5. Sebuah Permainan

"Gue...."

"Terima!"

"Terima!"

"Terima!"

"Terima!"

Suara riuh disertai tepukan tangan para penghuni kelas berhasil memotong ucapan Andara. Gadis itu menatap ke arah sekeliling, di mana semua pasang mata mengarah ke bangkunya. Kemudian dia juga mengalihkan perhatian ke arah depan, tepatnya ke arah sang suami yang sejak tadi tidak lepas memerhatikannya.

"Dara ... Please, terima ya," ucap Levi diiringi sorot penuh permohonan, "aku udah lama memendam perasaan ini. 'Ku harap jawabanmu gak mengecewakan."

Kebimbangan melanda hebat, Andara benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Andai, statusnya tidak berubah ia tidak akan berada dalam posisi ini. Tak dapat dipungkiri, diapun memiliki perasaan yang sama terhadap sahabatnya. Hanya saja, selama ini mereka terlalu nyaman dalam ikatan persahabatan dan sama-sama memendam perasaan satu sama lain.

"Tapi tunggu dulu ... Pernikahan ini bukan kehendak gue juga bukan kehendak dia, tapi mendiang kakek kami. Kami juga sama-sama terpaksa. Dia juga punya kekasih. So, gak ada salahnya, 'kan?" lirihnya dalam hati.

Suara para penghuni kelas masih mendominasi, hingga suara mereka terhenti ketika Andara beranjak dari tempat duduknya.

"Oke, semua. Hari ini kalian semua akan menjadi saksi. Kalian denger baik-baik...," kata Andara dengan suara lantang.

"Hari ini, gue ... Andara Wasesa menerima pernyataan cinta dari seorang Pahlevi Aditya. Detik ini tepat pukul 14.30 WIB kita resmi menjadi sepasang kekasih."

"Yes! Gue gak jomblo lagi, Guys!"

Levi tak dapat membendung rasa bahagianya. Pemuda itu segera bangkit, lalu memeluk Andara dengan erat. Sorakan para penghuni kelas turut mewarnai kegembiraan mereka.

"Akhirnya, duo biang onar bersatu...."

"Kalian emang pasangan serasi kek amplop sama perangko."

"Siap-siap, Pak Ketua! Habis ini bakal dibikin pusing tujuh keliling."

Begitulah bunyi sorakan-sorakan mereka dan masih banyak lagi teriakan-teriakan tak berfaedah lainnya. Mereka semua tidak menyadari jika ada seonggok hati yang terbakar menyaksikan semua itu.

Timotius hanya bisa mengepalkan tangan kuat. Kesal dan marah menjadi satu menjadikan sebuah bongkahan yang teramat menyesakkan dalam dada. Dia tak pernah menyangka kalau Andara akan mempermainkan ikatan yang mati-matian ia jaga. Ikatan yang ia anggap sakral, bahkan rela menyakiti wanita yang sangat dia cintai.

Tak ingin terlalu lama berada di tempat menyesakkan itu, Timo segera mengemasi barang-barangnya, kemudia berlalu dengan membawa sisa amarahnya.

"Lihat, 'kan? Dia tidak peduli. Jadi, ini bukanlah pilihan yang salah," batin Dara yang memerhatikan kepergian suaminya.

Kepergian Timotius juga tak luput dari pengamatan Felisia. Gadis itu juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan sang kakak. Merasa kesal dan marah menyaksikan pengkhianatan Andara, bahkan sempat memiliki niatan melaporkan kejadian itu pada kedua orang tuanya.

Akan tetapi, niatan itu ia urungkan saat terlintas sebuah ide. Dia akan menjadikan peristiwa ini sebagai pion untuk menghancurkan pernikahan mereka.

"Sebaiknya aku minta bantuan Kak Risya. Aku yakin dia mau membantu."

...----------------...

"Kita harus bicara."

Suara berat Timotius berhasil mengejutkan Andara yang baru menyalakan saklar lampu. Dia mengira tidak ada orang karena suasana kamar lumayan gelap. Rupanya sang pemilik tengah berdiri menghadap jendela menatap langit yang tak kalah gelap.

"Apa?" Andara menjawab dengan acuh.

Gadis itu mendaratkan bobot tubuh di depan meja rias, memulai rutinitas malam membersihkan wajah dengan serangkaian produk perawatan kulit.

"Apa maksud perbuatanmu tadi?" tanya Timo dengan dingin. Tatapan matanya sangat tidak bersahabat sejak Andara memasuki kamar.

"Bukan apa-apa. Bapak pasti tau maksud tindakanku tadi, tanpa harus repot-repot menjelaskan."

Timo mengeram kesal, bagaimana bisa wanita ini merasa tidak bersalah sama sekali. Seolah-olah tindakannya tadi merupakan hal yang lumrah dilakukan. Apa dia tidak sadar telah mengkhianati sebuah pernikahan?

"Tapi kau berkhianat, Andara!" teriak Timo diiringi nafas memburu.

Pria itu tak bisa lagi membendung amarahnya. Andara benar-benar keterlaluan. Gadis itu tak bisa menghargai dirinya sebagai suami.

"Aku berkhianat?" Andara menunjuk dirinya sendiri seraya menyunggingkan senyum sinis.

"Kita memang suami istri, Pak. Pernikahan inipun sah di mata hukum dan agama. Tapi apa bapak lupa asal muasal ikatan ini? Apa bapak juga menginginkan pernikahan ini? Saya yakin jawabannya tidak."

Getir yang dirasa Andara setelah memaparkan kalimat panjang lebar itu. Ingatan satu hari sebelum pernikahan kembali berkelebat dalam ingatannya. Pada saat itu, Timotius menemui dirinya secara pribadi meminta bicara empat mata.

Dalam pertemuan itu, Timo menawarkan sebuah kesepakatan untuk melanjutkan perjodohan ini dengan catatan menyembunyikan status mereka di muka umum dan hanya keluarga yang mengetahui. Pernikahan yang diselenggarakan secara tertutup pun juga atas permintaan pria itu, bahkan mengatakan jika dia mempunyai kekasih yang sangat dia cintai.

Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, Andara langsung menyetujui permintaan Timo. Pada akhir pertemuan, pria itu memberi penekanan tidak saling menyampuri urusan satu sama lain dan tidak boleh menuntut hak sebagai suami istri dalam urusan ranjang.

Lagi dan lagi, Andara langsung menyetujui kesepakatan itu. Sebab pada saat itu, dirinya masih dikuasai amarah yang menggunung dan bersikeras menolak perjodohan.

Dia tak pernah menyangka jika takdir akan menyeretnya ke dalam drama nikah paksa yang tak pernah sekalipun ia inginkan dalam hidupnya. Jangankan menginginkan, membayangkan pun tidak.

"Tapi setidaknya aku berusaha menerima meskipun itu berat," sanggah Timo dengan cepat.

Andara membalikkan tubuh menghadap sang suami. "Saya tidak pernah meminta bapak untuk melakukan itu. Jika Anda keberatan, gampang...."

"Ceraikan saya!"

Timotius mengepalkan tangan kuat-kuat hingga otot tangannya terlihat jelas. Matanya terlihat memerah pertanda amarah sudah berada di puncak ubun-ubun. Bagaimana bisa gadis itu mengatakan 'cerai' dengan segitu gampangnya, apa pernikahan memang ia anggap sebuah permainan. Timo benar-benar tidak habis pikir, bagaimana jalan pikiran Andara.

Andara mengabaikan amarah suaminya memilih bangkit menuju tempat tidur. Tubuhnya teramat lelah. Dia ingin istirahat dan menyudahi perdebatan ini.

"Apa kau menganggap pernikahan ini sebuah permainan, Dara?" tanya Timo dengan suara beratnya.

"Ya! Permainan yang diciptakan kakek kita.''

"Asal bapak tau, sejak dulu aku paling tidak suka dipaksa-paksa! Musuhku sejak dulu adalah kakekku karena dia begitu banyak mengekangku dan aku terbiasa membangkang," ujar Andara sebelum mematikan lampu tidur.

"Asal kau tau juga ... Sejak dulu aku juga tidak bisa menolak permintaan kakek. Sahabat terdekatku adalah kakek karena orang tuaku terlalu sibuk dengan bisnisnya dan aku terbiasa menurut."

"Jadi, jangan harap! Setelah kau mengatakan itu, aku akan menuruti keinginanmu."

Timo beranjak dari tempatnya berdiri menuju pintu. Dia ingin menyegarkan pikiran ke tempat favoritnya. Namun, sebelum menutup pintu dia berkata lagi....

"Akhiri hubunganmu dengan pemuda itu!"

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!