Bab 2. Kehilangan

Ningsih memimpin langkah cepat ke arah hutan, dengan Aditya dan Arya di sampingnya. Mereka berlari secepat yang mereka bisa, menyusuri jalan setapak yang berliku di antara pepohonan yang rimbun. Namun, dalam keadaan tegang dan penuh kekhawatiran, langkah Ningsih muali melambat saat melihat Arya mulai tersengal-sengal. Fisik anak bungsunya itu memang sedikit lemah.

“Kita istirahat dulu,” ucap Ningsih. Arya yang telah lunglai langsung duduk di atas akar pohon besar dengan napas terengah-engah. Aditya pun duduk di sampingnya. Ningsih meraih selembar daun besar, lalu menggunakan itu untuk menampung air sungai yang mengalir jernih. Ningsih langsung memberikannya pada Arya yang sudah tampak lemah.

“Minum dulu.”

Arya segera minum air tersebut hingga tak tersisa. Ningsih kembali mengambil air untuk Aditya. Sejenak mereka duduk tenang dengan suasana hutan membawa keadaan terasa damai. Pepohonan tua memberikan naungan yang teduh, menyediakan tempat perlindungan dari teriknya matahari. Namun, ketegangan dan kecemasan atas situasi yang mereka tinggalkan belum sepenuhnya hilang.

Dalam keheningan tersebut, Ningsih masih diliputi kekhawatiran atas keselamatan Bisma. Ningsih memandang dua anak lelakinya yang beranjak remaja itu. “Arya, Aditya, kalian harus melanjutkan perjalanan tanpa ibu. Ibu harus kembali dan memastikan ayah kalian selamat.”

Arya dan Aditya terkejut, namun mereka merasakan ketegasan dalam perkataan ibu mereka. Mereka saling pandang, penuh kekhawatiran namun juga penuh pengertian akan situasi yang sulit ini.

“Ibu, tapi orang tadi sangat berbahaya…” ucap Arya dengan cemas, memperlihatkan kekhawatiran mendalam.

Ningsih tersenyum lembut, mencoba menenangkan anak-anaknya. “Ibu tahu, Nak. Tapi ayah kalian dalam bahaya, dan ibu harus memastikan dia selamat. Kalian harus lanjutkan perjalanan ke tempat yang aman. Ibu akan segera bergabung dengan kalian setelah memastikan semuanya baik-baik saja.”

Aditya dan Arya masih terdiam seolah tidak sepenuhnya setuju dengan permintaan sang ibu. Arya bahkan langsung memegangi tangan Ningsih. “Kalau ibu kembali, aku ikut. Aku juga khawatir dengan keadaan ayah,” ucapnya. Ningsih mengusap kepala Arya dengan lembut. “Ibu tahu kau juga khawatir pada ayah, tapi coba mengerti perasaan ayah— mereka sangat ingin kalian terhindar dari bahaya.”

Arya akhirnya terdiam bingung. Ningsih menatap Aditya. “Jaga adikmu,” tegasnya. “Kalian harus pergi ke Padepokan Kusumaloka, di sana kalian bisa minta perlindungan.”

Aditya dan Arya masih terpaku di tempat, enggan untuk meninggalkan ibu mereka sendirian dalam bahaya. Seolah mereka bertekad untuk tidak meninggalkan Ningsih sendirian dalam situasi yang begitu genting.

“Kami tidak bisa meninggalkan ibu sendirian,”  ucap Arya dengan suara gemetar, ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran.

Aditya menambahkan dengan tegas, “Kami harus bersama-sama, ibu. Kita tidak boleh berpisah di saat seperti ini.”

Ningsih mengangguk, memahami keteguhan hati anak-anaknya. Namun, dia merasa tanggung jawab yang mendalam untuk memastikan keselamatan keluarganya. “Ibu tahu kalian anak-anak yang baik— yang selalu menyayangi ayah ibu… karena kalian anak baik, tolong patuhi perintah ibu. Cepat pergi ke Padepokan Kusumaloka, bilang kalau kalian anak Bisma Wiratama.”

“Tapi ibu—”

“Jangan membantah lagi, turuti saja apa yang ibu minta,” tegas Ningsih. “Ibu pasti akan menjemput kalian, setelah semuanya aman.”

Aditya dan Arya masih ragu. Mereka memandang Ningsih dengan perasaan yang campur aduk, antara keinginan untuk melindungi ibu mereka dan ketakutan akan situasi yang semakin berbahaya.

“Cepat pergi!” Ningsih mendorong punggung dua anak kembarnya itu, hingga keduanya bersedia berjalan meninggalkannya. Dengan tatapan nanar, Ningsih memandang kedua buah hantinya itu melangkah menjauh, dengan kepala yang berkali-kali menengok ke belakang.

“Pergi!” teriak Ningsih mengiringi kepergian keduanya. Setelah memastikan Arya dan Aditya benar-benar pergi, Ningsih bergegas kembali ke kediamannya yang mungkin hanya berjarak sekitar dua kilometer dari tempatnya berdiri.

Ningsih kembali dengan hati yang berdebar-debar, khawatir akan nasib Bisma. Langkahnya terburu, menyusuri jalan setapak yang dulu mereka lalui bersama. Namun, ketika sampai di rumah, pemandangan yang menyakitkan menanti di depannya.

Bisma terbaring tak berdaya di lantai, tubuhnya terluka parah, dan bekas pukulan serta luka-luka lainnya menghiasi tubuhnya. Gatot, yang masih berada di sekitar, terlihat dingin dan tanpa belas kasihan, menyaksikan kondisi Bisma dengan tatapan dingin yang penuh kekejaman.

Ningsih terdiam sejenak, matanya terbelalak dan hatinya hancur melihat keadaan suaminya yang terluka begitu parah.

“Mas Bisma!” Ia segera berlari mendekati Bisma, mencoba memberikan pertolongan pertama dan meredakan penderitaannya.

Bisma, dengan napas yang terengah-engah, mencoba tersenyum lemah ketika melihat Ningsih datang. Dia menggenggam tangan istrinya dengan lemah, mencoba menenangkan Ningsih meskipun dirinya sendiri terluka parah.

“Kenapa kau kembali? Aku sudah menyuruhmu pergi bersama anak-anak,” bisik Bisma dengan suara yang lemah. Pandangan matanya mulai kabur.

“Aku tidak sanggup meninggalkan kau sendiri, Mas. Apalagi dalam kondisi seperti ini,” jawab Ningsih dengan airmata yang meleleh di kedua matanya.

“Kau harus pergi, Ningsih…”

“Tidak, Mas, kita akan melalui ini bersama-sama," ucapnya dengan suara gemetar namun penuh tekad.

Saat Ningsih masih memeluk tubuh Bisma, tiba-tiba Gatot mendekat lalu menjambak rambut panjang perempuan itu. “Harusnya kau menuruti apa kata suamimu, sehingga kau tak perlu melihat suamimu mati tragis.”

Ningsih menjerit kesakitan, namun dia berusaha tak terlihat gentar. Dia menyentakkan tangan Gatot yang masih memegangi rambutnya. “Sampah sepertimu tidak layak hidup di dunia ini.”

Makian dari Ningsih membuat Gatot naik pitam. Dengan tanpa belas kasihan, Gatot melayangkan tamparan

di wajah Ningsih. Tubuh kurus Ningsih sontak terhempas hingga tersungkur di tanah.

“Ningsih…” pekik Bisma lemah saat melihat istrinya terjatuh. Gatot mendekat pada perempuan berusia 30an itu, lalu menendanginya berkali-kali. Ningsih meringis kesakitan.

“Cukup Gatot! Jangan sakiti istriku lagi,” pinta Bisma. Namun Gatot terus menyerang Ningsih, karena tersinggung dengan ucapannya sebelumnya. Kondisi Bisma terluka parah dan hampir tak berdaya, dengan sisa tenaga terakhirnya, berusaha menyelamatkan Ningsih dari serangan Gatot. Bisma merangkak dan memegangi kaki Gatot yang terus menendang Ningsih. “Cukup!”

“Ini terjadi karena kau keras kepala, harusnya kau menuruti permintaanku, dan membuatkan aku pedang terkuat!” Gatot menarik pedang dari sarungnya lagi, lalu menebaskannya pada leher Bisma. CRASHH! Darah muncurat hingga mengenai wajah Ningsih yang saat itu tergeletak di tanah.

“Mas Bisma!” pekik Ningsih histeris melihat suaminya yang seketika lunglai dan tergeletak tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ningsih dengan tubuhnya yang lemah berusaha merangkak menghampiri tubuh Bisma yang tak lagi bergerak.

“Mas Bisma!” Ningsih histeris saat ia berhasil meraih tubuh Bisma, lalu mendekapnya dengan erat. Dalam keadaan histeris dan penuh keputusasaan,  Ningsih meraih golok yang sebelumnya digunakan oleh Bisma. Dengan susah payah dia berdiri, lalu mengacungkan golong itu pada Gatot.

“Biadab! Aku pasti akan membunuhmu!”

Ningsih berlari menyerang Gatot. Namun, tanpa memiliki latihan atau keterampilan beladiri yang memadai, Ningsih dengan cepat dilumpuhkan oleh keahlian dan kekejaman Gatot. Serangan balasan dari Gatot terlalu kuat dan terampil, menghantam Ningsih dengan kekejaman yang tidak bisa dihindari.

Ningsih jatuh terkapar, tubuhnya terluka dan tak berdaya di tanah. Wajahnya terasa pucat, airmata campur darah mengalir dari luka-luka yang dideritanya. Penderitaan dan keputusasaan tampak terpantul jelas dalam matanya yang memohon belas kasihan, namun Gatot tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun.

Bersamaan dengan itu, kedatangan Arya dan Aditya yang mendadak kembali untuk menyusul ibu mereka

membuat moment tragis ini menjadi lebih mendalam lagi. Kedua bocah itu terbelalak dan terguncang, melihat kedua orangtuanya terkapar tak berdaya.

“Ayah! Ibu!” pekik Aditya dan Arya bersamaan.

Bersambung…

Episodes
1 Bab 1. Tamu tak Diundang
2 Bab 2. Kehilangan
3 Bab 3. Melawan Gatot Kusumadi
4 Bab 4. Keluarga Baru
5 Bab 5. Kebahagiaan Baru
6 Bab 6. Inti Jiwa yang Hancur
7 Bab 7. Menuju Padepokan Kusumaloka
8 Bab 8. Berlatih Beladiri
9 Bab 9. Ditolak
10 Bab 10. Kesempatan
11 Bab 11. Ujian Dimulai
12 Bab 12. Sangat Mirip
13 Bab 13. Sosok Misterius di Goa
14 Bab 14. Jaka & Pitaloka
15 Bab 15. Lulus Ujian
16 Bab 16. Sepuluh Tahun Kemudian
17 Bab 17. Belati Bhumi Geni
18 Bab 18. Rencana Meninggalkan Padepokan
19 Bab 19. Musuh yang Mengintai
20 Bab 20. Arya tak Berdaya
21 Bab 21. Persiapan Misi Pengawalan
22 Bab 22. Perburuan Malam
23 Bab 23. Misi Kali Ini
24 Bab 24. Alas Banyuireng
25 Bab 25. Malam Serangan
26 Bab 26. Berhasil Mengalahkan Lawan
27 Bab 27. Pertemuan Tak Terduga
28 Bab 28. Dihantui Kekhawatiran
29 Bab 29. Gubuk
30 Bab 30. Kegelisahan Tersembunyi
31 Bab 31. Energi Penyembuh
32 Bab 32. Pertemuan Aditya dengan Ratih
33 Bab 33. Apa yang Terjadi?
34 Bab 34. Kenyataan Sulit Diterima
35 Bab 35. Waktu Lebih Lama
36 Bab 36. Sisi Lain
37 Bab 37. Sadar Tanpa Kesadaran
38 Bab 38. Dukungan Tak Terduga
39 Bab 39. Dupa Penenang
40 Bab 40. Makanan Untuk Arya
41 Bab 41. Pertemuan Kembali
42 Bab 42. Kehilangan Arya Sekali Lagi
43 Bab 43. Kembali Pada Widuri
44 Bab 44. Strategi
45 Bab 45. Misi
46 Bab 46. Menggantikan Arya
47 Bab 47. Sulit Berpura-pura
48 Bab 48. Secepat Mungkin Menuju Kusumaloka
49 Bab 49. Terungkap
50 Bab 50. Masuk Perangkap
51 Bab 51. Ruang Pribadi Gatot Kusumadi
52 Bab 52. Kenangan dan Emosi Kesedihan
53 Bab 53. Perasaan Keterpurukan
54 Bab 54. Pertarungan Aditya dan Gatot
55 Bab 55. Meninggalkan Arum Darmawangsa
56 Bab 56. Perjalanan Widuri dan Aditya
57 Bab 57. Kepingan Jiwa
58 Bab 58. Khawatir
59 Bab 59. Kembali
60 Bab 60. Tangisan Arya
61 Bab 61. Rekan Perjalanan
62 Bab 62. Awal Perjalanan
63 Bab 63. Dendam Gatot Kusumadi
64 Bab 64. Perampok Kacangan
65 Bab 65. Dua Kepingan Inti Jiwa
66 Bab 66. Kekacauan Arya
67 Bab 67. Mengurai Setiap Petunjuk
68 Bab 68. Renungan Pitaloka
69 Bab 69. Kedatangan Gatot Kusumadi di Padepokan
70 Bab 70. Pertarungan Dua Kubu
71 Bab 71. Pertarungan Sengit
72 Bab 72. Akhir Dari Gatot Kusumadi
73 Bab 73. Kehilangan Sekali Lagi
Episodes

Updated 73 Episodes

1
Bab 1. Tamu tak Diundang
2
Bab 2. Kehilangan
3
Bab 3. Melawan Gatot Kusumadi
4
Bab 4. Keluarga Baru
5
Bab 5. Kebahagiaan Baru
6
Bab 6. Inti Jiwa yang Hancur
7
Bab 7. Menuju Padepokan Kusumaloka
8
Bab 8. Berlatih Beladiri
9
Bab 9. Ditolak
10
Bab 10. Kesempatan
11
Bab 11. Ujian Dimulai
12
Bab 12. Sangat Mirip
13
Bab 13. Sosok Misterius di Goa
14
Bab 14. Jaka & Pitaloka
15
Bab 15. Lulus Ujian
16
Bab 16. Sepuluh Tahun Kemudian
17
Bab 17. Belati Bhumi Geni
18
Bab 18. Rencana Meninggalkan Padepokan
19
Bab 19. Musuh yang Mengintai
20
Bab 20. Arya tak Berdaya
21
Bab 21. Persiapan Misi Pengawalan
22
Bab 22. Perburuan Malam
23
Bab 23. Misi Kali Ini
24
Bab 24. Alas Banyuireng
25
Bab 25. Malam Serangan
26
Bab 26. Berhasil Mengalahkan Lawan
27
Bab 27. Pertemuan Tak Terduga
28
Bab 28. Dihantui Kekhawatiran
29
Bab 29. Gubuk
30
Bab 30. Kegelisahan Tersembunyi
31
Bab 31. Energi Penyembuh
32
Bab 32. Pertemuan Aditya dengan Ratih
33
Bab 33. Apa yang Terjadi?
34
Bab 34. Kenyataan Sulit Diterima
35
Bab 35. Waktu Lebih Lama
36
Bab 36. Sisi Lain
37
Bab 37. Sadar Tanpa Kesadaran
38
Bab 38. Dukungan Tak Terduga
39
Bab 39. Dupa Penenang
40
Bab 40. Makanan Untuk Arya
41
Bab 41. Pertemuan Kembali
42
Bab 42. Kehilangan Arya Sekali Lagi
43
Bab 43. Kembali Pada Widuri
44
Bab 44. Strategi
45
Bab 45. Misi
46
Bab 46. Menggantikan Arya
47
Bab 47. Sulit Berpura-pura
48
Bab 48. Secepat Mungkin Menuju Kusumaloka
49
Bab 49. Terungkap
50
Bab 50. Masuk Perangkap
51
Bab 51. Ruang Pribadi Gatot Kusumadi
52
Bab 52. Kenangan dan Emosi Kesedihan
53
Bab 53. Perasaan Keterpurukan
54
Bab 54. Pertarungan Aditya dan Gatot
55
Bab 55. Meninggalkan Arum Darmawangsa
56
Bab 56. Perjalanan Widuri dan Aditya
57
Bab 57. Kepingan Jiwa
58
Bab 58. Khawatir
59
Bab 59. Kembali
60
Bab 60. Tangisan Arya
61
Bab 61. Rekan Perjalanan
62
Bab 62. Awal Perjalanan
63
Bab 63. Dendam Gatot Kusumadi
64
Bab 64. Perampok Kacangan
65
Bab 65. Dua Kepingan Inti Jiwa
66
Bab 66. Kekacauan Arya
67
Bab 67. Mengurai Setiap Petunjuk
68
Bab 68. Renungan Pitaloka
69
Bab 69. Kedatangan Gatot Kusumadi di Padepokan
70
Bab 70. Pertarungan Dua Kubu
71
Bab 71. Pertarungan Sengit
72
Bab 72. Akhir Dari Gatot Kusumadi
73
Bab 73. Kehilangan Sekali Lagi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!