This is just fiction.
•••••••••••••••••••••••••••
Degh!
Apakah aku salah telah membantu Kak Navian?
A-apa aku melakukan kesalahan?
Batin Tiara terus berseteru dengan pikiran-pikiran rasa takut yang selalu terbangun oleh jiwanya yang rapuh.
Atmanya sudah sering sekali ditikam oleh kenyataan jika semua yang dia lakukan adalah kesalahan, rasa sakit dan luka yang menempel di dirinya tak pernah mengundang iba ataupun kepedulian dari keluarganya, kecuali sang ayah yang selalu menjadi topik utama dia bertahan dalam keluarga itu.
Tiara singkirkan tangannya dari tangan Navian, rasa bersalah membuncah di dalam diri Tiara, gadis bermata pipih itu menatap Navian dengan dalam, dadanya berdebaran, selalu saja begitu hingga Tiara jengah dengan perasaannya sendiri.
Dia terbangun dari hadapan Navian, matanya mengedar dengan tidak tenang, membuat Navian terantuk pada pemikirannya yang selalu terjadi setiap dia berhadapan dengan Tiara, sang adik ipar.
"Euum, Kak Vianna baik, dia cantik dan sempurna, karirnya sangat bagus, berbeda denganku yang hanya seorang guru TK dan guru private, mungkin Kak Vianna sedang mengalami baby blues Kak, Kak Navian sabar saja ya," ungkap Tiara berbeda jauh dari keinginan hatinya.
"Kamu sangat menyayangi kakakmu? Sampai kamu begitu membelanya, dia tidak sebaik itu, dan tentunya kamu tahu betul sifatnya seperti apa kan?" pungkas Navian semakin memojokkan Tiara.
Bagaimana tidak, Tiara selalu disetir oleh ibu dan kakaknya, apapun yang mereka perintah, Tiara selalu menurutinya, dia hanya ingin terus bersama papanya, itu saja, tidak ada yang lain.
Matanya kembali terlempar pada sebuah bidang kosong di belakangnya, air mancur yang tak pernah kehabisan air di sana lebih menarik di banding ketampanan dan kegagahan seorang Navian Narendra Devandra.
"Sudah ya Kak, cepat sembuh, jangan melakukan hal bodoh lagi, Kak Vianna pasti tengah mengkhawatirkan Kakak," ucap Tiara melenceng dari pertanyaan Navian tadi, matanya pun kembali terjatuh dan enggan untuk menatap Navian lebih lama.
Navian kesal pertanyaannya tidak terjawab dengan benar oleh adik iparnya ini, lantas dia menahan Tiara, mengunci tangan gadis cantik itu untuk tetap bersamanya, Navian yang masih menghadap ke arah berlawan dari pandangan Tiara, segera mendelik ke arah sang adik ipar.
"Vianna tidak pernah mengkhawatirkan ku, dan kamu tahu hal itu, tidak perlu mangkir dan menutupi semua kesalahan Kakakmu," ungkap Navian, pria itu tampak kesal dengan sikap Tiara yang selalu menghindari dari setiap perkataan yang diungkapkan oleh Navian.
Tiara menoleh lambat, bukan pada Navian, melainkan terhadap tangannya yang tidak dilepaskan oleh Navian, gadis itu terguncang, langkahnya terasa kelu. Perlahan dia tadahkan tatapannya, merekam jejak ketampanan Navian di netranya yang sendu, beberapa kali dia mengedip.
"Aku tidak tahu masalah kalian, tapi tolong jangan libatkan aku dengan masalah kalian, karena aku sudah melepaskan kalian, tolong ... Mama sangat membenciku, jangan membuat dia semakin membenciku," urai Tiara membuat Navian mengkerut.
"Hah? Maksudmu?" Genggaman Navian melemah.
Tiara singkirkan tangannya dari genggaman Navian, dia menjilati kedua bibirnya, lantas dia membuang wajahnya ke arah lain, tidak ada yang lebih menarik daripada panorama alam yang ada di sekitarnya.
Gadis berparas molek itu menyesar menjauhi Navian di sana, Tiara berlari menjauhi pria yang selalu membuat jantungnya berdebar sampai habis jalan beraspal dia pijaki, berulang kali Navian menyerukan namanya, tetapi Tiara tidak tertarik dengan panggilan lembut lelaki itu.
"Tiara ...." Sekali lagi Navian menggemakan nama Tiara dengan harap adik iparnya itu menoleh dan kembali berbincang dengannya.
Namun, pada kenyataannya Tiara telah mengabaikannya, dia terus berlari. Tubuh mungilnya menggelinjang di udara pendek, Navian menyaksikan Tiara yang terbenam pada sebuah bidang pohon-pohon besar di depan sana.
"Sebenarnya ada apa dengan keluarga Vianna, kenapa Tiara selalu mengatakan jika dia dibenci oleh Mama, apa yang terjadi di dalam rumah itu." Pertanyaan Navian mengenai kondisi Tiara di dalam rumah itu kembali mengembang di dalam benaknya.
Matanya menyipit bersamaan dengan dahinya yang mengkerut, lantas dia berkacak pinggang, di hamparan langit biru di atas, sorot sang baskara memudar karena sang gegana menanggang sang sinar untuk turun pada bumi.
...***...
Rumah besar bernuansa putih dengan perpaduan warna-warna yang senada dengan aksen yang berbeda, di dalam kamar utama rumah itu, Navian masih berjibaku dengan pakaiannya.
Pria bertubuh gagah itu berdiri di depan kaca panjang, setinggi postur tubuhnya yang memiliki tinggi badan lebih dari 180 cm, pria yang menekuk wajahnya sibuk dengan merapikan dasinya yang memang sering dia lakukan sendiri tanpa dibantu oleh Vianna sang istri.
Vianna sendiri masih bersandar di atas ranjang king yang empuk di belakang Navian, tengah memasati layar pintarnya sembari tersengih, pria bermata kecil itu menyaksikan secara langsung sang istri yang sepertinya tidak memedulikan apapun lagi.
Navian menghela napasnya berat, dia rekatkan dasinya membuat penampilannya menjadi sempurna, pria itu mendelik kesal dengan perlakuan sang istri, dia berputar mengarah pada sang istri.
"Bangun dong sayang, masa di kasur terus dari tadi, anak kita butuh asi, kamu urus dia dulu, kamu hanya perlu mengurus putra kita dengan baik, sudah, tidak ada yang perlu kamu lakukan lagi, masa kamu masih saja menolak," pinta Navian bernada lembut.
Navian bergerak sampai dia bertemu dengan jas hitam yang masih menggantung di gantungan di pojok kamarnya, lekas dia lekatkan dengan tubuhnya, menautkan kancing jas itu dengan lubangnya.
"Siapa yang berhak mengatakan seperti itu," celetuk Vianna, dahinya mengeras, wanita itu lempar ponsel yang ada di genggamannya terjun ke sampingnya.
Lantas dia turun dari ranjangnya, menganyam langkah hingga berhadapan dengan sang suami yang sudah menggenggam kenop pintu kamarnya, Navian segera berputar dan menyaksikan wajah kemarahan sang istri membuat hatinya berdesir perih.
"Kamu tidak merasakan bagaimana rasanya hamil, aku harus mengandung anak kita selama sembilan bulan, merelakan tubuhku yang indah menjadi buruk seperti sekarang, kamu lihat aku sekarang, Navian!" Kemarahan Vianna kembali membuncah, tatapannya getir sembari mengguncang Navian.
"Vianna! Stop! Aku sudah bilang, tubuhmu bisa diperbaiki lagi, kenapa kamu menjadi seperti ini, kamu sekarang seorang ibu, berpikirlah dewasa," tutur Navian geram dengan tingkah Vianna akhir-akhir ini.
Perihal itu selalu diungkit Vianna sampai Navian jengah dengan semua tuntutan yang sama setiap hari, sudah lebih dari setengah bulan Vianna keluar dari rumah sakit, dalam waktu itu pula istrinya itu tidak pernah menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu.
Navian tak peduli jika Vianna tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, tetapi putranya membutuhkan sosok ibunya untuk mengurusnya, bukan hanya asi, tetapi kasih sayang dan permainan hati seorang ibu dengan putranya.
Kian hari tertelan oleh waktu Vianna semakin menunjukkan jika dirinya memang tidak menginginkan putranya. Malam gulita saat cahaya matahari meruyup di peraduannya, Navian baru saja tiba di rumahnya setelah seharian penuh dia habisnya di kantor untuk bekerja.
"Tiara ... Cepat hentikan tangisannya, dia membuatku gila, aaargh ...." Laungan Vianna yang entah berada di mana menggema mengisi seisi rumah besar milik Navian bersama Vianna.
"Iya Kak bentar, aku sedang menyiapkan susunya," sahut Tiara yang terdengar dari area dapur.
Navian mengeras di ambang pintu, hidungnya mengernyit. Amarah lelaki itu meluap, dia tarik dasi yang mengerat di lehernya, lantas dia lempar dasi itu ke sembarang tempat, kancing kemeja dan lengannya dia pisahkan dari lubangnya.
Berayun menjauh dari daun pintu, melempar tas kerjanya ke atas sofa yang tergolek di dekatnya. Lalu dia menyugar rambutnya dengan kasar, dia tekuk lehernya ke kiri dan kanannya.
"Vianna benar-benar membuatku marah," ujar Navian menepi di depan undakan panjang yang akan membawanya ke lantai dua rumahnya.
Belum habis Navian membaca setiap undakan yang dia pijaki, ponselnya segera berdering, itu adalah notifikasi dari bank yang memberikan informasi jika Vianna sudah menghabiskan uangnya lebih dari dua ratus juta dalam satu hari.
Melihat hal itu jiwa Navian semakin bergejolak. "Vianna ... Kali ini aku akan tegas dengan kamu, maaf, bukan aku tidak mencintaimu, tetapi kamu sudah keterlaluan, jika seperti ini perusahaanku akan bangkrut karena ulahnya," urai Navian meneguhkan tekadnya, giginya mengerat sebagai isyarat bahwa kali ini Navian tidak akan kalah dengan perasaannya.
Derap langkah berdenyut dari belakangnya, lekas Navian berputar dan menyaksikan adik iparnya yang terlihat masih mengenakan pakaian yang selalu digunakan untuk mengajar di TK yang memang tak jauh dari keberadaan rumahnya, mulai mendekat.
Gadis itu berlari mendugas langkahnya sembari mengocok sebuah botol yang berisikan cairan putih yang manis, saat Tiara mendekatinya, gegas Navian menelentangkan salah satu tangannya, tepat di depan mata Tiara.
Sehingga gadis itu terkesiap, pundaknya mengerjap beberapa detik bersamaan dengan matanya yang terpejam beberapa kali, lalu dia tertadah dan mendapati sosok Navian dengan kemarahan yang terlukis jelas di sana.
"Berhenti, berikan botol itu padaku, dan kamu pulanglah, ini sudah malam, aku akan menyuruh sopir untuk mengantarmu pulang," ucap Navian merampas botol susu yang berada dalam genggaman Tiara.
"Iya Kak." Pasrah, Tiara menyerahkan botol susu itu pada Navian.
Tubuh gadis itu mengendur ke belakang, turun dari tangga dan melipir keluar, dia tak berani membantah Navian, paras tampan lelaki itu tiba-tiba saja lenyap kala amarahnya berdesir kasar.
...See you next part....
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments