4. Ungkapan Tak Terduga

"Hai, Manis ... Sendirian aja," goda seorang pemuda saat melihat Andara berjalan seorang diri di koridor kampus.

Gadis yang merasa terpanggil segera mengalihkan perhatian saat mendengar suara yang sangat dikenal. Dia merotasi kedua bola mata ketika melihat partner in crime-nya, pagi-pagi sudah memasang wajah yang teramat menyebalkan.

Percayalah! Semenjak statusnya resmi berubah menjadi seorang istri. Suasana hati Andara tak pernah baik-baik saja. Setiap kali bertemu seseorang gadis itu selalu ingin melampiaskan kekesalan. Entah orang yang ditemui paham akan masalahnya atau tidak, ia tidak peduli. Dia hanya ingin rasa sesak dalam dadanya segera menghilang. Seandainya bisa ingin rasanya, ia mengasingkan diri ke hutan Amazon. Baginya hidup bersama sekawanan ikan piranha lebih baik daripada hidup bersama orang asing.

Andara mengabaikan sapaan itu, memilih berjalan cepat menuju kelas.

"Dar, lu kenapa, sih? PMS, ya? Jutek amat."

Levi yang merasa diabaikan segera mensejajarkan langkah di samping sahabatnya, bahkan pemuda itu tak segan merangkul pundaknya.

"Apaan, sih? Lepas!"

Andara yang merasa risih melepas paksa tangan kekar itu.

"Lu kenapa, sih? Muka lu asem bener macem bau ketek," kata Levi yang merasa risih dengan perubahan sahabatnya.

Pemuda itu kembali menyandarkan tangan ke pundak sang sahabat. Namun, kali ini Andara membiarkan hal itu.

"Kalo ada masalah ngomong ... Jangan kek gini. Gue yang gak tau apa-apa ikut kena imbas," imbuhnya lagi.

Andara hanya melirik sekilas tanpa berniat sedikitpun untuk membuka suara. Entah kenapa dia merasa enggan memberitahukan status barunya padahal biasanya tidak seperti itu. Dia selalu terbuka mengenai apapun yang menimpa dirinya, entah itu suka ataupun duka.

"Gak ada apa-apa ... Gue lagi badmood aja."

"Bener?"

Gadis itu membalas dengan anggukan pelan.

"Pagi-pagi, udah mesra-mesraan. Kayaknya ada yang lupa ingatan, nih. Inget yang di rumah, oi! Jangan kek cewek gatel." Suara lantang Felisia berhasil mengalihkan perhatian keduanya, bahkan tak segan menerobos di antara Levi dan Andara yang berhasil membuat rangkulan Levi terlepas.

Sungguh, Andara merasa geram mendengarnya, tetapi berusaha bersikap biasa. Ingin sekali ia membalas mulut ember itu. Namun, ia tahan sebab tak ingin menimbulkan kecurigaan levi terhadapnya.

"Emang di rumah lu ada siapa, Dar?" celetuk Levi spontan.

"Orang tua gue lah, siapa lagi," jawab Andara sekenanya, tetapi tatapannya menghunus ke depan tepat ke arah Feli yang tengah memiringkan senyum sebelum menghilang di balik dinding kelas.

"Kok gue gak yakin." Levi menatap penuh selidik, terselip sebuah keraguan dalam nada bicaranya.

"Lu kalo kek gini pantes jadi owner 'Lambe Nyinyir', tau gak," ucap Dara disertai wajah datarnya.

"Sue lu! Lu kira gue emak-emak julid."

"Ember."

"Awas lu, Nini Lampir! Pagi- pagi udah nabuh genderang perang. Liat aja nanti, huh!" batin Dara yang masih menahan geram atas ucapan Felisia.

"Udah gak usah peduliin tuh musuh bebuyutan. Dia emang demen nyari masalah sama elu," ucap Levi berusaha menenangkan, "tuh muka lu mulai banyak kerutan gegara marah-marah mulu. Entar dadar gulung yang cantik, imut dan ngegemesin seantero kampus berubah jadi nenek-nenek," sambungnya seraya mencubit kedua pipi Andara.

"Apaan sih? Ngaco!"

Andara berusaha untuk tidak tersenyum. Sahabatnya ini memang paling bisa mengembalikan mood-nya yang lumayan ambyar akhir-akhir ini. Keduanya berjalan beriringan dengan tangan Levi kembali bertengger manis di pundaknya. Mereka saling melempar candaan satu sama lain, bahkan ada momen ketika Andara tertawa lepas menanggapi ucapan receh sang sahabat. Semua itu tak luput dari perhatian sepasang mata tajam yang sejak beberapa menit lalu memerhatikan interkasi mereka.

Entah perasaan macam apa yang hinggap di hatinya. Timotius sangat membenci pemandangan itu padahal sebelumnya tidak pernah seperti itu. Sikap Andara pagi itu sangat kontras dengan sikapnya saat berada di rumah. Andara menganggap seolah-olah dirinya sebagai musuh yang harus dijauhi. Menurutnya sebagai seorang istri, Andara tidak pantas berinteraksi sedekat itu dengan lawan jenis. Dia sudah bersuami, pernikahan mereka pun sah di mata hukum dan agama.

Tak ingin berlarut-larut dalam kekesalan, Timotius pun memilih berlalu menuju ruangannya guna mempersiapkan mata kuliah yang 20 menit lagi akan dimulai.

...----------------...

"Dara, gue mau ngomong sesuatu," ucap Levi seusai mata kuliah berakhir.

"Ya tinggal ngomong. Biasanya lu tukang nyerocos. Kenapa pake ijin segala." Dara menanggapi dengan santai sembari membereskan buku dan laptopnya.

"Tapi ini beda...."

Andara menatap lekat sahabatnya. Entah kenapa hari ini Levi terlihat berbeda tidak terlalu serampangan seperti biasa.

"Lu mau ngomong apa sih? Gak usah berbelit-belit."

"Buruan!"

Andara yang merasa jengah pun mengeluarkan semburan mautnya, bahkan suara dua oktafnya berhasil mengalihkan perhatian semua orang yang ada di kelas, tak terkecuali Timotius yang masih berada di sana.

"Oke-oke, sabar...."

Levi tampak mengatur pernafasan, menghirup dan membuangnya secara perlahan. Semua itu, ia lakukan demi menetralisir rasa gugup yang mendera.

"Gue suka sama lo," ucapnya dengan nada rendah.

"Maksudnya? Lu gak usah bercanda, deh, Vi. Gak lucu!"

"Gue gak bercanda, Dar. Beneran gue suka sama lo, gue pengen–"

"Gue tau! Kalo lu gak suka gue, gak mungkin kita jadi sahabat yang ada kita bakal jadi musuh kek nini lampir itu tuh...." Gadis itu memotong cepat ucapan Levi seraya melirik Felisia yang berada tepat di seberang bangkunya.

Sementara, Feli hanya merotasi kedua bola matanya. Biasanya dia akan membalas setiap ucapan Andara yang ditujukan padanya, tetapi tidak untuk kali ini. Dia sedang malas bertengkar, terlebih masih ada kakaknya di ruangan itu.

"Bukan itu yang gue maksud, Dara." Levi berucap dengan menahan geram sekaligus gemas.

Sahabatnya itu memang terkadang lemot dan cuek. Akan tetapi, Levi akan berusaha sabar mengahadapinya demi niatan yang telah ia tata sejak pagi.

"Oke, Dara ... Lihat gue, tatap mata gue! Gue mau ngomong serius mumpung di sini masih banyak orang. Mereka akan jadi saksi peristiwa ini."

Andara semakin tidak mengerti dengan pemuda itu. Sempat terbesit dalam benaknya, apakah Levi salah meminum obat atau kepalanya habis terbentur sehingga otaknya agak geser. Namun, lamunannya buyar ketika Levi menghadapkan paksa tubuhnya agar menghadap ke arah pemuda itu.

"Levi, lu aneh. Sumpah!"

"Tatap mata gue, Dar!"

"Apaan sih? Lu mau hipnotis gue? Terus mau ngambil tugas gue buat lu contek, gitu. Ya ambil aja, sil–"

Ucapannya terhenti ketika telunjuk Levi mendarat di bibirnya.

"Gue suka sama lu. Gue cinta sama lu, Andara Wasesa. Gue pengen lu jadi pacar gue."

Seketika, ruang kelas yang semula ricuh berubah senyap layaknya tak berpenghuni setelah mendengar penuturan Levi.

Andara mengerjapkan mata beberapa kali, masih tak menyangka jika Levi mengatakan hal yang tak pernah ia duga. Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba Levi menyatakan cinta.

"Tapi sejak kapan?" batinnya.

"Lu mau 'kan jadi pacar gue?" tanya Levi harap-harap cemas.

Andara bungkam seribu bahasa, lidahnya terasa kelu untuk memberi jawaban. Bayangan rangkaian peristiwa beberapa hari terakhir berkelebat layaknya kaset rusak. Wasiat, pernikahan dan status. Semuanya terasa amat mengganggu pikiran. Tanpa sengaja netranya bersiboborok dengan sepasang manik tajam di depan sana.

Dia terpaku untuk beberapa saat. Sadar jika kini pria itu bukan sekedar dosen, melainkan merangkap sebagai suaminya. Sebuah sentuhan lembut membuyarkan lamunannya.

"Jawab, Dar ... Gue butuh jawaban sekarang."

Dara menggigit bibir bawahnya, dilema melanda hebat.

"Gue...."

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!