Ch ~

Hujan semakin deras, membuat suara gemerisik daun dan ranting menjadi semakin keras. Udara dingin malam itu seolah menusuk hingga ke tulang, membuat Ana menggosok kedua tangannya yang basah kuyup untuk menghangatkan tubuhnya.

Dress sederhana yang ia kenakan sudah menempel di tubuhnya karena air hujan, membuatnya merasa tidak nyaman.

Petir menyambar keras, membuat Ana menggigil ketakutan. Ia melirik Edgar yang tampak duduk bersandar di salah satu tiang pondok kayu, mencoba mengeringkan rambutnya dengan tangannya sendiri.

Suasana di sekitar mereka menjadi semakin mencekam, dengan hujan yang semakin deras dan petir yang menyambar keras. Ana merasa seperti berada di dalam sebuah film horor, dengan udara yang dingin dan gelap.

Ia mencoba untuk menguatkan dirinya, tetapi tidak bisa tidak merasa takut. Edgar, di sisi lain, tampak tenang dan tidak terganggu oleh hujan dan petir. Ia terus duduk bersandar di tiang pondok kayu, dengan mata yang terpejam dan wajah yang tenang.

Ana merasa sedikit iri dengan ketenangan Edgar, dan ia tidak bisa tidak bertanya-tanya apa yang membuatnya bisa tetap tenang dalam situasi seperti ini.

“Jangan khawatir bu. Hujan ini pasti segera reda kok,” ucap Edgar, mencoba menenangkan.

Namun, pikiran Ana sedang kacau. Ia hanya mengangguk kecil sambil menatap ke arah kakinya yang basah. Seketika, ia merasa sesuatu yang aneh bergerak di kakinya. Dengan gugup, Ana mengangkat sedikit dress-nya.

“Aaaa!” Ana berteriak keras, langsung melompat mundur.

Edgar terkejut. “Ada apa bu?”

Ana seketika saja memeluk Edgar tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergetar hebat. “Ada cacing Ed! Di kaki saya! Tolong buang! Tolong Ed!”

Edgar tersentak, namun tak bisa menahan tawa kecilnya. “Hanya cacing bu?”

“Ed, aku geli! Cepat buang! Jangan ketawa! Saya seriusan!” Ana semakin mengeratkan pelukannya, membuat Edgar kehilangan keseimbangan hingga keduanya jatuh bersama ke lantai pondok yang dingin.

“Tenang bu. Saya akan buang,” ucap Edgar, mencoba bergerak meski Ana masih memeluknya erat. Dengan cepat, ia meraih cacing itu dan melemparkannya keluar pondok.

“Sudah bu. Aman sekarang,” ucap Edgar sambil membantu Ana bangkit.

Namun, Ana belum sempat membalas. Dari luar, terdengar suara langkah kaki mendekat diiringi gumaman beberapa orang.

“Siapa di sana?” suara seorang lelaki paruh baya terdengar tegas.

Ana dan Edgar menoleh bersamaan. Lima lelaki dewasa masuk ke dalam pondok. Mereka adalah warga desa yang juga mencari tempat berteduh dari hujan. Namun, saat melihat Ana dan Edgar berdekatan, tatapan mereka berubah curiga.

“Kalian berdua. Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya salah satu lelaki dengan nada tajam.

“Kami hanya berteduh,” jawab Ana cepat sambil berdiri, wajahnya memerah.

“Berteduh? Tapi kenapa kalian basah kuyup dengan posisi kayak lagi bermesraan? Apa kalian sedang melakukan—”

“Bukan begitu pak! Tadi saya dan Edgar—”

“Sudah bu Ana. Jangan cari alasan. Lebih baik kalian ikut kami ke rumah pak RT sebelum masalah ini jadi lebih besar,” ucap lelaki lain dengan nada penuh keputusan.

“Tapi ini salah paham pak! Kami benar-benar tidak melakukan hal apapun.” Ana bersikeras, namun tidak ada yang mendengarkannya.

Edgar berdiri, menatap para lelaki itu dengan tegas. “Kami nggak melakukan apa-apa pak. Kalian nggak bisa menuduh tanpa bukti.”

Namun, ucapannya hanya membuat situasi semakin panas. Salah satu lelaki menarik tangan Edgar. “Kamu diam aja Nak. Kamu masih terlalu muda untuk melawan. Kita semua juga melihat kok apa yang barusan kalian lakukan. Mungkin jika kami nggak kesini, bisa jadi kalian berdua sudah melakukan zina besar.”

“Kami benar-benar nggak melakukan apa-apa pak,” ucap Ana masih ingin membela diri.

“Jelaskan aja di rumah pak Harto, bu Ana. Jangan biarkan nama baik kalian berdua semakin jelek nantinya. Lebih baik ikut kami sekarang,” ucap lelaki lainnya.

Dengan enggan, Ana dan Edgar akhirnya mengikuti paksaan para lelaki yang menuduh mereka dengan mudah ke rumah RT setempat.

Di sana suasana semakin mencekam. Orang tua Ana dan Edgar telah dipanggil untuk menghadiri pertemuan darurat itu. Wajah mereka tampak cemas.

Harto, sang RT, duduk di kursi utama. Ia mengetuk meja dengan jari-jarinya, mencoba menenangkan keributan kecil yang mulai muncul di antara para warga.

“Baik, kita langsung ke inti masalah,” ucap Harto dengan nada tegas. “Kalian berdua, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.”

Ana mengambil napas dalam, berusaha menjelaskan dengan tenang. “Kami hanya berteduh dari hujan di pondok itu pak. Nggak ada hal lain yang terjadi. Saya bisa bersumpah. Saat itu kaki saya ada cacing tanah, saya benar-benar terkejut dan sontak aja reflek meminta bantuan Edgar. Tapi kami malahan terjatuh bersama karena licin pak.”

Namun, beberapa warga tidak percaya. Salah seorang lelaki menyela, “Jujur ya bu Ana, pakek logika aja, Masa sudah besar kayak begini takut dengan cacing tanah. Terus sampai terjatuh dengan posisi kalian aja sudah terlalu intim untuk sebuah ketidaksengajaan. Fikir dong, alasan kayak begitu di jadikan pembelaan.”

Edgar menatap lelaki itu tajam. “Saya nggak akan membiarkan siapa pun menghina guru saya. Jika bapak-bapak sekalian nggak percaya, tanyakan apa pun, tapi jangan membuat asumsi sendiri. Nyatanya memang benar kok pak, apa yang di katakan bu Ana.”

Namun, perdebatan itu tidak mereda. Salah seorang tetua desa berdiri. “Sudahlah pak Harto, lebih baik kita nikahkan mereka aja. Ini untuk menjaga nama baik keluarga Ana dan Edgar. Jika mereka nggak di nikahkan malam ini juga, saya sebagai warga di sini nggak sudi dan nggak mau mereka berdua menginjak kampung ini.”

Ana terkejut. “Apa?! Nggak! Itu nggak bisa pak. Kami benar-benar nggak melakukan hal itu.”

Ayah Ana, Mawan, mencoba menenangkan putrinya. “Ana, dengarkan dulu. Ini untuk menyelamatkan nama baik keluarga kita.”

“Tapi Pa! Aku ini guru Edgar. Dia masih muda, masa depannya masih panjang. Dia bahkan mendapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri!” Ana memohon, air matanya mulai mengalir.

Namun, warga desa bersikeras. Mereka tidak ingin memperpanjang masalah. Ibu Edgar, Ita, menatap Ana dengan ekspresi pasrah. “Nak, ini mungkin bukan yang kamu inginkan. Tapi demi menjaga nama baik kita semua, mau nggak mau kalian harus menikah. Apa kamu nggak bisa memandang kami juga? Lagian masa depan Edgar masih bisa kita diskusikan.”

Ana hanya diam, wajahnya menunjukkan konflik batin yang mendalam. Namun akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baiklah, kalau ini yang terbaik,” ucapnya lirih.

Prosesi sederhana pun dimulai. Dengan hanya berbekal uang sepuluh ribu rupiah sebagai mas kawin, Edgar mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu dan saksi.

Ana tidak bisa menahan tangisnya. Ia merasa hidupnya berubah dalam sekejap. Ia menoleh ke arah Edgar yang kini resmi menjadi suaminya, merasa bersalah telah menyeret pemuda itu ke dalam situasi ini.

Di dalam hatinya, Ana bertanya-tanya. Apakah ini benar-benar takdir, ataukah sebuah keputusan yang terburu-buru?

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

MESKI EPIK AWAL NYA KURANG LBH DGN CERITA MURID NIKAH MA BU GURUNYA, TPI PSTI PNY SISI YG BRBEDA..

2024-03-16

1

Alexandra Juliana

Alexandra Juliana

Sama ky Zio/Cio anaknya Ale² turunan buaya rawa yg nikah sama gurunya krn keusilan teman2 lucknut nya, shg digerebek warga utk dinikahkan 😄😄

2024-02-09

1

Alexandra Juliana

Alexandra Juliana

Yaahhh mrk otw dinikahkan dong...

2024-02-09

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!