Subuh itu, Ana merasakan kedamaian yang berbeda. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an menggema lembut, menembus keheningan malam dan menyelimuti kamar mereka dengan ketenangan yang begitu mendalam.
Ana yang sebelumnya terlelap dalam tidur, perlahan membuka matanya. Awalnya, ia mengira suara itu datang dari mushola kecil di dekat rumah mereka, namun semakin lama didengarnya, ia merasa suara itu terasa begitu dekat.
Matanya melirik ke arah jam di dinding. “Pukul empat pagi,” gumamnya pelan.
Suara azan subuh sudah berkumandang di kejauhan, namun apa yang lebih membuat Ana terheran-heran adalah suara yang memantul begitu dekat dari arah ranjangnya. Ia menoleh perlahan ke samping.
Di sana, Edgar, suaminya, terlihat sedang duduk khusyuk di atas sajadah, membaca Al-Qur'an dengan lancar dan indah.
Al-Qur'an terbuka di tangannya, dan bibirnya bergerak, melantunkan ayat-ayat dengan sangat merdu. Ana tertegun sejenak, terkesima melihat pria muda yang menjadi suaminya itu.
Selama ini ia mengenal Edgar sebagai murid yang cerdas, penuh semangat dalam belajar dan berolahraga, tetapi tak pernah terbesit di pikirannya bahwa Edgar juga memiliki bakat luar biasa dalam mengaji.
Ia selalu terkesan dengan kemampuannya dalam segala hal, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda, kekhusyukan yang ia rasakan dalam suara Edgar.
Batin Ana mulai tergerak, merasakan kedamaian yang menyentuh hati. Seolah-olah suara Edgar mengajak hatinya untuk bersantai, untuk merasakan kedamaian yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Ketika adzan subuh berkumandang lebih keras, Edgar menutup kitab suci yang ada di tangannya dengan penuh hormat. Ia menoleh ke arah Ana, tersenyum tipis. Dia tahu, Ana sudah bangun sejak tadi, dan tampaknya Ana mengamatinya tanpa sadar.
“Bu ayo bangun. Kita shalat berjamaah yuk,” ajaknya lembut sambil mengusap kepala Ana dengan penuh kasih sayang.
Ana yang semula berpura-pura tidur mendadak merasa canggung. Ia takut ketahuan telah memperhatikan Edgar, tapi yang membuatnya semakin gugup adalah sikap Edgar yang tampaknya tahu apa yang ia lakukan.
Seolah Edgar membaca pikirannya, Edgar tak segan-segan menggoda Ana dengan perlahan.
“Cup!”
Deg!
Ana membuka matanya lebar-lebar, mendapati Edgar masih duduk di dekatnya dengan senyum nakal di wajahnya. “Edgar! Berani banget kamu mencium kening saya!” serunya dengan nada setengah kesal, wajahnya memerah, tubuhnya kaku seketika.
Edgar tertawa kecil, menikmati reaksi Ana yang tiba-tiba. “Habisnya ibu nggak bangun-bangun. Saya pikir ini cara yang paling efektif untuk membangunkan ibu,” balasnya santai, tetap dengan senyum lebar di wajahnya.
Ana menatapnya tajam, matanya berkilat-kilat. “Dengar ya. Jangan pernah lagi melakukan itu tanpa izin saya! Saya nggak suka!” ucapnya dengan nada yang tegas.
Edgar mengangkat bahu, tampak bingung. "Tapi saya ini suami ibu kok. Apa saya salah?” tanyanya polos, mencoba mencari pembenaran.
Ana mendesah panjang, berusaha menenangkan diri. “Mungkin nggak salah kalau dilihat dari sisi itu. Tapi kamu harus ingat, kamu masih muda. Kamu masih murid saya. Ada batasan yang harus kamu jaga, paham?” ucap Ana, berusaha tetap menjaga ketegasan, meskipun hatinya sedikit bergolak.
Edgar mengangguk kecil, merasakan sedikit kesalahan dalam dirinya. “Bai bu. Saya minta maaf. Tapi sekarang ayo kita sholat dulu. Setelah itu, ibu bisa memarahi saya sepuasnya.”
Ana terdiam beberapa saat, menatap Edgar dengan tatapan penuh pemikiran. Tapi, akhirnya ia bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Meski hatinya masih terasa tidak nyaman, Ana merasa lebih baik jika segera menyelesaikan kewajiban mereka.
Saat mereka berdiri untuk shalat, suasana di dalam kamar berubah menjadi khusyuk. Ana merasa canggung, hatinya berdebar-debar.
Ini pertama kalinya ia menjadi makmum bagi suaminya, yang hanya seorang murid di kelasnya. Namun, melihat Edgar memimpin shalat dengan khidmat, perlahan perasaan canggung itu mulai mereda.
Edgar menunjukkan kualitas sebagai seorang pemimpin, meskipun usianya jauh lebih muda dari Ana.
Shalat selesai, dan Edgar menoleh ke arah Ana, tersenyum dengan lembut. “Bu biasakan menyalami suami sendiri. Ini sunnah lho,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Ana menatap Edgar sebentar dengan bingung. Ia belum terbiasa dengan hal itu. “Nggak usah pakek acara salaman segala,” ucapnya dingin, berusaha menjaga jarak.
Edgar menurunkan tangannya, namun tetap tidak menyerah. “Bu, coba buka hati sedikit. Saya ini suami ibu, bukan aja murid ibu. Kalau kita terus begini, kapan ibu bisa menerima saya sepenuhnya?” tanya Edgar dengan nada serius.
Ana terdiam. Kata-kata Edgar mengingatkannya pada pelajaran yang sering ia berikan di kelas, pada materi tentang hak dan kewajiban dalam sebuah pernikahan. Ia bisa merasakan bahwa Edgar berusaha keras untuk menjadi suami yang baik.
“Ingat bu, hadist yang ibu ajarkan di kelas. Sekiranya aku memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan perempuan sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami atas dirinya. Saya nggak minta lebih bu. Cukup ibu mau menerima saya perlahan,” ucap Edgar dengan lembut, meskipun suaranya tetap tegas.
Ana menundukkan kepala, merasa tak mampu membalas. Kata-kata itu menghujam dalam-dalam, menembus batas pemikirannya.
Ana pun mengulurkan tangan dengan pelan, mencium tangan Edgar, meskipun wajahnya masih ragu dan terkejut. Ia tidak tahu mengapa, namun perasaan itu seperti terlepas begitu saja dari hatinya.
Edgar tersenyum puas, namun tetap memegang tangan Ana dengan lembut. “Terima kasih bu. Saya janji akan jadi suami yang baik untuk ibu. Saya akan selalu berusaha untuk menjaga ibu,” ucapnya dengan nada yang penuh harapan.
Ana menarik tangannya dengan cepat, menghindar. “Sudah, sudah. Sekarang kamu belajar dulu. Saya mau buat sarapan,” ucapnya dengan nada sedikit canggung, mencoba kembali mengubah topik pembicaraan.
Edgar tertawa pelan. “Oke, tapi jangan lupa, buatkan saya susu vanilla ya bu! Jangan kopi atau teh,” ucapnya sambil berdiri dan duduk di meja belajar, kembali berfokus pada catatan-catatan yang perlu dipelajarinya.
Ana mendesah panjang, seolah sudah terbiasa dengan sikap Edgar yang seperti anak kecil. “Kamu ini benar-benar kayak anak kecil ya,” gumamnya sambil juga berdiri membereskan alat sholat dan berjalan keluar kamar.
Edgar hanya tersenyum dan mengangguk pelan, kembali membuka bukunya, namun di dalam hatinya, ia merasa sedikit lebih lega.
Ia tahu, meskipun Ana tampak tegas dan jarang menunjukkan perasaan, ada tanda-tanda bahwa ia perlahan mulai menerima dirinya sebagai suami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
MAKANYA PENGHUNI NERAKA BNYK DI HUNI KAUM WANITA, DN YG PARAHNYA ITU WANITA UMAT NABI MUHAMMAD SHALALLAHU ALAIHI WASSALAM. DN MRK PADA TAU AGAMA, TPI MRK TRGELINCIR K NERAKA KRN TDK MNGHORMATI SUAMINYA... DAN SI ANA INI SALAH SATU WANITA YG TAU AGAMA, TPI MNOLAK TAKDIR & JODOHNYA HNY KRN UMUR, HERANNYA KLO SAMA OM2 YG SEUMURAN AYAHNYA, TU PARA WANITA GK MALU, SDGKN SAMA BRONDONG MRK MALU, PADAHAL LKI2 BRONDONG LBH BUCIN & LBH POSESIF KPDA WANITANYA MSKI BEDA USIA..
2024-03-16
1
Sulaiman Efendy
USIA 19 SDH LEGAL BUAT MNIKAH.. DN LEGAL BUAT CIUMAN SAMA ISTRINYA, ANA HRS TAU, BAGINDA RASULULLAH SAJA BEDA 15 TH SAMA UMMU SITI KHADIJAH.... HRSNYA ANA SBAGAI WANITA YG FAHAM AGAMA HRS MNGHORMATI ED, MSKI ED USIANYA DIBAWAH DIRINYA, DN ED MURIDNYA.. ITU HNY STTUS NON FORMAL, SDGKN FORMALNYA, ED TTP SUAMI LO ANA..
2024-03-16
1
mamak"e wonk
sweeet banget kan an suami bocil mu 🥰😍😁😁
2024-01-22
0