Ellia melambaikan tangannya ke arah Khai yang hendak masuk ke dalam kelas. Khai masih berusia enam tahun dan sedang bersekolah di taman kanak-kanak. Mengingat usia anak sekolah dasar sekarang wajib berusia tujuh tahun. Ellia mendesah pelan, merasa kedua matanya berat sebab semalam hanya tidur sebentar. Padahal segelas kopi sudah menemaninya tadi pagi ketika menyiapkan sarapan dan bekal untuk Kellan.
Ellia memilih ke warung untuk membeli kopi dingin saja. Cuaca Bekasi panas meski hari masih pagi, tapi orang-orang dewasa bahkan anak-anak sudah terbiasa minum es di jam delapan seperti ini.
Ellia melihat ke arah kerumunan. Dimana ibu-ibu sedang menunggu anak-anaknya di bale yang disediakan oleh warung samping sekolah.
Penuh!
Ellia tidak suka keramaian. Ellia malas untuk ke warung, tapi dia butuh kopi untuk menambah daya kedua matanya. Tidak mungkin jika Ellia pulang dan tidur karena ini masih pagi dan nggak bagus juga kan tidur pagi-pagi? Nanti yang ada malah kepala Ellia pusing dan hawanya ngantuk terus.
*Cheeeesss*
Pipi Ellia terasa dingin dan kedua matanya mulai segar sedikit. Ada seseorang yang menempelkan air dingin di pipinya.
"Rhea!" Kedua mata Ellia mendelik.
Sementara si pelaku hanya terkekeh saja. Dia kemudian menyodorkan cup plastik berisi es kopi kepada Ellia.
"Gue tahu Lo pengen ngopi tapi males ke warung!" tebaknya.
Rhea kemudian duduk di bawah pohon mangga. Memang pohon itu ada di depan sekolah dan tersedia tempat duduk panjang.
"Eh makasih ya, Lo emang pengertian!" Ellia tersenyum dan ikut duduk di sebelah Rhea.
"Hem." Rhea hanya menjawab dengan gumaman. Dia kemudian sibuk dengan gawainya.
Ellia melirik layar gawai Rhea yang menampilkan aplikasi novel online. Ketika melihat judul yang Rhea baca, dia mengulum senyum.
"Baru baca ternyata? Ketagihan ya?" goda Ellia.
"Iya, gue kesel sama ini penulisnya. Bikin tokoh nyebelin gini pengen gue hajar sih ini penulis. Untung aja gue kenal jadi bisa gue maki-maki ntar!" kata Rhea yang hanya becanda tentunya.
Ellia menutup mulutnya dan tertawa. Rhea sedang membaca novelnya dan baru dua bab saja sudah kesal dengan tokoh yang Ellia buat. Memang novel itu Ellia buat berdasarkan inspirasi dari kehidupan yang ia jalani dan juga lingkungan sekitar.
"Maki-maki aja udah kebal ini authornya!"
"Tar gue mintain seblak sama tuh orang!" imbuh Rhea.
Keduanya pun tertawa. Di tempat Ellia sekolah tidak ada yang tahu jika Ellia adalah seorang penulis. Pun Ellia tidak pernah mengatakannya. Ellia tidak pernah pamer jika dia memiliki karya. Hanya saja kadang Ellia membuat status untuk promo novelnya. Entah mereka sadar atau tidak. Sebab nama pena Ellia bukan nama aslinya.
"Selamat membaca ya, gue mau nulis dulu," bisik Ellia. Takut ada yang mendengar.
Rhea mengangguk sebagai jawaban. Mereka ini sangat akrab karena memiliki kebiasaan yang sama. Malas berkumpul dengan ibu-ibu di bale sebab yang dibahas kalau nggak laki, harga sembako atau ngomongin orang. Hanya saja sesekali Rhea ikut nimbrung sebentar lalu duduk bersama Ellia.
Mereka kenal ya ketika anak-anak mereka sekolah. Anak Ellia dan Rhea sangat akrab jadilah ibu mereka juga akrab. Entah siapa yang memulai hingga sekarang mereka selalu terlihat sama-sama. Hanya Rhea saja yang bisa nyambung ngobrol dengan Ellia yang awalnya banyak diamnya. Namun, kalau sudah kenal Ellia maka akan tahu kalau Ellia ini benar-benar cerewet juga baik hati.
Meski satu frekuensi, tapi Rhea dan Ellia memiliki perbedaan. Jika Rhea ini orang yang mudah bergaul atau bisa dibilang seorang ekstrovert berbeda dengan Ellia yang introvert.
Jika ekstrovert itu terkenal aktif dan terbuka dengan segala hal yang dirasakannya dan cenderung mendapatkan energi juga kepuasan dari interaksi sosial dan lingkungannya, maka berbeda dengan introvert. Orang yang memiliki kepribadian introvert itu terkenal pendiam, tertutup dan pemalu. Lebih suka meluangkan waktu sendiri untuk mengumpulkan energinya. Fokus pada pemikiran dan batin mereka sendiri. Merasa nyaman dengan kesendirian sebab jika berada di keramaian energinya akan terkuras habis. Itu sebab seorang introvert tidak suka berinteraksi dengan banyak orang dalam satu waktu. Hanya satu atau dua orang saja dan itu jika membuat dia nyaman maka sosok introvert akan terlihat kecerewetannya. Kepribadian introvert sendiri tidak memiliki banyak teman. Sedikit teman tapi berkualitas.
Jadi seperti yang dikatakan tadi, Ellia lebih suka menyendiri dan memilih tempat yang sepi ketika berada di keramaian. Tenaganya akan cepat habis jika memaksakan diri menjadi sosial butterfly. Ellia pernah melakukan itu ketika pertama kali Khai masuk sekolah. Pada akhirnya Ellia menjadi diri sendiri saja. Tidak ingin menjadi orang lain yang pura-pura ramah dan mudah bergaul. Apalagi jika banyak bicara, rahang Ellia akan terasa pegal dan tenggorokan kering.
"Kata ibu-ibu itu lo ngapa sih kadang nggak ada senyumnya pisan. Hidup lo kayak banyak masalah. Jangan-jangan nggak bahagia sama lakik!" bisik Rhea. Meski tatapannya tertuju pada layar benda pipih itu.
Begitu juga dengan Ellia. Jemarinya yang bergerak pada keyboard, kedua matanya fokus pada layar gawai dan otaknya sedang mengkhayal adegan yang harus dia tuangkan kedalam tulisan. Akan tetapi masih bisa mendengar dan mencerna ucapan Rhea.
Ellia tersenyum miring, "Biarin aja. Masa iya gw suruh cengar-cengir kayak orang stres aja. Serah mereka mau bilang apa tentang gue," kata Ellia.
Wanita itu sudah berada di fase bodo amat. Tidak peduli terhadap apapun penilaian orang lain. Malas ribut tentunya.
Rhea kembali membaca setelah berkata, "Kapan gue bisa kayak lo yang cuek dan nggak peduli terhadap lingkungan sekitar." Rhea menghela napas panjang.
Ellia dengar, hanya saja sekarang sedang fokus pada pesan dari nomor asing. Nomor yang tadi pagi mengirimkan pesan tapi Ellia abaikan. Ellia memang tidak pernah peduli pada nomor baru. Kalau penting pasti akan menghubunginya lagi.
Baru saja jarinya hendak membuka pesan itu, sebuah panggilan masuk dari nomor yang mengirimkan pesan. Getar gawainya terdengar sampai ditelinga Rhea.
"Kebiasaan lo ya! Nggak pernah mau angkat telepon!"
Ellia meringis. Dia hanya menatap layar benda pipih itu hingga mati. Hanya orang tertentu saja yang Ellia angkat teleponnya. Jika nomor baru Ellia tidak akan pernah mengangkatnya. Kecuali nomor itu terus menghubungi Ellia, maka akan dengan cepat Ellia angkat tentunya tidak bersuara terlebih dahulu.
"Siapa yang telepon?" tanya Rhea.
Ellia hanya mengangkat kedua bahu. Dia kemudian membaca rentetan pesan dari nomor tadi setelah panggilan itu berakhir.
[Ellia?]
[Kamu sibuk ya? Maaf ya mengganggu.]
[Aku hanya ingin memastikan jika ini benar kamu.]
[El, kenapa tidak di angkat teleponku?]
[Kamu ... Masih ingat aku kan?]
Ellia mengernyit. Membaca pesan paling atas yang tadi dia abaikan.
"Artha?" Ellia menggumamkan nama itu dalam hatinya.
Mengingat-ingat tentang masa lalu. Mungkin saja dulu dia memiliki teman bernama Artha. Namun, sayangnya Ellia tidak ingat sama sekali. Banyak hal yang telah Ellia lupakan.
[Ya benar gue Ellia, tapi maaf gue nggak ingat siapa elo.]
Sebenarnya Ellia malas sekali membalas pesan dari orang asing terlebih itu laki-laki. Ellia tidak pernah merespon pesan dari laki-laki lain. Sejak menikah dia sudah mulai membatasi dirinya ketika berteman dengan lawan jenisnya. Ah, Ellia dulu pernah berteman dengan laki-laki dan itu asyik hanya bertahan sebentar karena Ellia harus pindah kota. Sampai saat ini tidak tahu lagi kabar laki-laki itu dan Ellia tidak pernah mencarinya. Toh Ellia sudah tidak peduli dan lagi sudah malas memiliki banyak teman.
[Tidak ingat? Kamu beneran Ellia Kanaira kan?]
Laki-laki itu membalas dengan cepat.
[Ya.]
Ellia membalasnya dengan singkat. Toh mau membalas apalagi? Dia hanya menanyakan namanya saja kan?
Ah, tapi membuat fokus Ellia jadi terganggu. Padahal tadi otak Ellia memiliki banyak ide untuk menulis bab selanjutnya pada novel Ellia yang sedang on going itu.
[Artha Kusuma Rajendra.]
[Ingat tidak?]
[Thata! Nama panggilan aku dan kita dulu berteman sejak kecil. Sekolah bareng sampai SMP.]
Deg
Jantung Ellia berdebar, membaca nama Artha dan tentang siapa Artha. Ellia pikir Artha teman kerjanya dulu. Kalau sudah menyangkut masa lalu apalagi teman sekolah, Ellia menyerah. Ellia tidak akan pernah bisa mengingat lagi kenangan di masa lalu yang sangat buruk itu.
[Maaf, gue lupa.]
Ellia memilih mematikan sambungan datanya. Daripada dia tidak fokus menulis. Ellia tidak mau mengecewakan pembaca dengan tidak update hari ini. Ellia menulis dua judul novel, jadi yang semalam itu sudah dia update dan sekarang dia menulis judul satu lagi.
Ellia memasang headset pada kedua telinganya. Mencari lagu favorit pada gawai dan memutarnya. Ellia memang selalu membawa headset dan memakainya. Sebab dunia Ellia terlalu berisik. Ellia juga gila menulis jika tidak menulis maka isi kepalanya akan terus berisik seperti sedang bertengkar dengan diri sendiri.
Tidak ada yang tahu, seberapa kacaunya Ellia tanpa headset dan menulis. Ellia sudah tidak peduli dengan penilaian orang lain tentangnya. Toh dia makan tidak meminta orang lain kan? Lagipula ada hal yang ingin Ellia raih untuk saat ini.
"El, ada hate komen!" Rhea menyenggol bahu Ellia.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments