Dipaksa Menikah Dengan Dosen
"Ada apa ini?"
Seorang gadis mengernyit heran ketika mendapati dua buah mobil mewah terparkir di depan rumah, menandakan jika orang tuanya tengah menerima tamu. Kehadiran para pria bertubuh kekar berseragam hitam yang berbaris rapi di sekitaran mobil tersebut membuat kebingungannya semakin menjadi. Itu artinya tamu yang berkunjung bukanlah orang sembarangan. Dia mencoba menerka-nerka, tetapi otak kerdilnya hanya menemui kebuntuan.
Demi mengikis rasa penasaran, gadis itu memutuskan untuk melangkah masuk dengan membawa serta koper yang sejak tadi berada di sampingnya. Ketika mendekati pintu, telinganya bisa mendengar dengan jelas suara orang tengah bercakap-cakap. Salah satu suara yang ia kenal, yakni suara Indra Wasesa—sang ayah juga suara Indira—sang ibu, kemudian suara lain yang turut serta menimpali ucapan sang ayah. Namun, dia tidak mengenali suara itu.
Tak ingin ambil pusing, akibat lelah yang mendera. Andara memilih mengabaikan, melanjutkan langkah memasuki rumah, bahkan mengabaikan para tamu yang berada di ruang utama.
"Eh, kamu pasti Dara, ya ...."
Andara mengurungkan niat menaiki tangga ketika mendengar seorang wanita menyebut namanya. Dia hanya tersenyum kikuk menanggapi sapaan itu karena memang tidak mengenali wanita itu.
"Siapa dia, Ma?" Andara bertanya kepada sang ibu.
"Dara, gak sopan! Ada tamu main nyelonong gitu aja. Ayo, salim dulu!" Bukan langsung menjawab, Indira justru menegur putri semata wayangnya.
Dengan penuh keterpaksaan, Andara menuruti perintah sang ibu. Dia menyalami satu per satu pasangan paruh baya yang berada tepat di hadapan kedua orang tuanya.
"Uh, cantiknya ... Dulu waktu kecil kamu imut sampai bikin tante gemes. Sekarang udah besar cantik, sopan pula. Iya, 'kan, Pi?" Merriam meminta persetujuan sang suami yang hanya ditanggapi dengan anggukan pelan oleh Aksara.
''Kamu masa lupa, Sayang? Ini Tante Mer dan Om Aksa. Anak dan menantu sahabat kakek. Kamu masih ingat ‘kan sama Kakek Agung?" Indira mulai mengenalkan tamunya.
Gadis itu tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk mengiyakan.
''Itu kedua anaknya," sambung sang ibu seraya menunjuk ke arah sofa yang berada agak jauh dari tempatnya.
Andara pun mengikuti arah yang ditunjuk ibunya. Dia teramat terkejut ketika mendapati sosok yang sangat dikenal.
"Loh, kok–"
Gadis itu tak pernah menyangka jika tamu yang ada di rumahnya adalah Timotius Laksana Agung—dosen yang terkenal killer di kampusnya. Putra sulung dari pasangan Aksara Laksana Agung dan Meriam Belinda—seorang pebisnis kaya raya dan sosialita. Kemudian dia mengalihkan pandangan pada seorang gadis yang ada di samping pria itu yang tidak lain adalah Felisia Laksana Agung—putri bungsu pasangan tersebut.
''Lo juga ngapain di sini?" tanya Andara dengan ketus.
Pria yang disapa hanya diam seribu bahasa, sedangkan Felisia hanya melayangkan tatapan penuh kesinisan.
Seketika, sebuah cubitan kecil mendarat di lengan Andara, siapa lagi si pelaku jika bukan Indira.
"Dara, jaga sikap!" bisiknya penuh peringatan.
"Maaf, ya, Mbak Mer ... Dara memang begitu anaknya."
''Tidak apa-apa...."
"Maaf, Tuan dan Nyonya. Saya terlambat 15 menit dari waktu yang ditentukan." Seorang pria berjas rapi serta membawa sebuah tas kerja tiba-tiba masuk dan memotong pembicaraan mereka.
"Tidak apa-apa, Pak. Silahkan duduk." Indra menyambut ramah pria itu.
''Dara, kamu harus ikut mendengarkan pembacaan surat wasiat kakek."
''Buat apa, sih, Pa? Gak penting juga. Aku capek habis perjalanan jauh." Andara menolak lesu.
Sontak, jawaban itu berhasil menyulut api amarah sang ayah.
''Apa katamu? Gak penting! Wasiat kakek, kamu bilang gak penting? Keterlaluan! Gak ada bantahan! Kamu harus ikut duduk di sini."
"Mas, tenang!" ucap Indira berusaha menenangkan suaminya, kemudian berbisik, "jaga emosi! Malu ada tamu."
"Tapi, Pa—''
Ucapannya terhenti ketika mendapat pelototan tajam sang ibu yang memintanya untuk menurut.
Andara menghela nafas panjang. Dengan terpaksa gadis itu menurut, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada sofa yang berada tak jauh dari kedua orang tuanya, bahkan dia bisa melihat dengan jelas tatapan tajam dari pria yang berada tak jauh dari tempatnya.
''Baiklah, apa semuanya sudah lengkap?" tanya seorang pria yang merupakan pengacara yang dipercaya untuk menyampaikan wasiat.
''Sudah, Pak. Bisa dimulai," sahut Indra.
''Baiklah. Perkenalkan saya Roni Firmansyah, selaku pengacara yang ditunjuk Bapak Wasesa. Beliau memberikan beberapa amanat yang berupa pembagian aset....''
Suara pria itu menggema di ruang utama saat membacakan harta-harta peninggalan Wasesa yang berupa tanah dan bangunan serta beberapa aset yang harus dikelola Indra, bagian yang diperoleh sang menantu pun tak luput disebutkan, serta aset yang akan dihibahkan pada yayasan sosial, tanpa lupa pesan-pesan terakhirnya.
Sungguh, Andara merasa jengah mendengar serentetan kalimat panjang lebar itu. Menurutnya, sang kakek terlalu lebay. Ayahnya adalah anak tunggal yang otomatis semua harta yang ditinggalkan akan jatuh ke tangan sang ayah tidak perlu pakai surat wasiat segala, pikirnya.
Jika bukan karena takut akan kemarahan Indra mungkin Andara sudah pergi sejak tadi.
''Untuk poin terakhir dari wasiat Bapak Wasesa. Beliau ingin menjodohkan cucunya yang bernama Andara Wasesa dengan seorang pria yang bernama Timotius Laksana Agung, yang tidak lain tidak bukan adalah cucu dari sahabat karibnya Laksana Agung. Pernikahan keduanya akan dilangsungkan seminggu setelah surat ini dibacakan. Berikut lampiran pesan terakhir beliau:
–Andara Cucuku, kakek harap kamu mau menerima perjodohan ini dengan hati lapang dan ikhlas, demi memenuhi janji kakek pada Agung. Kakek sudah merencanakan perjodohan ini dengan sahabat Kakek—Laksana Agung—sejak lama. Dulu kami sepakat akan menjodohkan anak-anak kami demi mempererat tali persahabatan yang sudah terjalin sejak puluhan tahun lamanya. Akan tetapi, ternyata baik pihak kakek maupun pihak Agung sama-sama dikaruniai anak laki-laki. Oleh karenanya, kami kembali membuat kesepakatan, jika suatu saat kami dikaruniai cucu sepasang maka kami akan menjodohkan mereka. Kakek doakan pernikahan kalian langgeng dan penuh cinta.–
"Demikian surat wasiat ini saya buat secara sadar dan tidak ada paksaan dari pihak manapun. Untuk cucu, anak dan menantuku, janganlah kalian berlarut dalam kesedihan setelah kepergianku, jalani hidup kalian dengan baik. Salam sayang, Wasesa," pungkas pria itu seraya menutup map yang sejak tadi berada dalam kuasanya.
Andara mengepalkan tangan kuat saat mendengar kalimat terakhir wasiat tersebut. Hatinya menahan bongkahan-bongkahan kemarahan yang siap diledakkan. Gadis itu tidak habis pikir jika sang kakek bisa membuat keputusan sepihak tanpa meminta persetujuan darinya.
Saat itu pula, dia bangkit dari duduknya seraya berteriak, "apa-apaan ini! Gak, aku gak setuju! Aku menolak keras perjodohan ini."
Lain halnya dengan Andara, Timotius terlihat sangat tenang dengan wajah datarnya. Tidak ada senyuman ataupun kemarahan. Akan tetapi, tatapannya menghunus tajam pada gadis yang berada tepat di hadapannya.
"Saya hanya bertugas menyampaikan amanat, Nona. Selain itu, diluar wewenang saya. Karena tugas saya telah selesai, saya pamit undur diri permisi." Pria berpakaian rapi itupun menunduk dengan hormat sebelum berlalu dari rumah megah itu.
Gadis itu mengeram kesal, ingin raaanya dia memecahkan vas bunga yang ada di depannya. Kakeknya benar-benar menyebalkan, bahkan ketika sudah meninggal sekalipun. Jika bukan karena paksaan sang ibu, mungkin saat ini ia tidak akan berada di tempat memuakkan ini.
Beberapa hari yang lalu, Indira meminta Andara untuk pulang dengan dalih acara peringatan 40 hari kematian Wasesa—sang kakek. Awalnya, gadis itu menolak karena menurutnya itu bukanlah acara penting. Akan tetapi, berkat paksaan yang berbumbu ancaman dari sang ibu membuat gadis itu terpaksa mengiyakan permintaan itu.
"Dara!"
Indira segera menarik paksa tangan putrinya untuk kembali duduk, tetapi Andara tak bergeming sedikitpun. Raut kekesalan masih tergambar jelas di wajahnya, bahkan wanita paruh baya itu sampai harus menahan malu di depan para tamunya.
''Maaf atas sikap Andara, ya, Mbak, Mas...," ucap Indira yang merasa tidak enak hati.
''Tidak apa-apa, In. Maklum anak muda. Putri kami juga sering seperti itu," balas Meriam seraya mengulas senyum.
Sebuah deheman keras mengalihkan perhatian semua orang yang ada di sana.
''Baiklah, langsung saja ... Tujuan kami datang kemari selain untuk berbelasungkawa atas kepergian Om Sesa, kami juga bermaksud meminang Andara untuk putra kami, Timotius. Kami harap kalian bersedia menerima niatan baik ini." Aksara membuka pembicaraan diiringi raut penuh keseriusan.
"Kami menyambut baik pinangan Mas Aksa. Bagaimanapun juga kami sebagai keluarga almarhum wajib untuk memenuhi wasiat beliau." Indra menimpali dengan suara beratnya.
"Tapi, Pa, aku—
Andara yang merasa geram berniat untuk menyangkal. Namun, lagi-lagi niatnya harus urung saat lengannya mendapat remasan kuat dari tangan sang ibu.
"Lantas, bagaimana dengan Nak Timo sendiri? Bersedia atau tidak?" tanya Indra.
Pria yang ditanya hanya diam tidak menolak maupun mengiyakan. Mereka yang ada di sana mengartikan diamnya pria itu sebagai persetujuan.
"Baiklah, karena semua sudah setuju. Bagaimana kalau hari ini kita adakan pertunangan untuk mereka?" Aksara memberi usulan.
"Boleh-boleh, itu ide yang bagus. Baru setelah itu kita akan bahas mengenai pernikahan mereka."
Indra menyambut penuh antusias usulan tersebut, begitu pula dengan Indira, sedangkan Andara sendiri berusaha keras menahan gejolak amarah yang masih memuncak. Ingin rasanya dia melampiaskan semua amarah saat itu juga.
"Timo, keluarkan cincin yang sudah dipersiapkan, kemudian pasangkan pada calon istrimu!" titah Merriam.
Timotius pun menuruti perintah sang ibu. Namun, dia hanya meletakkan cincin itu tepat di depan Andara, kemudian berlalu keluar dari suasana yang sejak tadi serasa mencekik lehernya.
"Timo, mau kemana kamu! Acara baru akan dimulai." Meriam berteriak memanggil putra sulungnya.
"Timotius!"
Namun, Timotius seolah tuli. Dia tak mengindahkan sama sekali panggilan sang ibu justru mempercepat langkahnya menuju mobil. Tak berselang lama, terdengar suara deru mobil yang meninggalkan pekarangan luas itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments