Gatot tertawa dengan nada merendahkan, ekspresinya penuh kepuasan saat melihat Jaka Wijaya yang susah payah mencoba bangkit dari tanah.
“Jaka Wijaya, seharusnya kau tidak perlu ikut campur dalam
urusan ini,” ujar Gatot dengan suara yang tajam.
Kata-kata Gatot menegaskan sikap angkuhnya, seolah-olah Jaka tidak memiliki hak untuk mencoba menghentikan kebrutalan yang tengah berlangsung. Ekspresi merendahkannya mencerminkan keyakinan bahwa kekuatan dan
kekejamannya berada di atas segalanya, termasuk atas otoritas Jaka.
Gatot kemudian melangkah mendekat ke dua anak kembar yang telah lemah dan kehabisan tenaga. Dengan gerakan yang cepat, Gatot meraih Arya dengan satu tangan yang kuat. Aditya yang melihat saudaranya ditangkap oleh Gatot jadi
panik.
“Lepaskan dia! Tolong! Lepaskan Arya!” teriak Aditya, suaranya penuh dengan getaran kecemasan.
Namun, Gatot tetap acuh tak acuh terhadap seruan Aditya. Matanya yang dingin dan tanpa belas kasihan menunjukkan bahwa permohonan Aditya tidak akan mengubah keputusannya.
Gatot tertawa penuh kepuasan, menatap Aditya dengan ekspresi merendahkan. “Aku akan membawa saudaramu, Aditya. Selamatkan dia kalau kau
bisa. Berlatihlah hingga kau sanggup menjadi lawanku!” ujar Gatot dengan nada yang menantang, memberikan tantangan tersirat kepada Aditya. Tanpa ragu, Gatot bergerak pergi sambil menaikkan tubuh Arya yang lemas di pundaknya.
“Aditya!” Suara teriakan Arya memanggil Aditya terdengar memilukan.
“Arya!” Aditya mencoba keras untuk mengejar mereka. Namun, Jaka dengan cepat menghentikan langkah Aditya, menahan dia agar tidak melanjutkan pengejaran.
“Aditya, ini terlalu berbahaya! Kau belum siap untuk menghadapi Gatot. Tenangkan dirimu,” kata Jaka dengan suara berat, mencoba menenangkan Aditya yang terus berusaha mengejar.
Aditya dipenuhi dengan rasa putus asa dan kemarahan, berteriak memanggil Arya yang semakin menjauh. “Arya! Kembalikan Arya padaku!”
serunya dengan suara gemetar.
Jaka tetap menahan Aditya untuk melindungi anak itu dari bahaya yang mungkin mengancam. Aditya berontak dari pegangan Jaka dengan gerakan yang keras.
“Biarkan aku pergi! Aku harus menyelamatkan Arya!” teriak Aditya, suaranya penuh dengan kemarahan dan keputusasaan. Jaka dengan tatapan
yang penuh pengertian dan kepedulian, hanya mengangguk mencoba untuk menenangkan Aditya.
“Saat kau tidak punya kesempatan untuk menyelamatkan adikmu. Jika kamu nekad, justru kalian berdua bisa kehilangan nyawa. Ini bukan waktu yang tepat,” jelas Jaka.
“Aku tidak peduli, ayah ibu sudah pergi— jika aku juga harus kehilangan Arya, apa gunanya aku hidup di dunia?” Aditya menangis dan terus berontak dari pegangan Jaka.
Aditya tidak bisa ditenangkan. Dia terhanyut dalam rasa kehilangan dan ketakutan akan nasib Arya. Histeris, Aditya tidak lagi peduli dengan nasihat Jaka. Dia hanya ingin satu hal: menyelamatkan adiknya. Dengan gerakan cepat dan penuh keputusasaan, Aditya memukul Jaka, mencoba untuk membebaskan dirinya dari pegangan yang menahannya.
Jaka merasa tidak punya pilihan lain untuk melindungi Aditya, akhirnya dengan hati berat melakukan tindakan yang sulit. Dengan cepat
dan tepat, Jaka memukul titik akupuntur pada Aditya hingga membuatnya pingsan. Tubuh Aditya seketika lemas dan merosot, kehilangan kesadaran.
Dengan ekspresi yang penuh penyesalan dan kekhawatiran, Jaka meraih tubuh lemah Aditya. Dalam keadaan pingsan, Aditya tampak rapuh dan
terluka. Jaka sambil menggendong tubuh Aditya yang tak berdaya, menyesapkan perasaan penyesalan. “Maafkan aku, Aditya. Aku terpaksa melakukan ini,” ujar Jaka.
Aditya membuka mata dan menemukan dirinya terbangun di dalam kamarnya, di rumah kayu yang familiar milik keluarganya. Tenggelam dalam cahaya
senja, ruangan itu terasa tenang. Aditya meraba-raba kepalanya yang terasa berat dan menatap sekeliling, mencoba mencerna kenyataan di sekitarnya.
Linglung dan terkejut, dia berharap bahwa apa yang baru saja dialaminya hanyalah sebatas mimpi buruk. Matahari yang tenggelam menghadirkan
suasana yang hening, namun hati Aditya masih dipenuhi dengan kebingungan dan ketidakpastian.
Aditya turun dari tempat tidurnya dengan langkah-langkah yang penuh ketidakpastian. Suara derap langkah kakinya di lantai kayu memecah
keheningan di sekitar. Dengan penuh harapan, Aditya memanggil nama Arya, Ayah, dan Ibunya, berharap mendengar suara sahutan yang dapat meredakan kegelisahan yang mulai memenuhi hatinya.
Namun, ruangan itu tetap sunyi tanpa jawaban. Suara panggilan Aditya hanya terdengar terpencar di dalam hening, tidak ada jawaban,
suara langkah, atau pun tanda-tanda keberadaan keluarganya.
Aditya melangkah keluar rumah dan segera disambut oleh pemandangan yang mengejutkan di halaman. Dua gundukan kuburan baru telah muncul.
Dengan hati yang berdebar dan langkah yang gemetar, Aditya mendekati gundukan-gundukan tersebut.
Dengan tatapan yang penuh kedukaan, Jaka mencoba menjelaskan kepada Aditya tentang kenyataan yang sulit dihadapi.
“Nak, aku sudah memakamkan ayah dan ibumu,” ujar Jaka dengan suara yang bergetar, mencoba menemukan kata-kata yang sesuai untuk memberi
penjelasan pada Aditya.
Wajah Aditya mencerminkan kebingungan. Detik-detik itu terasa seperti mimpi buruk yang sulit dipercaya. Dia melihat gundukan kuburan
yang melambangkan kepergian orang-orang yang sangat dicintainya, dan dalam hatinya tumbuh kekosongan yang sulit diisi.
“Tidak mungkin. Mereka tidak bisa pergi begitu saja,” gumam Aditya dengan suara yang bergetar, mencoba untuk meredakan rasa ketidakpercayaan yang melandanya.
Tangis Aditya akhirnya pecah, memenuhi udara dengan suara yang menyayat hati. Tubuhnya merosot bersimpuh di depan gundukan tanah makam
orangtuanya. Dipeluknya gundukan tanah itu, seolah Aditya belum rela melepaskan kepergian kedua orangtuanya.
“Jangan pergi, Ayah, Ibu... jangan tinggalkan aku sendirian,” rintih Aditya di antara serangkaian ratapan yang memilukan.
Jaka tidak tega melihat penderitaan Aditya, dia mendekati dan dengan lembut merangkul tubuh kecil itu dari belakang.
“Ikhlaskan mereka, Nak. Biar mereka tenang di sana,” ucap Jaka dengan suara yang lembut.
Aditya terus menangis. Di antara rintihan dan isak
tangisnya, dia mengatakan, “Aku tidak ingin sendirian, Paman.”
“Kau tidak akan sendirian, Nak. Aku di sini untukmu. Kita akan melewati semua ini bersama-sama,” ucap Jaka sambil terus merangkul Aditya.
Aditya di sela-sela kesedihannya, merasa heran dengan kebaikan Jaka padanya. “Mengapa kau begitu baik padaku, Paman? Kita baru saja
bertemu.”
Jaka tersenyum lembut, “Kita mungkin baru bertemu, Aditya, tapi aku juga sebatang kara di dunia ini. Aku tahu rasanya kehilangan dan kesepian.
Aku tidak ingin melihatmu menghadapi semuanya sendirian. Kita bisa salingmendukung, bukan?”
Aditya, meskipun masih dalam kesedihan yang mendalam, mengangguk pada Jaka dengan penuh penghargaan. “Terima kasih, paman. Aku tidak
tahu apa yang harus kulakukan tanpamu,” ucap Aditya.
Jaka dengan senyum ringan, menjawab, “Tidak perlu berterima kasih, Aditya. Kita sekarang keluarga.”
Setelah beberapa saat hening, Jaka bertanya dengan penuh perhatian, “Bagaimana keadaanmu, Aditya? Apa masih ada yang sakit? Sebelumnya,
aku sudah mengobati luka-luka di tubuhmu dengan beberapa ramuan herbal yang aku temukan di hutan. Semoga bisa membantu sedikit.”
Aditya merasa bersyukur atas perhatian dan bantuan Jaka. Meskipun hidupnya berubah begitu cepat dan tragis, kehadiran Jaka memberikan
sedikit kelegaan di tengah kehancuran yang dialaminya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments