"Selamat dengan ini kalian sah menjadi suami istri dimata hukum dan agama."
Acara inti telah usai, seorang pemuka agama meresmikan pernikahan Andara dan Timotius.
Kedua mempelai hanya menanggapi dengan wajah datarnya. Sangat kontras dengan pengantin pada umumnya yang akan menyambut hari bahagia dengan penuh antusias, mereka akan selalu menebar senyum karena berhasil bersanding dengan seseorang yang sangat dicintai. Namun, hal itu tidak berlaku untuk pasangan tersebut. Jangankan untuk berbahagia, tersenyum pun keduanya terlihat enggan. Pernikahan ini terjadi bukan atas kehendak mereka, melainkan atas dasar paksaan demi sebuah wasiat.
Nyatanya, segala penolakan yang dilaungkan Andara selama beberapa hari terakhir tidaklah membuahkan hasil. Hal yang sama juga dialami Timo, Aksara selalu menekankan agar putranya menerima Andara dan pernikahan dengan sepenuh hati sebagai konsekuensi karena Timo menolak melibatkan diri dalam perusahaan, yang justru memilih mengabdikan diri untuk dunia pendidikan.
Pada akhirnya, pernikahan itu tetap terselenggara meski secara tertutup yang hanya dihadiri oleh keluarga inti. Orang terdekat seperti teman, sahabat maupun kekasih tidak ada yang diundang. Itu semua atas permintaan kedua mempelai yang telah bersepakat untuk menyembunyikan status mereka.
"Silahkan dilanjut dengan acara tukar cincin." Pria yang memimpin jalannya acara memberi arahan pada kedua mempelai.
Tanpa banyak kata, Timotius segera meraih kotak beludru warna merah yang ada di depannya. Dia mengambil satu cincin, lalu menyematkan ke jari manis istrinya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Andara. Dengan wajah masam, gadis itu memasangkan cincin ke jari manis sang suami dengan kasar. Sontak semua orang yang menyaksikan acara sakral itu hanya menggeleng pelan melihat tingkah laku pengantin wanita.
"Pelan bisa, tidak?" Timo berbisik penuh penekanan.
"Bodo amat!"
Seketika itu pula, Timotius berhasil dibuat geram. Ingin rasanya, ia meremat mulut mungil gadis yang kini telah menjadi istrinya.
"Baru semenit, dia sudah menyebalkan. Bagaimana kalau setiap hari."
Dua keluarga yang telah bersatu berucap penuh syukur karena acara yang disusun sejak beberapa hari yang lalu berjalan dengan lancar. Meski sempat kecewa dengan keputusan putra putri mereka, tetapi hal itu tak menyurutkan kebahagiaan mereka.
''Akhirnya, Mbak Mer ... Kita bisa melaksanakan wasiat mertua. Beban menanggung sebuah wasiat itu sangat berat, Mbak. Terlebih setelah si pemberi wasiat tiada, serasa memikul batu besar seumur hidup."
Meriam mengangguk menyetujui perkataan wanita yang telah menjadi besannya. Dirinya pun merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Indira, terlebih mertuanya—Laksana Agung—berpulang lebih dulu satu tahun yang lalu. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Agung juga menyampaikan pesan yang sama. Hanya saja, saat itu Agung menyampaikan secara langsung di depannya dan sang suami, tanpa ada kedua anak mereka.
Selama satu tahun penuh, Merriam harus menanggung beban itu. Akan tetapi, detik ini seakan beban yang menghimpit berangsur menghilang seiring diresmikan pernikahan putra sulungnya. Tanpa terasa setetes air mata haru luruh ke pipi wanita paruh itu, tetapi segera diseka sebelum ada yang melihatnya menangis.
''Tapi, tugas kita belum selesai." Merriam menimpali dengan nada pelan.
''Maksudnya?" Indira memandang dengan kening berkerut.
''Tidak hanya menjalankan, kita juga harus menjaga wasiat itu dengan baik. Tidak hanya mempersatukan, kita juga harus bisa membuat mereka saling menerima satu sama lain. Jangan sampai suatu saat nanti pernikahan mereka kandas di tengah jalan."
Indira terdiam mendengar penuturan Meriam. Ternyata wanita itu juga mengkhawatirkan hal yang sama. Mengingat pernikahan putra putri mereka atas dasar paksaan, tidak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti hal itu akan terjadi. Terlebih ketika mengingat sikap putrinya yang semaunya sendiri. Dia berharap Timotius bisa menjadi sosok yang lebih dewasa untuk Andara.
''Aku setuju, Mbak. Putriku masih sangat belia, sikapnya pun masih kekanakan. Aku harap Timo bisa ngemong Dara."
Pembicaraan kedua wanita itu masih berlanjut, tanpa mereka sadari hal itu bisa didengar jelas oleh seorang gadis yang sejak tadi berada di belakang dua wanita paruh baya itu.
''Lakukan saja apa yang ingin kalian lakukan. Aku juga akan melakukan apa yang 'kuinginkan. Aku gak pernah sudi menganggap Andara sebagai kakak ipar," gumam Felisia dalam hati.
Sejak acara berlangsung, gadis itu selalu menatap penuh ketidaksukaan kearah wanita yang bersanding di samping sang kakak. Felisia adalah teman sekelas Andara. Sudah tentu, dia sangat mengenal Andara dengan segala tingkahnya.
Sama halnya seperti Andara, sejak awal gadis itu juga tidak menyetujui perjodohan ini. Akan tetapi, dia juga tidak punya kuasa untuk ikut campur apalagi menolak. Nyalinya terlalu ciut untuk melawan orang tuanya terlebih sang papa yang terkenal akan ketegasannya.
Feli juga tidak mungkin mengatakan secara langsung di depan kedua orang tuanya jika dirinya dan Andara adalah musuh bebuyutan di kampus. Semua itu ia lakukan demi menjaga kewarasan telinga dari serentetan kalimat panjang lebar yang berisi petuah dari Merriam.
"Lihat saja nanti! Aku akan menghancurkan pernikahan mereka."
Gadis itu masih dengan ketidaksukaannya hingga sedetik kemudian terbesit sebuah ide dalam benaknya. Tanpa menunggu lama, dia segera mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang.
Seseorang yang ia yakini bisa membantu mewujudkan misinya. Namun, sepertinya usaha gadis itu tak semudah yang dibayangkan. Seseorang yang dimaksud tak kunjung menjawab panggilannya hingga membuat kekesalannya semakin bertambah. Tak patah arang, ia segera merekam dan memotret acara pernikahan itu, lalu mengirimkan hasilnya pada orang yang dituju.
"Setidaknya dia mengetahui acara ini," gumamnya seraya menatap file-file yang telah terkirim.
"Feli, temui kakak iparmu! Dari tadi mami perhatiin kok main hape mulu."
Suara sang ibu berhasil mengalihkan perhatian Felisia. Sebenarnya dia sangat malas bertemu dengan Andara, tetapi tidak mempunyai pilihan lain selain menurut.
Feli berjalan mengekori sang ibu. Ketika sampai di hadapan sang pengantin wanita, dia bisa melihat dengan jelas kebahagiaan Merriam.
Kedua wanita beda usia itu tampak bercipika-cipiki, bahkan seringkali terdengar pujian Merriam untuk sang menantu. Namun, sikap yang ditunjukkan Feli jauh berbeda dengan sikap ibunya. Gadis itu tampak ogah-ogahan mendekati Andara, bahkan terkesan jengah dengan situasi itu, sangat kentara jika dia tidak menyukai kakak iparnya.
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Andara. Namun, gadis itu mampu menyembunyikan ketidaksukaannya dengan baik. Gadis berbalut gaun pengantin itu selalu menunjukkan senyum, bersandiwara seolah-olah hari ini adalah paling bahagia dalam hidupnya.
"Feli, senyum dong ... Masa ketemu kakak ipar manyun begitu." Untuk kesekian kali, Merriam menegur putrinya.
Seuntai senyum paksa pun terlukis di bibir Felisia Namun, hanya beberapa saat. Setelahnya dia menunjukkan ekspresi wajah seperti semula.
"Cipika-cipiki, peluk kakak iparnya. Masa kaku begitu, sih? Kamu harus akrab sama dia, Fel."
"Yes, Mam."
Lagi dan lagi, Feli melakukan apa yang diperintahkan oleh sang ibu. Meskipun enggan, tetapi gadis itu tetap melakukannya, mencium dan memeluk Andara.
"Welcome in your hell, Dara," bisiknya seraya mengeratkan pelukannya.
Dara segera melerai pelukannya, lalu menatap Feli diiringi seringainya.
"Welcome in your hell too, Felisia."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments