3. Pilihan Sulit

"Kamu jahat! Apa salahku sampai kau tega melakukan ini?"

Seorang wanita berteriak histeris di hadapan Timotius. Wajahnya tampak basah oleh air mata yang menyatu dengan keringat. Deru nafasnya masih memburu layaknya seseorang yang habis lari maraton berpuluh-puluh kilometer. Di sekelilingnya tampak kekacauan di mana-mana, semua barang seperti bantal sofa dan beberapa jenis majalah teronggok mengenaskan di lantai, bahkan pecahan kaca pun turut ada di tempat itu. Penampakan apartemen mewah tak ubahnya seperti tempat yang habis terkena sapuan banjir bandang.

"Maafkan aku, Sayang ... Ini semua diluar kehendakku. Aku—"

"Cukup, Timo! Kamu beralasan cuma ingin pembenaran dari pengkhianatanmu, ‘kan? Aku gak mau dengar apapun. Sekarang kamu pergi! Aku gak mau lihat mukamu lagi.

"Pergi!"

Risya mendorong tubuh kekar pria itu, meminta untuk keluar dari unitnya. Dia benar-benar kecewa dengan kenyataan baru diketahui.

Beberapa jam yang lalu, Risya mendapat kabar dari Felisia mengenai pernikahan Timotius yang dilangsungkan hari ini. Awalnya, ia tidak mempercayai kabar itu, bahkan menganggap Feli sebagai pembohong. Wanita itu baru percaya ketika membuka foto dan video yang dikirimkan Felisia.

Seketika itu pula, Risya langsung menghubungi Timotius untuk menanyakan kebenaran mengenai hal itu. Dunianya seakan berhenti berputar ketika Timo membenarkannya. Seketika amarahnya tak terkendali, dia menghancurkan apapun yang ada di dekatnya, meskipun saat itu panggilan masih tersambung dengan sang kekasih.

Timotius yang merasa khawatir dengan keadaan Risya bergegas menuju ke apartemennya. Dia harus menjelaskan semuanya kepada sang kekasih mengenai semua ini.

"Tidak sebelum aku menjelaskan semuanya."

"Aku gak butuh penjelasanmu!" sahut Risya cepat diiringi nafas memburu, "kau sudah mengkhianatiku, Timo. Aku kecewa, kamu jahat!"

"Kamu jahat!"

Wanita itu memukuli dada bidang kekasihnya bertubi-tubi untuk melampiaskan kemarahan yang menggunung, sedangkan Timotius hanya bisa pasrah menerima semua itu. Dia segera menggenggam kedua tangan yang masih bergerak aktif, lalu mendekapnya erat dan menciumnya berkali-kali. Berharap perlakuannya bisa membuat wanita itu tenang.

"Ceraikan wanita itu." Ucapan itu terlontar begitu saja dari bibir Risya.

Timotius menatap lekat wanita itu. Dia hanya diam tidak tau harus menjawab apa. Permintaan Risya teramat sulit baginya.

"Maaf...."

"Apa maksudmu dengan 'maaf'? Kamu tidak mau menceraikan dia, iya?"

Risya menggeleng samar tidak percaya atas keputusan kekasih yang sangat dia cintai.

"Bukan begitu, Risya ... Aku menikahinya karena terpaksa. Semua karena wasiat kakek. Kamu tau sendiri ‘kan jika wasiat harus dijalankan meskipun berat? Aku mohon pengertianmu ... Percayalah! Aku terpaksa."

Timo berusaha menjelaskan semuanya secara perlahan, berharap wanita itu mau mengerti.

Akan tetapi, Risya tetaplah Risya. Wanita itu berperangai keras kepala cenderung ambisius. Semua keinginannya harus terpenuhi. Jika tidak, maka dia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

"Aku tidak mau kehilanganmu, Timo! Aku tidak rela melihatmu bersama wanita lain. Harusnya aku yang menjadi pengantinmu, bukan dia!"

Wanita itu mengiba di depan sang kekasih, air mata kembali berderai membasahi kedua pipinya. Penampilannya terlihat sangat kacau, sangat kentara jika ia tengah frustasi.

Timotius sendiri bingung harus bagaimana, berbagai cara telah dia lakukan untuk menenangkan dan memberi pengertian. Namun, Risya tetap bersikeras dengan keinginannya.

"Mau, ya ... Ceraikan dia. Please, demi aku, demi cinta kita," rengeknya seraya menggenggam erat tangan kekar itu disertai sorot penuh permohonan.

Gelengan menjadi jawaban yang membuat Risya secara perlahan melepas genggamannya. Wanita itu memundurkan tubuh beberapa langkah, masih tidak percaya dengan keputusan pria itu.

Tanpa sengaja netranya menangkap sebilah pisau buah yang tergeletak tak jauh dari posisinya. Tanpa basa-basi, wanita itu langsung menyambar pisau tersebut, lalu mengarahkan pada dada bagian kiri.

Seketika Timotius membelalak sempurna melihat apa yang dilakukan kekasihnya.

"Apa yang kau lakukan?" teriaknya dengan panik.

Pria itu berniat mendekat untuk membuang benda tajam itu, tetapi peringatan Risya berhasil mengurungkan niatnya.

"Jangan mendekat kalau tidak ingin benda ini berpindah ke jantungku."

Pisau yang berada di tangan Risya semakin mendekat ke tempatnya yang berhasil membuat Timotius semakin panik. Rupanya wanita itu tidak main-main dengan aksinya.

"Jangan macam-macam, Risya!"

"Please ... Jauhkan benda itu! Jangan nekad!"

"Tidak akan sebelum kau mengiyakan permintaanku."

"Turunkan benda itu dulu, please ... Kita bicara baik-baik. Masalah ini harus dibicarakan dengan kepala dingin," pinta Timo dengan sorot memohon.

"Tentukan pilihanmu! Aku atau wanita itu."

Timotius menjambak rambutnya frustasi. Entah mengapa semua terasa begitu sulit saat diminta menceraikan Andara. Harusnya, ia bisa menjatuhkan pilihan dengan mudah. Dia mencintai Risya, seharusnya bisa dengan mudah mengiyakan saat diminta menceraikan Andara.

"Aku atau wanita itu!" Risya berteriak mengulang ucapan menuntut jawaban.

Akan tetapi, Timotius masih setia dengan kebungkamannya. Dia harus segera menentukan pilihan sebelum Risya semakin nekad.

"Oke, aku akan memilih tapi jauhkan benda itu dulu."

"Cepat katakan! Aku atau dia."

"Letakkan benda itu! Baru aku memberi jawaban."

Risya tampak diam berpikir. Situasi itupun dimanfaatkan Timo untuk membuang pisau yang berada di tangan kekasihnya.

"Nyawa bukan mainan. Tolong jangan lakukan itu lagi." Timo mendekap erat tubuh itu, meski tak mendapat balasan apapun dari wanitanya.

"Aku tidak bisa gegabah, semua harus dipikirkan matang. Beri aku waktu."

Risya melerai dekapan itu dan menatap kosong pria yang ada di depannya. Pria yang selama tiga tahun terakhir menguasai seluruh tempat di hatinya, memberi warna di hidupnya. Namun, kini telah menjadi milik wanita lain di saat masih menjadi miliknya. Sudut hatinya memberontak tidak rela, pikiran memaksa untuk melawan, tetapi tubuh enggan melakukan.

"Jawab, Timo! Aku atau wanita itu?" Risya bertanya dengan suara parau, kristal bening tampak menumpuk di pelupuk mata.

Hanya keheningan yang didapat. Dekapan pria itu justru terasa semakin erat.

"Aku butuh jawaban."

Lagi-lagi, hanya keheningan yang didapat.

Sebenarnya, Risya sangat yakin jika Timo masih sangat mencintai dirinya. Terbukti dari sikap pria itu. Akan tetapi, Risya butuh pengakuan secara langsung bukan sekedar sikap.

"Please, Timo ... Jawab! Jawab 'aku memilihmu','' batinnya penuh harap.

"Maaf, aku tetap pada pendirian awal. Pernikahan bukan sebuah permainan, meski aku melakukannya dengan terpaksa."

Setelah mengatakan hal itu, Timo segera melerai dekapannya, kemudian berlalu keluar apartemen meninggalkan Risya yang mematung seorang diri di tempatnya.

Nyatanya harapan hanya tinggal harapan. Timotius, pria yang sangat dia cintai telah menghancurkan harapannya menjadi berkeping-keping. Lantas, kini apa yang harus ia lakukan setelah semuanya hancur? Haruskah ia pasrah begitu saja, menerima semua pengkhianatan Timo akan cintanya?

Oh, tentu tidak. Itu bukanlah sifat seorang Risya. Risya Camelia tidak selemah itu.

"Lihat saja, Timo! Jika aku tidak bisa memilikimu, maka wanita lain pun tidak."

Wanita itu kembali mengamuk seperti orang kesetanan, melampiaskan semua amarah pada benda-benda yang ada di sekitarnya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!