Dendam Pendekar Kembar
Halaman rumah keluarga Bisma Wiratama di desa Suryakanta terbentang luas dengan rumput hijau yang segar di bawah matahari pagi yang hangat. Halaman itu dikelilingi oleh pepohonan tua yang menjulang tinggi, tempat yang sempurna untuk latihan bagi Aditya dan Arya. Sinar matahari menyapu permukaan tanah, memancarkan warna keemasan yang mempercantik tiap gerakan mereka.
Aditya dengan rambut hitamnya yang tergerai liar, berdiri tegap dengan pedang kayu di tangan kanannya. Senyum ceria melengkung di wajahnya ketika ia bergerak lincah, melaju dan memutar pedangnya dengan kefasihan. Setiap gerakan Aditya penuh kegembiraan, seperti menari di atas rerumputan yang lembut.
Sementara itu Arya, dengan rambut yang sama hitamnya tetapi terikat rapi, menunjukkan keahlian yang sama gemilangnya. Langkahnya terukur, gerakan pedangnya terkoordinasi dengan sempurna, memancarkan kepercayaan diri yang mengalir begitu alami. Matanya yang cerdas memancarkan fokus yang dalam saat ia
mengamati setiap langkah yang diambil Aditya, sambil menemukan celah-celah kecil yang bisa dia manfaatkan.
Suara pedang kayu bertemu, menghasilkan getaran yang berdentum namun harmonis di udara.
Ayah mereka Bisma Wiratama, yang sedang sibuk di dekat tungku tempa besinya, sesekali melirik ke arah mereka. Tatapan penuh kasih dan bangga mewarnai wajahnya setiap kali melihat kedua anaknya yang penuh semangat dalam latihan mereka.
Ningsih muncul di halaman rumah dengan keanggunannya yang khas sebagai perempuan Jawa. Rambut hitamnya diterpa sinar pagi, memancarkan kilauan yang membuat wajah cantik ibu
muda itu terlihat makin memesona.
“Aditya, Arya, sudah waktunya sarapan," ucap Ningsih dengan lembut memanggil kedua anak kembarnya. Aditya dan Arya berhenti sejenak dari latihan mereka.
“Sebentar lagi,” sahut Aditya. Ningsih sudah paham dengan karakter anak sulungnya yang selalu bersemangat dalam berlatih. Bocah berusia 12 tahun itu memang berkeinginan untuk menjadi pendekar kuat yang kelak bisa berkelana mengelilingi dunia. Berbeda dengan karakter Arya yang cenderung lebih penurut dan selalu bersikap lembut.
“Kalian sudah berlatih dari subuh, kan? Sekarang mari istirahat dulu dan makan pagi,” bujuk Ningsih. Arya yang lebih dulu meletakkan pedang kayunya, lalu berlari menghampiri ibu mereka. Aditya pun akhirnya meletakkan pedang kayunya lalu menyusul Arya.
Bisma dengan cekatan meletakkan alat kerjanya, lalu menatap dengan penuh kasih pada istri dan anak-anaknya. Dalam sekejap, pekerjaannya sebagai seorang pande besi terlupakan. Ia tersenyum lembut, menyambut momen kebersamaan itu dengan penuh kehangatan.
Mereka berkumpul di bawah naungan pepohonan tua di halaman rumah, menikmati sarapan pagi yang disajikan oleh Ningsih. Namun kedamaian itu ternyata hanya sementara— semua berubah ketika sosok Gatot Kusumadi melangkah dengan mantap masuk ke halaman keluarga Wiratama.
Gatot Kusumadi adalah seorang pendekar yang menggabungkan kekuatan dan keanggunan dalam penampilannya. Tubuhnya tegap dan kuat, dengan postur yang kokoh dan berotot. Wajahnya ditutupi oleh jenggot tebal dan alis yang tampak tegas, memberikan kesan bengis.
“Selamat pagi, Bisma Wiratama," ucap Gatot dengan suara yang tenang namun mengandung kepastian. "Saya datang dengan maksud yang penting.”
Bisma menoleh, menatap Gatot dengan sikap hormat namun juga kehati-hatian. Ada
kekhawatiran yang tersirat di matanya saat ia menyambut kedatangan Gatot.
“Selamat pagi, Gatot Kusumadi,” jawab Bisma dengan tegas namun tetap menghormati kedatangan tamu tersebut.
Gatot dengan wajah yang serius, langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Aku menginginkan
pedang yang kuat. Aku dengar kau adalah seorang pande besi terampil di desa ini.”
Bisma terdiam sejenak. Tatapannya berpindah dari Gatot ke arah kedua anaknya yang berada di samping ibu mereka. Ia tahu betul akan peringai Gatot, seorang pendekar tangguh namun juga dikenal dengan kekejamannya. Meskipun Gatot meminta dengan sopan, Bisma bisa merasakan ketegangan dan ancaman yang tersembunyi di balik permintaannya.
Tanpa ragu, Bisma menegaskan, “Maaf, Gatot. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku hanya membuat senjata untuk kebaikan dan perdamaian, bukan untuk kekerasan.”
Suasana yang tadinya penuh kehangatan dan damai tiba-tiba berubah menjadi tegang. Gatot memandang Bisma dengan tatapan tajam yang mengisyaratkan kekecewaan dan ancaman yang tersamar.
“Maksudku baik, Bisma," ucap Gatot dengan suara yang sedikit memaksa. “Tapi jika kau tidak bersedia membantu, maka itu adalah kesalahan besar.”
Bisma meski merasa tertekan, tetap teguh pada prinsipnya. Ia menatap Gatot dengan mantap, menolak untuk menyerahkan pedang yang dibuatnya demi kebaikan dan perdamaian.
Ketegangan mencapai puncaknya saat Gatot tiba-tiba saja menarik pedangnya, mengarahkannya langsung ke leher Bisma. Udara seakan membeku, dan detik-detik berjalan sangat lambat di tengah kekacauan yang tiba-tiba menghampiri kehangatan pagi itu.
Sementara Ningsih, Aditya, dan Arya terkejut dan kaget melihat aksi penuh ancaman itu. Tubuh Ningsih gemetaran, namun dia segera merangkul anak-anaknya untuk berusaha menenangkan mereka.
“Ayah,” pekik Aditya dan Arya bersamaan. Aditya dan Arya, yang sebelumnya penuh semangat dan ceria, kini terpaku pada adegan menegangkan di hadapan mereka.Wajah mereka pucat karena ketakutan.
Dalam sekejap, Bisma dengan gesit meraih golok yang terselip di pinggangnya, mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman yang mendadak dari Gatot. Matanya memancarkan ketegasan dan keberanian, meskipun ia sadar betul akan keunggulan dan kekejaman Gatot.
Pertarungan pun pecah di tengah halaman rumah yang sebelumnya damai. Bisma mengandalkan keahlian dan kecepatannya dalam menggunakan golok, mencoba bertahan dari serangan-serangan mematikan yang dilancarkan Gatot. Meskipun terampil, dia menyadari bahwa lawannya ini jauh lebih berpengalaman dan lebih
kuat.
Aditya, Arya, dan Ningsih menyaksikan pertarungan yang tidak seimbang dengan campur aduk perasaan cemas dan ketakutan. Mereka merasa sedih melihat Bisma berjuang sekuat tenaga namun tampaknya tak mampu menyamai keahlian Gatot.
“Ayah…” Arya menangis karena mencemaskan ayah mereka yang mulai keteteran. Pertarungan sengit itu terus berlanjut, memenuhi udara dengan suara benturan logam yang tajam dan berdentum.
BRUG! Bisma jatuh terkapar setelah Gatot mendaratkan tendangan di perutnya.
“Ayaah!!” Aditya dan Arya memekik dan berlari menghampiri Bisma. Ningsih dengan berurai airmata juga menghampiri suaminya. Bisma bangkit dibantu oleh istri dan kedua anaknya. Bisma mengangkat tangannya, seolah memberi isyarat pada Ningsih kalau dia tidak apa-apa.
“Bawa anak-anak pergi!” pintanya dengan suara yang lemah namun tegas. Matanya menatap istri dan anak-anaknya dengan penuh kekhawatiran dan kasih sayang yang mendalam.
“Tapi, Mas—”
“Cepat pergi!” bentak Bisma yang menyadari situasi semakin membahayakan bagi keluarganya.
Ningsih, tercekat oleh permintaan Bisma, menangis hampir tanpa suara. Namun, dia mengerti bahwa situasi ini semakin berbahaya bagi keluarganya. Dengan perasaan berat, dia mengangguk dalam kepatuhan, memahami bahwa keselamatan anak-anaknya harus menjadi prioritas utama.
“Ayo,” Ningsih menarik kedua Aditya dan Arya.
“Tidak, aku tidak mau pergi tanpa ayah,” Aditya terus menatap penuh kekhawatiran pada Bisma. Arya pun menangis tidak tega pergi tanpa ayah mereka. Namun Bisma menatap mereka penuh ketegasan. “Menurut pada ibu kalian.”
Aditya dan Arya yang mendengar titah ayah mereka akhirnya terpaksa mengangguk. Meski penuh dengan kekhawatiran, mereka memahami keputusan yang diambil oleh orang tuanya. Mereka menatap Bisma dengan airmata yang terus berurai. Ningsih menarik Aditya dan Arya, berusaha membawa keduanya pergi sejauh yang ia bisa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Cowok Rese
Jadi bisma itu nama anak atau ayahnya sih?..😪
2024-02-20
0
Cowok Rese
mantap
2024-02-20
0