Ningsih memimpin langkah cepat ke arah hutan, dengan Aditya dan Arya di sampingnya. Mereka berlari secepat yang mereka bisa, menyusuri jalan setapak yang berliku di antara pepohonan yang rimbun. Namun, dalam keadaan tegang dan penuh kekhawatiran, langkah Ningsih muali melambat saat melihat Arya mulai tersengal-sengal. Fisik anak bungsunya itu memang sedikit lemah.
“Kita istirahat dulu,” ucap Ningsih. Arya yang telah lunglai langsung duduk di atas akar pohon besar dengan napas terengah-engah. Aditya pun duduk di sampingnya. Ningsih meraih selembar daun besar, lalu menggunakan itu untuk menampung air sungai yang mengalir jernih. Ningsih langsung memberikannya pada Arya yang sudah tampak lemah.
“Minum dulu.”
Arya segera minum air tersebut hingga tak tersisa. Ningsih kembali mengambil air untuk Aditya. Sejenak mereka duduk tenang dengan suasana hutan membawa keadaan terasa damai. Pepohonan tua memberikan naungan yang teduh, menyediakan tempat perlindungan dari teriknya matahari. Namun, ketegangan dan kecemasan atas situasi yang mereka tinggalkan belum sepenuhnya hilang.
Dalam keheningan tersebut, Ningsih masih diliputi kekhawatiran atas keselamatan Bisma. Ningsih memandang dua anak lelakinya yang beranjak remaja itu. “Arya, Aditya, kalian harus melanjutkan perjalanan tanpa ibu. Ibu harus kembali dan memastikan ayah kalian selamat.”
Arya dan Aditya terkejut, namun mereka merasakan ketegasan dalam perkataan ibu mereka. Mereka saling pandang, penuh kekhawatiran namun juga penuh pengertian akan situasi yang sulit ini.
“Ibu, tapi orang tadi sangat berbahaya…” ucap Arya dengan cemas, memperlihatkan kekhawatiran mendalam.
Ningsih tersenyum lembut, mencoba menenangkan anak-anaknya. “Ibu tahu, Nak. Tapi ayah kalian dalam bahaya, dan ibu harus memastikan dia selamat. Kalian harus lanjutkan perjalanan ke tempat yang aman. Ibu akan segera bergabung dengan kalian setelah memastikan semuanya baik-baik saja.”
Aditya dan Arya masih terdiam seolah tidak sepenuhnya setuju dengan permintaan sang ibu. Arya bahkan langsung memegangi tangan Ningsih. “Kalau ibu kembali, aku ikut. Aku juga khawatir dengan keadaan ayah,” ucapnya. Ningsih mengusap kepala Arya dengan lembut. “Ibu tahu kau juga khawatir pada ayah, tapi coba mengerti perasaan ayah— mereka sangat ingin kalian terhindar dari bahaya.”
Arya akhirnya terdiam bingung. Ningsih menatap Aditya. “Jaga adikmu,” tegasnya. “Kalian harus pergi ke Padepokan Kusumaloka, di sana kalian bisa minta perlindungan.”
Aditya dan Arya masih terpaku di tempat, enggan untuk meninggalkan ibu mereka sendirian dalam bahaya. Seolah mereka bertekad untuk tidak meninggalkan Ningsih sendirian dalam situasi yang begitu genting.
“Kami tidak bisa meninggalkan ibu sendirian,” ucap Arya dengan suara gemetar, ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran.
Aditya menambahkan dengan tegas, “Kami harus bersama-sama, ibu. Kita tidak boleh berpisah di saat seperti ini.”
Ningsih mengangguk, memahami keteguhan hati anak-anaknya. Namun, dia merasa tanggung jawab yang mendalam untuk memastikan keselamatan keluarganya. “Ibu tahu kalian anak-anak yang baik— yang selalu menyayangi ayah ibu… karena kalian anak baik, tolong patuhi perintah ibu. Cepat pergi ke Padepokan Kusumaloka, bilang kalau kalian anak Bisma Wiratama.”
“Tapi ibu—”
“Jangan membantah lagi, turuti saja apa yang ibu minta,” tegas Ningsih. “Ibu pasti akan menjemput kalian, setelah semuanya aman.”
Aditya dan Arya masih ragu. Mereka memandang Ningsih dengan perasaan yang campur aduk, antara keinginan untuk melindungi ibu mereka dan ketakutan akan situasi yang semakin berbahaya.
“Cepat pergi!” Ningsih mendorong punggung dua anak kembarnya itu, hingga keduanya bersedia berjalan meninggalkannya. Dengan tatapan nanar, Ningsih memandang kedua buah hantinya itu melangkah menjauh, dengan kepala yang berkali-kali menengok ke belakang.
“Pergi!” teriak Ningsih mengiringi kepergian keduanya. Setelah memastikan Arya dan Aditya benar-benar pergi, Ningsih bergegas kembali ke kediamannya yang mungkin hanya berjarak sekitar dua kilometer dari tempatnya berdiri.
Ningsih kembali dengan hati yang berdebar-debar, khawatir akan nasib Bisma. Langkahnya terburu, menyusuri jalan setapak yang dulu mereka lalui bersama. Namun, ketika sampai di rumah, pemandangan yang menyakitkan menanti di depannya.
Bisma terbaring tak berdaya di lantai, tubuhnya terluka parah, dan bekas pukulan serta luka-luka lainnya menghiasi tubuhnya. Gatot, yang masih berada di sekitar, terlihat dingin dan tanpa belas kasihan, menyaksikan kondisi Bisma dengan tatapan dingin yang penuh kekejaman.
Ningsih terdiam sejenak, matanya terbelalak dan hatinya hancur melihat keadaan suaminya yang terluka begitu parah.
“Mas Bisma!” Ia segera berlari mendekati Bisma, mencoba memberikan pertolongan pertama dan meredakan penderitaannya.
Bisma, dengan napas yang terengah-engah, mencoba tersenyum lemah ketika melihat Ningsih datang. Dia menggenggam tangan istrinya dengan lemah, mencoba menenangkan Ningsih meskipun dirinya sendiri terluka parah.
“Kenapa kau kembali? Aku sudah menyuruhmu pergi bersama anak-anak,” bisik Bisma dengan suara yang lemah. Pandangan matanya mulai kabur.
“Aku tidak sanggup meninggalkan kau sendiri, Mas. Apalagi dalam kondisi seperti ini,” jawab Ningsih dengan airmata yang meleleh di kedua matanya.
“Kau harus pergi, Ningsih…”
“Tidak, Mas, kita akan melalui ini bersama-sama," ucapnya dengan suara gemetar namun penuh tekad.
Saat Ningsih masih memeluk tubuh Bisma, tiba-tiba Gatot mendekat lalu menjambak rambut panjang perempuan itu. “Harusnya kau menuruti apa kata suamimu, sehingga kau tak perlu melihat suamimu mati tragis.”
Ningsih menjerit kesakitan, namun dia berusaha tak terlihat gentar. Dia menyentakkan tangan Gatot yang masih memegangi rambutnya. “Sampah sepertimu tidak layak hidup di dunia ini.”
Makian dari Ningsih membuat Gatot naik pitam. Dengan tanpa belas kasihan, Gatot melayangkan tamparan
di wajah Ningsih. Tubuh kurus Ningsih sontak terhempas hingga tersungkur di tanah.
“Ningsih…” pekik Bisma lemah saat melihat istrinya terjatuh. Gatot mendekat pada perempuan berusia 30an itu, lalu menendanginya berkali-kali. Ningsih meringis kesakitan.
“Cukup Gatot! Jangan sakiti istriku lagi,” pinta Bisma. Namun Gatot terus menyerang Ningsih, karena tersinggung dengan ucapannya sebelumnya. Kondisi Bisma terluka parah dan hampir tak berdaya, dengan sisa tenaga terakhirnya, berusaha menyelamatkan Ningsih dari serangan Gatot. Bisma merangkak dan memegangi kaki Gatot yang terus menendang Ningsih. “Cukup!”
“Ini terjadi karena kau keras kepala, harusnya kau menuruti permintaanku, dan membuatkan aku pedang terkuat!” Gatot menarik pedang dari sarungnya lagi, lalu menebaskannya pada leher Bisma. CRASHH! Darah muncurat hingga mengenai wajah Ningsih yang saat itu tergeletak di tanah.
“Mas Bisma!” pekik Ningsih histeris melihat suaminya yang seketika lunglai dan tergeletak tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ningsih dengan tubuhnya yang lemah berusaha merangkak menghampiri tubuh Bisma yang tak lagi bergerak.
“Mas Bisma!” Ningsih histeris saat ia berhasil meraih tubuh Bisma, lalu mendekapnya dengan erat. Dalam keadaan histeris dan penuh keputusasaan, Ningsih meraih golok yang sebelumnya digunakan oleh Bisma. Dengan susah payah dia berdiri, lalu mengacungkan golong itu pada Gatot.
“Biadab! Aku pasti akan membunuhmu!”
Ningsih berlari menyerang Gatot. Namun, tanpa memiliki latihan atau keterampilan beladiri yang memadai, Ningsih dengan cepat dilumpuhkan oleh keahlian dan kekejaman Gatot. Serangan balasan dari Gatot terlalu kuat dan terampil, menghantam Ningsih dengan kekejaman yang tidak bisa dihindari.
Ningsih jatuh terkapar, tubuhnya terluka dan tak berdaya di tanah. Wajahnya terasa pucat, airmata campur darah mengalir dari luka-luka yang dideritanya. Penderitaan dan keputusasaan tampak terpantul jelas dalam matanya yang memohon belas kasihan, namun Gatot tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun.
Bersamaan dengan itu, kedatangan Arya dan Aditya yang mendadak kembali untuk menyusul ibu mereka
membuat moment tragis ini menjadi lebih mendalam lagi. Kedua bocah itu terbelalak dan terguncang, melihat kedua orangtuanya terkapar tak berdaya.
“Ayah! Ibu!” pekik Aditya dan Arya bersamaan.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments