Gatot menunggangi kuda dengan mendudukkan tubuh lemah Arya di depannya. Kuda mereka melaju dengan cepat melalui jalanan yang berliku,
melewati pedesaan yang damai dan hijau. Selama perjalanan yang cukup lama, Arya
hanya bisa merenung dalam keadaan lemah, tanpa daya untuk memberikan
perlawanan.
Setelah melewati bukit Wirasena, mereka tiba di kediaman Gatot, sebuah rumah kayu yang besar dan asri. Pohon-pohon tinggi dan dedaunan
hijau melindungi rumah itu, menciptakan suasana yang sejuk dan teduh.
Gatot membimbing kuda mereka masuk ke dalam halaman, di mana
banyak anak buah Gatot berkumpul. Anak buah Gatot, yang telah bersiap menyambut kepulangan tuannya, melihat kedatangan Gatot yang membawa serta Arya di gendongannya. Mereka tampak heran, namun segera memberi hormat dengan cepat, menunjukkan ketaatan mereka pada sosok yang mereka anggap sebagai pemimpin dan ahli bela diri yang kuat. Gatot, dengan sikap yang dingin dan tanpa ekspresi, turun dari
kuda sambil tetap memegang kendali atas Arya yang terkapar di depannya.
“Tuan Gatot, siapa anak kecil yang Tuan bawa itu?” tanya Bimo
Wirawan, salah satu anak buah Gatot.
Gatot menatap anak buahnya dengan tatapan dingin dan berkata tanpa ragu, “Anak ini adalah Arya, putra Bisma Wiratama, seorang pande besi
yang baru saja kutumpas hidupnya.”
Suasana menjadi hening, terengah-engah oleh keberanian anak buah untuk bertanya dan kabar tragis yang diungkapkan Gatot. Mata mereka
memandang Arya dengan tatapan campuran antara rasa simpati dan ketakutan, menyadari bahwa mereka berada di hadapan seorang anak yang baru saja kehilangan orang tuanya karena tindakan tuan mereka sendiri.
Widuri Srikandini, istri Gatot, keluar dari rumah dengan langkah yang tenang. Tatapannya awalnya kosong, namun segera berubah ketika
melihat anak laki-laki yang dibawa oleh Gatot. Ada keajaiban di matanya. Widuri menghampiri Gatot, dan tanpa ragu, meraih Arya yang kali ini sudah kehilangan kesadaran. Dengan kasih sayang yang luar biasa, Widuri menggendong Arya di
pelukannya.
“Anakku...” seru Widuri dengan lembut, memanggil Arya.
Gatot, kaget melihat reaksi istrinya yang selama 10 tahun ini tidak pernah bicara dan berekspresi setelah kehilangan anak lelaki mereka.
Kegembiraan dan harapan muncul di wajah Gatot saat melihat istrinya bereaksi
untuk pertama kalinya dalam waktu yang begitu lama.
Gatot tersenyum dan dengan suara hangat, ia berkata pada
istrinya, “Ya, dia adalah putra kita.”
Anak buah Gatot yang menyaksikan momen ini hanya diam, bingung oleh ekspresi dan perubahan yang terjadi pada Widuri. Mereka tidak tahu
bagaimana merespons pada situasi ini.
Widuri terus menggendong Arya yang tak sadarkan diri, namun tiba-tiba ia menyadari bahwa tubuh Arya terasa sangat panas. Dengan kekhawatiran yang mendalam, Widuri menatap Gatot dan bertanya, “Apa yang terjadi pada anak kita, Mas? Kenapa tubuhnya begitu panas?”
Gatot, yang bahagia karena mendengar suara istrinya yang sudah lama tidak bicara, menjawab dengan tenang, “Dia hanya kelelahan bermain.
Sekarang dia demam. Tenang saja, kita akan merawatnya.”
Gatot memandang Bimo, salah satu anak buahnya, “Bimo, tolong siapkan air hangat.”
Bimo dengan cepat memberikan salam hormat dan menjawab, “Tentu, Tuan Gatot. Saya akan segera menyiapkannya.”
Widuri memberikan senyuman kecil pada Gatot sebelum memasuki rumah. “Aku akan membersihkan tubuh anak kita dulu, Mas,” ucap Widuri dengan
lembut.
Bimo mengangguk dan bersiap untuk menyiapkan air hangat sebagaimana yang diminta oleh Gatot. Setelah air siap, Bimo membawanya menuju
Widuri yang sudah menunggu di dalam. Widuri memberikan instruksi agar air hangat disiapkan dalam jumlah yang cukup, karena Arya perlu membersihkan tubuhnya yang kotor setelah bermain seharian.
Sementara itu, Gatot tetap di luar, memantau situasi sekitar dan memikirkan langkah selanjutnya. Meskipun momen bahagia sejenak tercipta.
Gatot termenung, pikirannya melayang pada puluhan tahun lalu. Saat itu, dia hanya seorang petani miskin yang hidup di tengah-tengah
kehinaan dan penindasan. Kenangan pahit itu masih terpatri dalam ingatannya, bagaimana dia selalu diremehkan dan dihina oleh banyak orang di sekitarnya.
Tiap orang sepertinya memiliki kata-kata hinaan yang dilemparkan padanya, seolah-olah Gatot adalah pria yang tak berarti. Penghinaan
itu seperti bayangan yang selalu menghantuinya, merendahkan martabatnya sebagai
seorang petani.
Bahkan ketika Gatot hendak meminang kekasihnya, Widuri, Wirasatya, ayah Widuri, menolaknya mentah-mentah. Wirasatya mengatakan bahwa
Gatot harusnya sadar diri, karena menurutnya Gatot tidak pantas untuk menikahi
putri bangsawan seperti Widuri.
Pertentangan kelas sosial dan status ekonomi menciptakan rintangan besar di antara cinta Gatot dan Widuri. Wirasatya yang konservatif
menilai bahwa Gatot tidak memiliki hak atau layak untuk menjadi bagian dari keluarga mereka. Pernyataan itu memperdalam luka dan penghinaan yang telah dirasakan oleh Gatot sepanjang hidupnya.
Gatot yang merasa terhina dan ditolak oleh masyarakat, akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan para perampok. Kegelisahan dan
keputusasaannya mengarahkannya pada pilihan yang kelam, mencari kekuatan dan
keberanian di tempat-tempat yang mungkin dianggap terlarang.
“Akan ku buat orang-orang yang merendahkanku menyesal!” tekad Gatot saat itu.
Setiap hari, Gatot terobsesi untuk menjadi kuat, bukan hanya secara fisik tetapi juga dalam hal keberanian dan ketangguhan. Pelatihan yang
keras dan pengalaman di dunia perompakan membuatnya mendapatkan keahlian dalam
berbagai keterampilan, termasuk ilmu bela diri dan taktik pertempuran.
Terlepas dari segala kejahatan yang dilakukan di belakang Widuri, Gatot memiliki rasa cinta yang sangat tulus terhadapnya. Meskipun
keputusasaan dan tekad untuk menjadi kuat telah membawanya ke jalur yang kelam, namun hatinya tetap terikat pada perempuan yang memberinya kehangatan. Meskipun mungkin terdapat jurang antara perbuatannya dan cintanya, Gatot merasa bahwa Widuri adalah satu-satunya cahaya dalam hidupnya.
Lamunan Gatot buyar saat Widuri menghampirinya, dan Gatot memperoleh kedamaian sejenak melihat kehadiran istrinya. “Bagaimana keadaan anak kita?” tanya Gatot mencoba memulai obrolan.
“Bayu sudah dikompres. Sepertinya dia hanya butuh istirahat.”
Gatot tersentak mendengar nama itu. Bayu, nama anak mereka yang meninggal sepuluh tahun lalu, kembali muncul dalam obrolan mereka.
Gatot, meskipun merasa kebingungan, memutuskan untuk tidak membantah. Sebaliknya, dia menyesuaikan diri dengan kenyataan yang diberikan
oleh Widuri.
“Kalau begitu, biarkan dia istirahat,” jawab Gatot. Widuri mengangguk. Gatot menerima kenyataan bahwa dalam pikiran Widuri, Arya mungkin
menjadi representasi dari anak mereka yang telah meninggal.
Widuri tampak menemukan kembali semangat hidup dan kebahagiaan yang telah hilang selama 10 tahun ini. Kehadiran Arya, yang oleh
Widuri dianggap sebagai Bayu, membawa kembali keceriaan yang lama terpendam.
Widuri dengan senang hati mengatakan kepada Gatot, "Mas, beri aku uang. Aku ingin ke pasar dan membeli baju baru untuk Bayu.”
Gatot memberikan anggukan setuju, "Ya, akan aku berikan uang. Belilah baju baru yang banyak.”
Widuri tersenyum cerah, “Aku juga akan membelikan gulali, kesukaan Bayu.” Gatot mengangguk, merasakan kebahagiaan yang mengalir dari semangat baru yang ditemukan oleh istrinya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
@le_10
Endingnya bikin nagih.
2024-01-14
2