This is just fiction
•••••••••••••••••••••••••
Derap Navian tegas mendekati posisi istrinya yang tengah berada di samping sang putra yang baru berusia satu bulan, tetapi sebelum hal itu, Navian terlebih dulu menghubungi sekretaris pribadinya untuk mengurus suatu hal terlebih dulu.
Jiwanya yang membara tak ingin dia tumpahkan semuanya pada sang istri, dia takut kala kemarahannya menumpat, hal itu akan mengundang sebuah tindakan yang akan membuatnya menyesal di kemudian hari.
Di batas undakan yang membawanya ke tepian lantai dua rumahnya, Navian melakukan panggilan telepon dengan sekretaris pribadinya itu, sekretarisnya adalah seorang pria, seorang pria yang berumur di bawahnya, dia telah bekerja bertahun-tahun sebagai sekretaris Navian.
"Cepat blokir semua kartu yang digunakan oleh istri saya, secepatnya," titah Navian membuat sang sekretaris kebingungan.
Tak biasanya Navian melakukan hal demikian, se-marah apapun atasannya itu, tak pernah sekalipun Navian menghentikan keuangannya untuk sang istri.
"Baik Pak Navian, akan segera saya hubungi pihak bank," ucap pria itu nampak limpung dengan permintaan Navian kali ini.
"Bagus," sahut Navian yang segera menghentikan panggilan teleponnya.
Beberapa menit Navian terhenti di sana, pria itu masih menunggu notifikasi dari sekretarisnya atas perintah yang diberikannya. Navian adalah sosok pebisnis yang keras dan berjiwa gigih, tetapi kelemahannya adalah kesabaran, ya! Navian bukanlah orang yang bisa bersabar dalam jangka waktu yang lama.
Mengenai sang istri, Vianna. Mengapa dia begitu sabar dengan tingkah Vianna yang kekanak-kanakan, kasar dan terkadang membuat jiwanya tersakiti, itu hanya perputaran hati yang selalu mendorongnya untuk selalu memaafkan dan menerima semua perlakuan Vianna.
Walau buruk atau menikam harga dirinya berulang kali, Navian selalu menerimanya dengan dalih rasa cinta yang terajut di dalam batinnya. Saban perlakuan buruk Vianna padanya, Navian akan menganggap hal itu adalah sebuah hal wajar, mungkin dirinya melakukan kesalahan sehingga Vianna melabuhkan amarahnya pada Navian.
Navian terhenti di ambang pintu yang sedikit terbuka, pria itu mendengar desis dari Vianna yang tengah berbincang dengan ibunya, Viara. Sudah lama sekali Navian ingin mengetahui perbincangan antara ibu dan anak itu.
"Iya mam, kenapa lagi sih? Aku lagi chatingan sama managerku," ucap Vianna setelah dia terlihat menempelkan ponselnya ke telinga.
"Sayang ... Kapan kita shopping lagi nih, Navian sudah memberikan uang kan? Mama mau shopping-shopping nih, tahu sendiri kan papa kamu itu pelit, katanya uang perusahaan tidak bisa dipakai untuk foya-foya, tapi untuk membiayai kuliah Tiara sialan itu bisa," gerutu Viara yang terdengar lantang di telinga Navian.
"Tiara, Tiara, Tiara aja terus, hebatnya apa sih itu babu sialan! Tiara lagi aku suruh-suruh di sini, mama tenang aja, si Tiara itu akan menjadi budakku selamanya," jawab Vianna puas, bahkan dia terkekeh di atas sofa panjang yang dia duduki.
"Bagus, Tiara sialan itu emang harus diberi pelajaran, papa kamu itu bener-bener pilih kasih, kalau soal Tiara pasti diutamakan."
"Udahlah mam, tidak usah dipedulikan, selama si Tiara sialan itu bisa dimanfaatkan, kenapa enggak, besok kita shopping mam," seru Vianna masih angkuh dengan tindakan buruknya.
"Makasih sayang, love you ...."
Navian yang sedari tadi menyaksikan perbincangan kejam dari istri dan mertuanya lekas mengerang, rahangnya mengeras, dia cengkeram botol susu yang ada dalam genggamannya, Lantas dia memeriksa ponsel untuk memastikan jika perintahnya telah dilaksanakan oleh sekretaris pribadinya itu.
Rabzy S.P :
Semuanya sudah selesai Pak presdir, pihak bank telah memblokir semua kartu yang dipegang oleh Nyonya Vianna.
Tulis pesan yang dikirim oleh sekretaris pribadi kepercayaannya, Rabzy. Sosok pria muda yang gigih dan selalu mematuhi apapun yang diperintah oleh Navian, dan pria itu tidak pernah sekalipun menerima perintah dari siapapun, hanya Navian yang bisa menggerakkan Rabzy untuk bekerja.
Kerja bagus Rabzy. Aku ingin mendidik istriku untuk menjadi lebih baik lagi, dan Ibu Viara harus tahu jika aku tidak selemah itu yang akan selalu menuruti kemauan putrinya.
Jika Vianna marah dan memilih untuk pergi ya silakan saja, mulai sekarang aku harus tegas.
Batin Navian bertekad, ia berdenyut perih.
Perbincangan batinnya dengan sang hati yang selalu rapuh kala bertemu dengan Vianna. Walau harus melawan hatinya yang selalu bersikap sesuai keinginannya, Navian mengokohkan tekadnya untuk melawan Vianna dan bersiap jika sang istri mungkin saja akan memilih untuk pergi.
Begitulah perbincangan hati Navian, netranya masih menyaksikan betapa sang istri berbahagia tengah mencibir adiknya sendiri.
"Tiara ... Kamu ini bodoh dan lambat! Cepat! Anak ini sangat berisik! Sebelum aku cekik dia, Tiara ...!" teriak Vianna lagi kasar sembari dia kembali bersandar pada sofa panjang yang ada di dalam kamarnya.
Cepat-cepat Navian menjawab ucapan kasar istrinya. "Tiara sudah aku suruh pulang," ketus Navian mendekati box bayinya, putra pertama yang Navian beri nama dengan Ansel Bastian Devandra.
Ansel Bastian Devandra, cucu pertama keluarga Devandra berartikan bangsawan yang mulia, Navian berharap jika putranya akan selalu menjadi manusia yang mulia dengan kemurahan hati dan kebaikannya.
Degh!
Jantung Vianna terhantam benda tajam, tubuhnya mengerjap dengan bola mata yang melebar, dia tak menyangka jika sang suami sudah pulang dari pekerjaannya, pikir wanita itu mungkin saja Navian masih berada di kantor, sehingga dia memekik suaranya sampai memecah keheningan dan menggetarkan lampu gantung di atas.
"Kenapa kamu suruh pulang, dia tidak ada kerjaan di rumah, makanya aku minta dia ke sini untuk bantu aku ngurus anak kita," kilah Vianna, netranya berdenyut menyembunyikan kebusukan yang telah di ketahui oleh Navian.
Navian bergeming sejenak, lalu dia menggendong bayi laki-lakinya yang sedari tadi menangis sampai wajahnya merah dan sesegukan, air mata bayi laki-lakinya pun hampir habis, suara parau sang bayi berkulai.
Suara tangisan sang bayi benar-benar memilukan, dia tidurkan bayinya di salah satu tangan kekarnya, kemudian dia berikan susu putih yang sudah dia pastikan suhu susu itu dalam keadaan hangat.
Seketika sang bayi terdiam dan meminum susu yang ada di dalam botol itu, wajahnya tersenyum, terlebih di area matanya yang berbinar-binar, seolah dia mengatakan kata terima kasih, karena dia sudah kehausan.
"Anak ganteng haus ya Nak, maaf ya Nak, Papa baru pulang, cup cup sayang ... Minum yang banyak terus tidur ya sayang ...," ucap Navian mengabaikan Vianna, Navian menyeringai memasati paras tampan putranya sembari dia membelai rambut tipis sang putra.
Vianna terdiam, wanita itu tidak berani untuk menegur sang suami, dia memicingkan matanya, lalu melipat kedua tangannya di depan, ponselnya yang terus bergetar dia abaikan begitu saja.
Navian menimang-nimang sang putra sampai bayinya tertidur dan melepaskan botol yang telah kosong dari mulutnya, lalu dia kembali menidurkan bayinya ke dalam box bayinya lagi.
Saat hening telah membawa Ansel masuk ke dalam alam bawah sadarnya, Vianna mendekat dengan langkahnya yang menghentak membuat Navian mengeras, matanya menajam hanya pada sang istri.
"Kamu apa-apaan sih, menurut kamu bagus begitu mengabaikan aku, jadi sekarang kamu lebih peduli dengan bayi itu dibanding aku," cecar Vianna tidak memedulikan bayi yang dia lahirkan akan terbangun lagi mendengar suara kerasnya.
"Ssstt! Kamu ini memang sudah gila." Navian beranjak dari dalam kamar melipir keluar dari kamarnya, dengan harap jika Vianna akan mengikutinya.
Sesuai harapan Navian, dengan dekapan amarahnya Vianna mengejar Navian keluar dari kamarnya, pria bertubuh tinggi itu terus berayun ke ujung koridor rumahnya untuk menjauhi area kamar pribadinya.
Dia tak ingin membangunkan putranya yang baru saja tertidur, maka dari itu Navian membawa Vianna ke ujung koridor lantai dua rumahnya, tepat di depan ruangan gym pribadinya.
Punggungnya bergetar menahan amarah yang selama ini berkumpul di dalam benaknya, Vianna menarik lengan sang suami sehingga Navian berputar dan menghadap pada Vianna.
"Jawab dulu!" pekik Vianna dahinya mengkerut. "Maksud kamu apa nyuruh Tiara pulang, dia adik aku, dan kamu tidak berhak memerintahnya tanpa izin dariku," keras Vianna, wajahnya memerah padam.
"Tiara punya kerjaan, dia adik kamu! Bukan babu, atau asisten rumah tanggamu Vianna ... Dia seorang guru, dia harus mengajar di pagi hari, sadar Vianna ... Jangan membebani Tiara dengan kewajiban yang harus kamu lakukan," bentak Navian yang tidak lagi merasa kasihan dengan Vianna.
Durja Vianna melembut, sorotnya melemah mendengar semua perkataan suaminya, dia melakukan hal itu karena berharap suaminya akan memberikannya pengasihan atau membujuknya agar tidak marah seperti yang dilakukan Navian seperti biasa.
Namun, kali ini berbeda, Navian tidak lagi memberikan pengampunan dari kesalahan Vianna.Wajah Navian semakin mengerang, amarahnya sudah tak mampu diredam lagi, seluruh energi dingin di dalam rumah itu rasanya terserap habis oleh jiwa Navian yang meregang.
"Tiara cuman guru TK, tidak ada yang istimewa, toh dia mau melakukannya," ujar Vianna dengan enteng.
"Kamu dan ibu kamu memang gila! Guru TK atau apapun pekerjaan Tiara, tetaplah pekerjaan itu mulia dan dia melakukan kewajibannya dengan benar, sedangkan kamu hanya asyik bermain ponsel dan mengurus diri kamu tanpa memedulikan anak kamu kehausan atau kelaparan, bahkan mungkin putra kita mati sekalipun kamu tidak peduli!" Nada suara Navian menghumbalang.
Vianna mengerjap mendengar pekikan sang suami, ini kali pertama Vianna mendengar nada suara Navian setinggi ini, tak pernah dia bayangkan jika laki-laki yang selalu dia rendahkan karena rasa cinta untuknya lebih besar bisa membentaknya sampai wajahnya mengeras seperti itu.
Hal itu membuat Vianna marah, tidak! Tidak hanya marah, jiwa Vianna yang angkuh seperti dicabik-cabik serigala buas kelaparan. Kedua tangan yang menggantung di bawah gegas mengepal, buku-buku tangannya memerah.
"Diam ...!" Vianna berteriak sampai dinging-dinding di sana mengerjap terkesiap, kaca-kaca yang membisu ikut bergetar, wanita itu berteriak sambil dia mencengkeram rambutnya.
Navian mencengkeram kedua pundak, sorotnya memerah, tatapannya getir dengan sekujur tubuhnya yang bergetar. "Stop!"
Vianna menepis tangan Navian darinya dengan kasar. "Kamu yang diam Navian!" bentak Vianna membalas sang suami dengan kasar. "Aku muak dengan kamu yang selalu memerintahku menjadi istri yang baik dan ibu yang baik, ngurus ini dan itu, ingat Navian! Aku ini istri kamu bukan babu yang harus melakukan banyak hal!"
"Kamu hanya perlu mengurus putra kita! Apa salahnya, ini kewajiban kamu sebagai ibu," balas Navian keras.
"Stop! Aku muak! Aku mau cerai! Cerai! Cerai!" ucap Vianna mengulang kata cerai beberapa kali.
...See you next part....
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments