This is just fiction.
••••••••••••••••••••••••••
Viara mengeras, dia tak terima jika menantunya itu berani menentang argumennya, hidungnya mengkerut, dadanya berguruh, hanya saja dia tidak berani untuk menghakimi atau memaki Navian di hadapan semua orang.
Tentu saja tidak, Viara mendapatkan banyak uang dari Navian berkat putri kesayangannya itu, Navian tidak pernah membatasi kartu kredit ATM Vianna—sang istri, bahkan pria itu tidak pernah memedulikan berapa banyak uang yang sudah keluar dari rekeningnya yang digunakan oleh Vianna.
"Ya sudah, lebih baik Mama tolong beri pengertian pada Vianna tentang situasi ini, kita melakukannya dalam keadaan suka sama suka, jadi di sini bukan hanya aku yang salah," papar Navian menautkan kedua alisnya. "Ah tidak, ini bukan kesalahan, sudah sepantasnya seorang wanita yang menikah itu melahirkan, bahkan Mama pun melahirkan bukan?" sambung Navian.
Semua orang yang ada di sana terdiam, satu pun dari mereka tidak ada yang berani membuka mulutnya untuk menimpali perkataan Navian, Meriza, Marwan, Viara dan Ridzwan seketika membisu.
Dari saat-saat bisunya waktu itu, Navian beringsut dari hadapan semua orang, meninggalkan atmosfer sunyi yang ada di sana, dinding-dinding rumah sakit yang meluruh mendorong Navian untuk melompat dari situasi tidak mengenakkan ini.
Pria berambut mullet itu berayun ke arah yang tak menentu, dia tertadah menyaksikan langit yang berderai biru, warna birunya yang pekat membuat Navian silau, tatapannya terjatuh dengan penglihatan samar-samar.
Navian menghela napasnya di hadapan jalan raya yang tak lagi ramai, seluruh kendaraan entah ditelan apa, sehingga keadaan jalanan begitu tampak sangat sunyi, pria itu terus berjalan sampai menemukan sebuah pohon besar yang berserat kasar.
"Vianna!" pekik Navian geram, buku-buku tangannya mengeras, ia pun memerah.
Punggungnya berputar dan bersandar pada pohon besar di belakangnya, dia merosot ke bawah dan akhirnya terjatuh terbaring lemah di bawah. Satu kakinya dia tekuk, tangannya tergolek di atas lututnya, lantas dia tekuk lagi kakinya yang lain, wajahnya terbenam di sana.
Vianna ... Apa yang sebenarnya dia pikirkan?
Kenapa dia semarah ini?
Hari ini adalah hari kelahiran putra kita, tetapi dia menghancurkan hari yang seharusnya membahagiakan menjadi hari yang mengerikan.
Keegoisannya tidak pernah berubah.
"Sepenting itukah pekerjaannya? Sehingga dia berani membentak dan memaki suaminya sendiri hanya karena pekerjaannya," gerutu Navian berbicara pada rombongan pawana yang bersibak ke sisinya.
Navian memancang, punggung gagahnya mengeras, dia berputar kembali menghadap pada pohon besar itu, dia berkacak pinggang dengan pernapasan yang melurut deras, rahangnya kembali menguat.
Tangannya berayun dan menghantam pohon di depannya, seluruh kemarahannya terpecah bersamaan dengan pukulannya, pohon besar itu bereaksi, daun-daun kering yang menggantung di dahan yang lemah berjatuhan menghujani Navian yang meregang di bawah.
"Aaargh ...." Suara pekikan Navian mengguncang para burung-burung yang tengah bertinggung di antara pepohonan.
Dia ayunkan tangan yang sama sekali lagi menggocoh pohon besar di hadapannya dengan satu tangannya yang lain berpegangan pada sang pohon, dedaunan kembali berjatuhan ke bawah, mereka terbawa angin menerjang paras Navian yang sendu.
"Sialan! Kenapa semuanya seolah salah gua!" hardik Navian geram, berulang kali dia meninju pohon itu hingga melukis luka di buku-buku tangannya.
Tatapannya memerah dan mengembun, ia getir menatap setiap serat pohon besar itu yang gagah, sorot sang baskara di langit meredup terbungkam oleh awan yang ingin melindungi Navian dari panasnya sang mentari.
Tangannya berayun ke bawah, terkelepai rengsa. Dadanya berguruh, mengabaikan luka yang menorehkan nyeri yang berdenyut di tangannya, ia tidak mengeluarkan darah, hanya saja kulit tangan dia area buku-buku tangannya tampak nyata terkelupas.
Dari jarak lima meter dari keberadaan Navian, sosok gadis cantik berambut panjang lurus berwarna hitam legam seperti tengah menyaksikan kemarahan Navian di sana, dia meringis, wajahnya mengkerut.
"Kak Navian kenapa ada di situ, kenapa enggak di rumah sakit, ada apa ya di rumah sakit?" ujar gadis itu sembari menggenggam tali tas kecil yang tersampir di tubuhnya.
Gadis berparas elok itu mengayunkan kedua kakinya ke dekat Navian berada, langkah bokoh gadis itu tampak terbata-bata, dia gelagapan membaca setiap langkahnya, seolah darah yang merabas terhenti beberapa saat dan terjadi secara berulang kali.
K-kak Navian? Aku selalu menatap punggungnya, dari sejak dulu hal itu selalu aku lakukan. Bahkan saat ini pun aku hanya mampu menatapnya dari kejauhan, sungguh aku tidak sanggup.
Batin gadis itu mengurai perasaan yang tak pernah dia gerai, pertemuannya dengan Navian selalu berulang kali pada rasa sakit yang membuatnya lemah.
Dia mengurungkan niatnya untuk mendekati Navian, kata-kata yang menghunus jantungnya kembali masuk dan merobek keberaniannya, gadis itu lemah, dia mengendur dan berputar membelakangi Navian.
Jangan! Kamu jangan berani mendekati Navian, dia suami Kak Vianna, jangan Tiara ...
Namun, langkahnya kembali terhenti ketika mendengar embusan napas Navian memberat dia kembali berputar menghadap pada Navian, bukan pada Navian, melainkan pada satu tangan pria itu yang terjuntai ke bawah.
Tiara melihat luka yang menghiasi tangan pria itu, kulit punggung tangan Navian terkelupas di antaranya ada darah yang keluar dari sana, tetapi darah tidak mengalir. Gadis bermata pipih itu meringis, seolah dia ikut merasakan nyeri yang mencangkum tangan pria bertubuh tegap itu.
"Kak Navian, kenapa dengan tangan Kakak?" Secara impulsif gadis itu mendekati Navian, sorotnya tidak melepaskan diri dari tangan Navian.
Pria berparas rupawan itu menoleh dan mengangkat tangan yang sudah mengirim rasa nyeri, dia awasi tangan yang dipenuhi dengan bercak-bercak darah dan kulit yang terkelupas itu.
"Bukan apa-apa, tidak usah khawatir, ini akan sembuh dengan cepat, tapi hati tidak akan sembuh begitu saja," jawab Navian mendelik ke arah lain, dia lemparkan tangannya ke bawah.
"Tidak apa-apa apanya sih, itu tangan Kak Navian luka, habis ngapain sih?" tepis Tiara tak percaya dengan semua ucapan Navian.
Tiara memikat tangan Navian yang terluka dan menariknya untuk terduduk di atas rerumputan hijau di bawah, Navian terdiam, pria itu tampak pasrah menerima perlakuan dari adik iparnya ini.
"Kak Navian kenapa sih? Kenapa bisa terluka seperti ini, kalau Kak Vianna tahu pasti dia khawatir banget, Kak Navian hati-hati dong, Kakak sekarang sudah menjadi ayah," celoteh Tiara yang tidak pernah berani menatap Navian secara nyata, gadis itu sibuk mencuci tangan Navian dengan air mineral botol kemasan yang ada di dalam tasnya.
"Tidak, Vianna tidak pernah mengkhawatirkanku, dia hanya mengkhawatirkan karirnya, bahkan dia tidak menginginkan putranya," jawab Navian membuat Tiara mengkerut tidak mengerti.
Tiara tertadah sejenak, tatapannya kembali pada tangan Navian yang berusaha dia obati, gadis itu menyeka tangan Navian dengan tisu yang selalu dia bawa kemana pun dia melangkah, Navian mengernyit dan meringis menahan perih yang menerjang tangannya.
"Mungkin Kak Vianna cuman terkejut pasca melahirkan, Kak Navian sabar aja dulu, dekati Kak Vianna secara perlahan," saran Tiara sembari dia merekatkan plester luka ke atas luka yang tergolek di atas buku-buku tangan Navian.
Navian terdiam mendengar penuturan Tiara, lantas dia mengangguk menyetujui apa yang dikatakan oleh Tiara. Rumput kuning di depannya menari-nari bersama angin dan sorot Navian mengarah pada mereka yang terus menggodanya.
"Mungkin saja, tapi ...," sahut Navian yang tiba-tiba saja terhenti.
Pria dengan hidung lancip itu mendadak terbenam pada pikirannya, dia terantuk pada ingatan yang belum lama ini terjadi, saat malam Navian pulang terlambat karena kecelakaan kecil.
Navian tersandung akar yang menjorok ke tangah jalan, dia tersandung dan akhirnya terjatuh, mengakibatkannya harus mendapatkan luka parut di area siku dan kedua kakinya, bahkan celana yang dia kenakan saat mengendarai motor itu robek.
"Kamu dari mana aja sih, udah malam ini, ngapain aja sih di luar, kerja itu ada waktunya Navian," gerutu Vianna yang tidak peduli sang suami telah dipenuhi balutan luka di area tangan dan kakinya, wanita itu masih saja sibuk dengan ponselnya sembari dia menyerana di atas sofa saat kandungannya masih berusia empat bulan.
"Kamu gak lihat aku kecelekaan, harusnya kamu tanya kenapa aku bisa pulang penuh luka seperti ini, bukannya malah marah-marah gak jelas," tangkis Navian geram melepaskan jas hitam yang menempel di tubuhnya lantas dia lempar ke sembarang tempat.
"Heh!" timpal Vianna melempar ponselnya ke sofa di samping kanannya, tatapannya mengeras, melucuti sang suami berpenampilan lusuh dengan luka di area siku, lutut dan bagian betisnya masih basah. "Siapa yang suruh kamu pakai motor murahan itu hah?! Salah sendiri, punya mobil bagus malah pake motor murahan," sergah Vianna masih tidak peduli walau dia sudah tahu betapa berantakannya penampilan Navian.
"Ah sudahlah, kamu emang egois, aku mati sekalipun sepertinya kamu tidak akan peduli."
Pertengkaran yang selalu terjadi itu terus menikam Navian, tetapi entah mengapa pria itu masih saja bertahan dalam pernikahannya ini, rasa cinta yang dia miliki untuk Vianna terlalu besar, sehingga dia tidak memedulikan perlakuan buruk Vianna padanya.
"Kak Navian lebih baik kembali ke rumah sakit, nanti banyak yang nyari," saran Tiara setelah dia selesai mengobati luka Navian.
Navian mengerjap, terbangun dari abun-abunnya yang baru saja terantuk pada ingatan tentang pertengkaran itu dengan Vianna, walau hal itu sering terjadi, tetapi Navian selalu kembali untuk mencintai Vianna dengan tulus.
"Terima kasih, kenapa kamu baik sekali, berbeda dengan Kakakmu?" tanya Navian, pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa pria itu sadari.
...See you next part....
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Bilqies
aku mampir lagi kaak
mampir juga di karyaku yaa
2024-04-21
0