Ellia membuka kedua matanya dan meraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Sejak tadi benda itu terus bergetar dan membuat tidur Ellia terusik. Namun, karena lelah juga mengantuk, Ellia pun akhirnya bisa tidur dengan pulas. Ellia mengernyit ketika melihat jam di gawai miliknya itu. Sudah jam lima sore. Ellia segera bangkit dari duduknya dan langsung menuju kamar Khai. Takut anak itu kelaparan atau menangis karena Ellia tidur terlalu lama. Hari ini Ellia benar-benar lemas dan butuh tidur cukup lama sebab tenaga terkuras habis.
Sepulang dari sekolah tadi, Rhea mengajaknya pergi ke tempat bermain. Dimana ramai dengan para pengunjung. Rasya dan Khai sangat senang sekali bermain di sana. Sebenarnya tujuan Rhea itu ingin berbelanja baju dan mengajak Ellia agar tidak suntuk. Sedari tadi Rhea memperhatikan Ellia yang nampak murung. Rhea merasa bersalah saja karena telah mengatakan jika ada yang berkomentar buruk di novel Ellia.
Jadi Rhea pikir, Ellia murung karena memikirkan komentar itu yang di duga adalah tetangga Ellia. Maka, Rhea berinisiatif mengajak Ellia pergi ke sebuah toko baju, dimana ada tempat bermainnya di sana. Jadi sembari menunggu para orang tua berbelanja, anak-anak bisa menunggu di tempat bermain tersebut. Penjagaan yang ketat juga tidak membuat para orang tua khawatir.
Namun, rupanya hal ini malah membuat Ellia semakin tidak bersemangat. Mengingat begitu banyak pengunjung dan energi Ellia habis. Ellia pergi ke kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi dalam perutnya.
"Maaf, El. Gue nggak tahu kalau bakal seramai ini!" Rhea menyesal telah mengajak Ellia pergi ke Toko tersebut.
Ellia membuka kran yang ada di wastafel dan membasuh mulutnya. Selesai itu dia mengambil tissue untuk mengeringkan mulutnya. Lalu menghirup minyak kayu putih yang Rhea sodorkan.
"Nggak apa-apa, lagi pula gue nya aja yang lemah. Repot kalau ketempat ramai begini." Ellia tersenyum. Agar Rhea tidak perlu khawatir.
"Kita pulang aja yuk." Rhea menarik tangan Ellia. Merasa tidak enak dengan sahabatnya itu.
"Belanja aja, gue udah mendingan kok."
Rhea menggeleng, dia nggak mau egois. Biar bagaimanapun Rhea paham sisi introvert Ellia. Tubuh Ellia pasti akan lelah sekali setelah ini. Rhea mengetahuinya ketika melihat Ellia mengalami gejala psikosomatis saat di mall waktu itu. Ellia lah yang bercerita. Jadi Rhea paham jika Ellia sudah seperti ini pasti rasanya akan luar biasa lemas.
"Udah ah, pulang aja!" ajak Rhea.
Kemudian mereka pun pulang. Seragam yang dikenakan oleh Khai dan Rasya pun sudah basah karena keringat.
***
Langkah Ellia terhenti saat hendak masuk ke dalam kamar Khai. Dimana anak laki-laki itu telah terlelap. Nampaknya Khai sangat lelah sekali. Dari raut wajahnya juga Khai bahagia bisa bermain bersama teman-teman.
Suara ketukan pintu membuat Ellia urung membangunkan Khai. Mengingat hari sudah sore. Ellia bergegas membukakan pintu, penasaran juga siapa yang datang berkunjung sore seperti ini?
"Hay!" Rhea melambaikan tangannya.
"Baru bangun?" tanya Rhea.
Ellia mengangguk. "Lo ngapain?" tanya Ellia menatap Rhea yang membawa kantong plastik entah apa isinya.
"Nih, buat Lo. Biar nggak pusing." Rhea menyodorkan kantong plastik yang dari luar saja sudah tercium aromanya.
Ellia sudah pasti bisa menebaknya. "Seblak?"
Rhea menaik turunkan alisnya.
"Mama Khai, Khai mana?"
Ellia mengalihkan tatapannya. Ada Rasya dan dia baru sadar itu.
"Tidur," jawab Ellia.
"Ayo masuk," ucap Ellia. Sampai lupa tamu belum di suruh masuk karena dia baru bangun tidur dan linglung.
"Lo mandi dulu, biar gue yang siapin."
Ellia mengangguk. Sementara Rhea masuk ke dapur. Dia sudah terbiasa seperti ini sebab sering main ke rumah Ellia. Begitu juga dengan Ellia yang sudah terbiasa di rumah Rhea. Sementara Ellia mengantarkan Rasya ke kamar Khai agar membangunkan anak itu.
Ellia bergegas mandi, tidak mau melewatkan makan seblak yang nantinya keburu dingin jika dia berlama-lama di kamar mandi. Tidak perduli dengan gawai miliknya yang sejak tadi bergetar.
"El, Lo serius udah mendingan?" Tanya Rhea.
Mereka sedang duduk di teras. Udara sore hari sangat sejuk di rumah Ellia. Sementara Rasya dan Khai sedang bermain di ruang televisi.
Ellia yang serius dengan gawainya pun menatap Rhea dan tersenyum.
"Gue langsung minum obat dan tidur."
Rhea geleng-geleng kepala. "Sampai kapan?" tanyanya. Kali ini wajahnya serius juga prihatin.
Ellia mengangkat kedua bahunya. "Udah ah nanti keburu dingin seblaknya!" Ellia mengalihkan topik pembicaraan.
Enggan saja jika membahas tentang Ellia dan tentang semua lukanya. Ellia sudah berusaha semampunya untuk tetap bertahan sampai detik ini dan nyatanya Ellia belum bisa sembuh.
Luka itu terlalu dalam. Trauma itu sulit untuk Ellia sembuhkan. Usaha apalagi yang harus Ellia lakukan sekarang? Jadi Ellia pasrah dan menjalani hidup sesuai skenario Tuhan saja.
"Lo harus semangat!"
Meski Rhea tidak tahu semuanya yang terjadi dengan Ellia karena Ellia tidak menceritakan itu. Rhea hanya tahu jika Ellia memiliki trauma dan mentalnya sudah tidak baik-baik saja. Soal penyebabnya, Rhea sendiri tidak tahu jadi dia hanya memberi semangat saja dan berusaha untuk selalu ada jika Ellia membutuhkannya.
"Selalu! Gue udah pasrah dan gue nikmatin aja hidup gue sesuai skenario dari author!"
"Ya, suka-suka author deh buat nyiksa Lo!"
Keduanya pun tertawa dan melanjutkan lagi menikmati seblak seafood yang menjadi favorit mereka.
Sebenarnya ada hal yang ingin Rhea tanyakan menyangkut orang yang telah berkomentar buruk pada novel Ellia. Namun, melihat Ellia yang sibuk dengan gawainya, Rhea urung dan membiarkan Ellia dengan aktivitasnya dulu.
Ellia bukan sedang menulis, melainkan membaca pesan dari Artha.
[Kenapa sih nggak mau di telepon?]
[Kamu beneran nggak ingat aku, El? Maaf ya seharusnya aku cari kamu dari dulu.]
[El, hey?]
[Sibuk ya?]
[Apa kamu kerja? Kerja apa?]
[Kalau kamu nggak mau kirim foto, setidaknya balas pesan aku, El.]
Ellia mendesah, Artha terus saja berusaha agar Ellia membalas pesannya. Bahkan dia tidak segan-segan menelponnya sejak tadi. Salah satu cara agar Ellia membalas pesan Artha. Baiklah Ellia goyah dan akhirnya dia mengetik balasan.
[Iya gue kerja! lo mau apa sih? Bahkan gue nggak inget tentang lo!]
Ellia meletakkan gawainya di meja. Lalu beralih menatap Rhea yang sedang menikmati seblaknya.
"Rhe," panggilnya.
Rhea hanya menjawab dengan gumaman. Dia meraih teko yang berisi es teh dan menuangkannya di gelas. Es teh yang tadi Rhea buat ketika Ellia sedang mandi.
"Salah nggak sih kalau seseorang itu lupa sama masa lalunya. Semua di masa lalu! Terus ... Yang di ingat cuma sakitnya aja!" ujar Ellia.
Sedikit membingungkan mungkin bagi Rhea, tapi Rhea paham dengan pertanyaan Ellia. Memang Ellia kadang sulit untuk mengungkapkan isi hatinya sebab dia jarang berbicara walaupun sudah akrab dengan Rhea, tidak semua rahasia Ellia dia ketahui. Bahkan kehidupan Ellia dan semua trauma yang dia alami.
"Nggak salah sih, tapi aneh aja kalau lupa semua tapi sama yang pernah nyakitin inget. Memang ada apa?" tanya Rhea.
Ellia menggeleng dan helaan napas keluar dari belah bibirnya. Wajah Ellia terlihat suntuk. Bisa Rhea tebak jika yang membuat Ellia seperti ini bukan hate komen yang dia terima. Soalnya Ellia selalu cuek jika ada yang menjatuhkan novelnya. Mengingat tadi Rhea membaca komentar itu dan Ellia masih membalasnya dengan bijak.
"Lo buka Facebook dan lo ketemu orang yang nyakitin lo?"
Ellia meringis. "Untung lo ingetin gue!" Ellia mengambil gawainya yang tergeletak dimeja dan membuka aplikasi biru.
"Belum tutup akun gue!"
Rhea menggeleng pelan. Lalu menyeruput kuah seblak yang masih tersisa sedikit.
"Heran deh sama lo, bisa ya hidup tanpa sosial media!"
Ellia sudah menutup semua akun sosial medianya. Bahkan dia juga sudah menghapus semua foto yang ada di sana. Bukan tanpa sebab dia melakukan itu, Ellia juga ingin hidupnya tenang tanpa bayang-bayang masa lalu. Berkali-kali dia memiliki akun, berkali-kali itu pula dia bertemu dengan akun milik orang yang telah melukai hatinya. Orang yang telah merusak mentalnya.
"Bisa, karena sudah niat. Aku mau fokus sama tulisan aku."
"Lo ... Pasti juga nulis kisah tentang orang yang nyakitin elo ya!"
"Kok tahu? Memang lo udah baca ya?"
Rhea mengangguk, "Semua novel lo udah gue baca. Ya belum selesai sih, tapi gue bisa tebak kalau salah satu novel itu adalah kehidupan lo sendiri!"
Ellia tertawa, selalu saja orang beranggapan apa yang Ellia tulis adalah tentang hidupnya. Padahal Ellia tidak menuliskan kisahnya. Hanya membuat tokoh dengan nama orang yang sangat Ellia benci dan menjadikan tokoh tersebut menyedihkan. Itu adalah cara Ellia balas dendam. Meski memakai nama asli orang yang Ellia benci, tapi tidak sepenuhnya sama. Ellia tetap pakai nama samaran demi kenyamanan dirinya. Toh Ellia yakin, tidak akan ada orang yang tahu tentang Ellia sekarang.
"Bukan! Gue belum nulis kisah gue sendiri. Bahkan belum bisa. Nanti aja, semua yang gue tulis ya hasil dari imajinasi aja!" sahut Ellia.
"Eh, gue pikir itu tentang lo yang judulnya Gadis di sudut kota."
Ellia menggeleng, "Bukan, gaes!" ralat Ellia.
Rhea adalah pembaca setia novel Ellia. Bahkan Ellia selalu terkena omelan Rhea karena kesal dengan tokoh yang Ellia ciptakan.
Mereka pun asyik mengobrol hingga malam telah tiba dan Rhea berpamitan untuk pulang. Bahkan Rhea juga sempat membantu Ellia memasak untuk makan malam. Ellia sudah menyuruh makan malam terlebih dahulu tapi tidak mau, akhirnya Ellia membungkus sebagian masakannya dan dibawa oleh Rhea.
"Khai, kamu kerjain pr dulu gih, sebelum Papa pulang," kata Ellia. Mengingat sebentar lagi Kellan pulang dan Khai belum mengerjakan pr. Apalagi dia sudah makan dan kenyang pasti mengantuk.
"Mainan Khai bagaimana?" Khai menatap ruang televisi yang masih berantakan.
"Biar Mama yang beresin."
Khai mengangguk, dia langsung masuk ke kamarnya dan mengeluarkan buku-buku sekolah. Setiap hari selalu diberi pr agar anak-anak yang mau naik ke sekolah dasar sudah bisa menulis dengan rapih, membaca dan menghitung. Mengingat sekarang anak-anak SD harus bisa calistung dan wajib berusia tujuh tahun. Tidak seperti dulu, tidak TK pun bisa langsung masuk SD.
Ellia mulai membereskan mainan Khai dan menyapu kembali lantai yang kotor karena bekas pasir mainan yang tumpah. Rhea tadi hendak membantunya tapi Ellia menolak karena Rhea sudah berkali-kali ditelpon suaminya.
Selesai beres-beres Ellia melihat ke arah jam dinding. Sudah jam tujuh malam, seharusnya Kellan sudah pulang. Ellia selalu khawatir jika Kellan terlambat pulang. Takut terjadi sesuatu dengan Kellan. Ellia duduk di sofa dan meluruskan kakinya. Hari ini Ellia sangat lelah sekali. Ellia pun membuka gawainya dan mengirim pesan kepada Kellan.
[Pulang jam berapa, Mas?]
Sambil menunggu balasan dari Kellan. Ellia membaca pesan dari Artha yang tadi belum sempat dia balas karena sangat sibuk ngobrol dan juga memasak.
[Memang pekerjaan kamu apa, El?]
[Masa sih zaman sekarang ada orang yang betah nggak selfi dan main sosial media. Biasanya cewek tuh sukanya selfi.]
Ellia terkekeh. Kenapa Artha ini masih penasaran dengannya? Bahkan tetap tidak menyerah meski Ellia masih tidak mau mengirimkan sebuah foto.
[Pekerjaan gue mengkhayal.]
[Ya adalah buktinya gue!]
Ellia memang tidak pernah mengatakan kepada siapapun tentang hobi menulisnya. Ellia tidak mau orang-orang terdekatnya tahu. Entah mengapa rasanya Ellia tidak percaya diri saja. Apalagi baru beberapa bulan Ellia kembali terjun ke dunia literasi setelah dua tahun Ellia berhenti. Meski baru satu novel yang dia rilis kembali, tapi novel-novel Ellia yang sudah tamat masih ada pada aplikasi novel online tersebut.
[Itu sih bukan pekerjaan namanya, El.]
[Nggemesin banget sih kamu.]
[Serius, El. Aku nggak percaya sih kalau zaman sekarang ada yang nggak pernah posting foto terus nggak main sosial media. Selain WhatsApp ya, aku tahu kalau WhatsApp itu penting.]
Ellia segera mematikan gawainya saat mendengar suara motor yang sejak tadi dia nantikan. Ellia meletakkan benda itu di meja dan bergegas membuka pintu. Senyum mengembang saat melihat Kellan yang pulang dengan keadaan baik-baik saja. Sebenarnya hanya terlambat lima belas menit saja. Namun, Ellia sudah sangat khawatir pada laki-laki itu.
"Maaf ya, Mas sedikit terlambat soalnya beli ini." Kellan mengangkat kantong kresek yang dia bawa.
Kedua mata Ellia berbinar saat melihat apa yang Kellan bawa. Dia langsung meraihnya dan juga melingkarkan tangannya di lengan Kellan.
"Makasih ya, Mas. El tadi kirim pesan tau. El pikir Mas lembur."
Kellan terkekeh, "Kalau nggak bawa tentengan nanti kamu sama Khai nanyain!" kata Kellan.
Ellia mengerucutkan bibirnya, "Kan bisa kasih kabar. Kalau enggak beli pas Mas pulang ke rumah. Beli bareng-bareng sambil muter-muter. Sudah lama nggak pernah pergi keluar malem hari."
Kellan selalu sibuk bekerja dan sering lembur membuat Ellia dan Khai juga sebenarnya bosan. Biasanya setiap malam mereka pergi keliling daerah untuk mencari camilan. Meski hanya muter-muter saja sudah membuat Ellia dan Khai senang. Padahal bisa sih Ellia pergi berdua dengan Khai ketika malam, tapi Ellia lebih suka jika malam hari Kellan bersama mereka. Takut jika di jalan ada apa-apa, ya meski jalanan ramai tapi kan sangat berbeda jika ada Kellan diantara mereka.
"Ya nanti kalau Mas nggak lembur kita muter-muter," katanya. Berusaha membuat hati Ellia senang.
Kellan selalu memanjakan Ellia memang. Dia selalu berperan sebagai teman atau sebagai figur seorang ayah. Mengingat sejak kecil Ellia tidak pernah tahu bagaimana kasih sayang seorang ayah. Ellia selalu dibandingkan oleh sang kakak dan ayahnya lebih menyayangi kakak Ellia. Itu sebab Ellia selalu iri jika melihat kedekatan Kellan dan Khai. Namun, Ellia juga senang karena inner child Ellia terpenuhi.
Ellia selalu bersikap layaknya anak kecil, Ellia selalu berpikir seperti anak kecil tapi itu ketika bersama Kellan. Tingkah Ellia pun sama seperti Khai. Namun, diluar Ellia berperan sebagai ibu yang baik. Itu mengapa Kellan selalu melihat Ellia seperti dua orang yang berbeda. Kellan tidak pernah mempermasalahkan semua itu, dia akan selalu berusaha untuk membahagiakan Ellia dan kalau bisa Kellan ingin membuat Ellia sembuh dari traumanya.
Jadi ... Siapa yang tidak bahagia memiliki suami seperti Kellan ini. Paket komplit. Hanya saja Ellia tidak lagi pernah merasa bahagia. Alam bawah sadarnya selalu mengatakan jika bahagia adalah semu. Banyak hal yang telah terjadi dengan diri Ellia. Dia butuh di dengar oleh orang tersayang. Kellan selalu dengan senang hati mendengarkan semua keluh kesahnya.
"Tadi seharian ngapain aja?" tanya Kellan, seperti bertanya kepada anaknya saja.
"Papa!" pekik Khai. Baru saja keluar dari kamar dan langsung memeluk Kellan.
Seakan sudah lama tidak bertemu, Khai memeluk Kellan sangat erat.
"Jagoan Papa, udah ngerjain pr?" tanya Kellan.
Khai mengangguk, "Khai tinggal belajar aja, Pa. Papa beli apa?" tanya Khai saat melihat kantong plastik yang Ellia bawa.
"Ini buat mama kok, Khai nggak dibeliin!"
Khai menundukkan kepala, terlihat sedih dan membuat Kellan geleng kepala. Selalu saja Ellia ini menggoda putranya. Terkadang Kellan merasa memiliki dua orang anak saja.
"Kok buat Khai enggak ada?" Khai memasang wajah sedih.
"Itu martabak telur isinya banyak, Khai. Mama kamu nggak akan habis sendiri!" Kellan melirik ke arah Ellia yang sedang duduk di sofa.
Ellia terkekeh. Tidak merasa bersalah sama sekali karena sudah membuat Khai hampir menangis.
"Mama emang pelit, nanti Khai nggak mau bagi jajan lagi!"
"Nggak apa-apa, Mama bisa beli sendiri!"
Perdebatan itu pun terjadi. Suasana menjadi ramai tapi juga membuat kepala Kellan pusing. Apalagi dia baru pulang kerja belum mandi dan juga beristirahat.
"Kalian ini, Papa belum mandi sama ngopi loh!"
Ellia pun menepuk keningnya. Dia segera berlari ke arah dapur dan memasak air untuk membuat kopi.
"Tuh makanya jangan suka nakal sama anak sendiri!" protes Khai.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments