadian ajaib di kelas saja membuatku senyum-senyum sendiri.

  Hidup bahagia atau tidak itu tergantung fikiran kita sendiri, tergantung pilihan kita sendiri. Banyak sekali faktor yang membuat hidup kita terasa berat, salah satunya adalah mendengarkan dan memikirkan perkataan orang lain.

  Harus terlihat kaya, harus terlihat bahagia, harus terlihat harmonis dan harus harus yang lain lagi di depan orang banyak, sampai lupa pada jati diri kita sesungguhnya. Banyak menuntut diri menjadi sempurna sampai mengorbankan segala cara.

  Mungkin dulu aku akan sedih ketika mendapat cemoohan dari para tetangga, tapi kini kuputuskan untuk memberi jalan pada angin agar bisa membawa kata-kata yang tidak enak didengar itu. Eitss... tapi bukan berarti aku lupa pada kejahatan mereka. Tidak akan! Aku akan tetap ingat, sudah ku katakan dari awal kalau aku bukan pemaaf seperti bapak ibuku.

  Memang tidak baik memendam dendam, tapi aku hanya menjadikan dendam itu sebagai pelajaran saja, sebagai panduan bagaimana aku bersikap nanti.

 Ku kira setelah keluargaku sukses, tidak akan ada yang berani mencemooh kami ataupun memfitnah. Tapi ternyata masih saja banyak yang melakukan perbuatan tak mengenakan itu meskipun sekarang mereka melakukannya di belakang kami, tidak seperti dulu tepat di depan muka kami.

  Salah satunya adalah, menuduh bapakku menggunakan pesugihan agar usahanya berhasil. Haaahhh... lelah sekali rasanya mendengar berita receh seperti itu, tapi kedua orang tuaku hanya tersenyum menanggapinya. Aku sebagai anaknya dibuat gemas dengan sikap mereka itu, apa mereka tidak memiliki hati?, aku juga ingin seperti mereka yang sepertinya tidak punya dendam terhadap orang lain.

  Sudah kuputuskan aku akan belajar dari mereka untuk tidak menggubris ucapan bodoh tetangga, bahkan ketika mereka mengataiku tidak laku karena terlalu judes dan angkuh, aku berusaha menahan diri untuk tidak membalasnya. Penyebab aku disebut seperti itu adalah karena aku yang tidak pernah terlihat membawa laki-laki ke rumah.

   Aneh bukan? Kebobrokan generasi muda jaman sekarang seolah sudah direncanakan oleh masyarakat, bukankah yang baik itu perempuan yang tidak mudah diajak jalan laki-laki sembarangan?. Tapi kenapa warga desaku malah mendukung anak perempuannya demikian. Sudahlah, kalau tidak aneh bukan mereka.

     Aku tidak pernah membawa teman laki-laki ke rumah bukan berarti aku tidak punya teman laki-laki, bahkan jumlah antara teman laki-laki dan perempuan sama. Hanya saja aku lebih suka nongkrong di luar desa, alasannya sudah jelaslah kalian tahu.

     Memang circleku terbilang kecil, hanya 8 orang yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan sisanya perempuan. Tapi jujur saja, aku sudah cukup memiliki mereka yang mau menerima blasteran introvert dengan judes sepertiku.

   Jangan tanya mereka dari mana, karena jawabannya pasti mereka dari luar desaku. Mana ada anak desa seumuranku yang mau berteman dengan orang sepertiku. Sebenarnya mereka pernah menjilatku, tentu saja aku menolaknya, si pendendam sepertiku tidak akan melupakan kejahatan mereka.

   "Nduk.. tolong belikan kopi sama gula di warung sebelah" ucap ibuku pelan dari dapur, aku refleks mencebikkan mulutku, bukannya tak mau menerima perintah dari orang tua. Yang membuat aku malas adalah pergi ke warung ibu gendut itu.

   "Ayo nak.. nanti ibu nyetok sekalian biar kamu nggak beli di situ lagi, ini kepepet soalnya.. bapakmu mau kedatangan tamu" bujuk ibuku yang paham sekali aku sama sekali tidak cocok dengan pemilik warung. Kalau sudah dirayu seperti ini tidak bisa lagi aku membantah, ku sambar hijabku lalu bersiap untuk berperang.

   Kuhirup udara banyak-banyak, niatku akan cepat-cepat melakukan transaksi jual beli dan berlalu meskipun di penjual mengibarkan bendera perang, tapi setelah kulihat kondisi warung kali ini berbeda, ada beberapa pembeli yang sepertinya bukan dari desa kami. Bahkan sebuah mobil mewah terparkir di depannya.

  Kupikir ini bagus karena si ibu gendut itu pasti tidak akan banyak tingkah karena banyak pembeli, aku yang sedikit lega dan senang melangkahkan kaki cepat dengan kedua tangan yang aku masukkan ke dalam saku hoodieku.

  "Beli kopi sama gula bu" ucapku datar sambil menyodorkan sejumlah uang yang sekiranya cukup membeli satu bungkus kopi besar dan gula pasir satu kilo. Pemilik warung hanya melihat uangku, bukannya mengambilkan pesananku dia malah tersenyum manis yang sebenarnya tidak manis.

  Aku jadi sedikit was-was, apalagi yang dia inginkan?. Aku hanya memutar bola menghindari mukanya, malas sekali melihat senyum yang tidak manis itu.

  "Bu... orangnya lagi cari penginapan bu. Gimana kalau disuruh tinggal dirumah kita?". Ayu, anak dari si ibu gendut itu mendekat ke arah ibunya. Tumben sekali dia mau melayani pembeli, biasanya juga dia tidak mau menengok warungnya ini. Seperti gengsi menginjakkan kakinya disini.

  Setelah kutengok, ternyata dia sedang sibuk melayani seorang pembeli yang kusebut tadi, pembeli yang sepertinya berasal dari luar kota. Nampak sekali dari pakaian mereka yang rapi, khas orang kantor. Pantas saja si ayu itu bersemangat berada di warung.

   Sebelumnya kuperkenalkan dulu siapa si ayu itu, sudah jelas dia adalah anak dari pemilik warung. Dia itu seumuran denganku meskipun akhirnya menjadi adik kelas karena pernah tinggal kelas sewaktu SD.

  Dia itu tipe perempuan yang ramah, pada laki-laki tepatnya. Kalau menyapa orang sepertiku mana mau? Dia itu menganggap level kami berbeda, dia cantik dan aku sangat tidak cantik. Tapi biarlah, dikatakan tidak cantik oleh perempuan yang full dempul rasanya tidak pantas sakit hati. Hanya membuang waktu saja.

   Oke, segitu saja perkenalannya. Kan aku pemeran utamanya disini jadi tidak perlu mengenalkan pemeran yang tidak penting.

    Si ibu gendut itu melirikku, lalu mendekatkan bibir tipisnya ke telinga sang anak. Hadeuuhh... aku tidak se kepo itu yah, aku hanya membuang muka malas. Beberapa saat si ayu tersenyum pada ibunya, tidak heran senyum itu langsung luntur ketika dia menatapku.

  Setelah si ayu kembali pada si orang kota itu, si ibu gendut kembali menatapku. "Mana bu kopi sama gulanya?" Ujarku cepat, dia kira aku betah sekali di warungnya.

   "Sabar dong arin, sayakan lagi sibuk melayani pembeli spesial" ucapnya dengan memandang ke arah putrinya yang tengah tersenyum manis sekali kepada pembeli berpakaian rapi itu. Aku hanya memandangnya dengan datar.

  "Ehh.. kamu udah kerja yah sekarang? Saya denger kamu ngajar di TK Kartini yah? Kamu kan sarjana ekonomi, kenapa malah ngajar? Jangan-jangan IPK kamu kecil lagi, jadi nggak diterima di perusahaan atau di bank" nyinyiran itu muncul dari mulut tipis nan sinis. Aku hanya menghela nafas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!