Ch ~

Hujan di luar masih turun deras, seperti sebuah badai yang tidak berhenti. Suara gemuruh petir menyatu dengan derasnya air hujan di atap rumah, menciptakan suasana yang semakin mencekam dan menakutkan. Ana berdiri mematung di kamar. 

Suasana di kamar semakin tegang, dengan hujan dan petir yang semakin keras. Ana mencoba untuk mengalihkan suasana dengan berbicara, tetapi nada suaranya tidak bisa tidak terdengar tegas.

“Ed, kamu mandi duluan sana. Nanti bajumu biar ibu bereskan,” ucap Ana, mencoba mengalihkan suasana. Edgar menoleh sambil tersenyum kecil, namun matannya tidak bisa tidak terlihat tajam.

“Bu, anda yang harusnya mandi duluan. Baju anda sudah basah, dan itu bisa buat masuk angin. Saya sudah biasa kayak begini,” jawab Edgar dengan suara yang tenang, namun dengan nada yang sedikit menantang.

Ana menghela napas panjang, merasa kesal dengan sikap keras kepala muridnya itu. “Kamu itu anak muda Edgar. Kalau sakit, nanti gimana sekolahmu? Kamu sebentar lagi mau ujian, kamu harus tetap sehat,” Ana mencoba untuk menyadarkan Edgar, namun nada suaranya tidak bisa tidak terdengar kasar.

Edgar tertawa kecil, menatap Ana dengan mata jenakanya yang tajam. “Kalau begitu, gimana kalau kita mandi bareng? Jadi adil bu,” ucapnya dengan suara santai, nadanya sedikit menggoda. 

Ana yang sedang membenahi pakaian di lemari langsung berhenti dan memutar badan, wajahnya memerah dengan marah. “Apa? Edgar! Apa kamu sadar apa yang barusan kamu katakan?” suaranya naik satu oktaf dengan emosi yang mulai memuncak.

Edgar hanya mengangkat bahu santai, ia bertingkah sesantai mungkin di hadapan Ana yang terlihat tidak menyukainya secara terang-terangan. “Kita ini suami-istri bu. Bukannya itu hal yang wajar?”

Ana menggebrak meja kecil di dekatnya, emosi mulai memuncak. “Wajar apanya? Kamu itu murid saya, Edgar! Suami istri apa? Jangan lupa, pernikahan ini hanya karena tekanan warga. Ini nggak nyata!” Ana mencoba untuk menyadarkan Edgar, nada suaranya tidak bisa tidak terdengar kasar.

Edgar tidak bergeming, matanya terus menatap Ana. “Tapi kenyataannya kita memang sudah menikah bu. Mau nggak mau, ini adalah takdir kita,”

Suasana di kamar semakin tegang, dengan hujan dan petir yang semakin keras. Ana dan Edgar terus berdiri di sana, dengan emosi yang mulai memuncak, dan dengan suasana yang semakin mencekam.

Ana menggeleng kuat, suaranya bergetar dengan emosi semakin memuncak. “Takdir apa? Takdir itu masih bisa diubah Edgar. Besok kita temui orang tua kita dan kita akan bercerai! Itu solusi terbaik sebelum ini semua menghancurkan masa depan kamu.”

Mendengar itu, Edgar mendekati Ana perlahan, dengan langkah kaki yang membuat Ana mundur secara refleks. Suasana di kamar semakin tegang, dengan hujan dan petir yang semakin keras di luar.

Ana mencoba menghindari tatapan Edgar, namun tak bisa. Mata Edgar berubah menjadi tajam, membuat Ana merasa seperti sedang diintai.

“Kenapa ibu selalu berpikir saya nggak cukup baik? Apa saya terlalu kecil di mata ibu?” tanya Edgar, suara yang bergetar dengan emosi.

Ana tertegun, tidak bisa menjawab pertanyaan Edgar. Ia mencoba menghindari tatapan Edgar, namun tak bisa.

“Kamu masih anak-anak Ed. Kamu harus fokus pada masa depanmu. Saya ini hanya penghalang,” ucap Ana, suaranya penuh dengan getaran.

Namun, Edgar semakin mendekat, membuat Ana menyandarkan punggungnya ke dinding.

Ana mulai panik, dengan hati yang berdegup kencang. “Ed, kamu jangan macam-macam. Jangan lupa posisi kita! Kamu belum lulus sekolah, belum siap menghadapi dunia ini!” teriak Ana, suaranya semakin meninggi.

Edgar menghela napas panjang, namun tetap mendekat. Ia menatap Ana dalam-dalam, dengan mata yang terus menatap Ana tajam.

“Saya sudah siap bu. Saya sudah menjadi suami anda. Apa itu nggak cukup untuk membuktikan kedewasaan saya?” tanya Edgar dengan suara yang bergetar penuh dengan emosi.

Ana merasa seperti sedang dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit, dengan hati yang berdegup kencang.

“Kamu belum paham Edgar! Pernikahan ini akan menghancurkan masa depanmu. Bagaimana dengan beasiswa yang sudah kamu dapatkan? Bagaimana dengan cita-cita kamu?” Ana mencoba membujuk dengan suara lebih lembut walaupun emosinya masih memuncak.

Namun, Edgar hanya tersenyum, dengan matanya yang tak teralihkan. “Masa depan saya sekarang adalah masa depan kita berdua bu. Saya akan tetap mengejar cita-cita saya, tapi dengan anda di sisi saya. Saya nggak akan meninggalkan tanggung jawab saya sebagai seorang suami,” ucap Edgar dengan suaranya meyakini.

Ana terdiam, kata-kata Edgar terlalu matang untuk seseorang seusianya, namun ia tahu, ini bukan kehidupan yang diharapkan.

“Ed, kamu nggak ngerti. Dunia ini nggak seindah itu. Orang-orang akan menghakimi kita, menghancurkan segalanya. Kamu pikir dunia itu ibarat permainan yang bisa kita olah dengan muda. Jika itu yang kamu pikirkan, itu salah besar Ed,” ucap Ana yang terus menyadarkan Edgar.

Edgar tidak bergeming, matanya terus menatap Ana dengan tajam. “Biarkan mereka berbicara bu. Yang penting saya tau apa yang saya perjuangkan,” ucap Edgar dengan penuh keyakinan.

Ana menutup matanya, berusaha meredakan gejolak di dalam hatinya. Ia merasa seperti sedang dihadapkan pada sebuah tebing yang curam, dengan tidak ada jalan keluar.

“Baiklah Ed. Kalau kamu benar-benar serius menjalani ini, maka kamu harus membuktikannya. Kita jalani ini perlahan. Tapi ingat, kamu harus tetap sekolah dan fokus pada masa depanmu,” ucap Ana dengan suara yang meredah tetapi emosi masih menyulut kalbunya.

Edgar mengangguk mantap, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Sebelum masuk, ia menoleh sekali lagi dan berkata dengan nada jahil, “Tapi kalau ibu berubah pikiran soal mandi bareng, kabari saya ya.”

Ana hampir melemparkan bantal ke arah Edgar, namun Edgar sudah tertawa sambil menutup pintu kamar mandi. Suara tertawa Edgar seperti sebuah pisau yang menusuk hati Ana, membuatnya merasa sakit dan terluka.

Ana duduk di tepi ranjang, memegang kepalanya. Hatinya terasa berat, bukan hanya karena situasi yang tidak diinginkannya, tetapi juga karena dirinya mulai merasa goyah.

Wajah Edgar, senyumnya, bahkan keyakinannya, semua perlahan merayap masuk ke dalam pikirannya. Ana merasa seperti sedang dihadapkan pada banyaknya pilihan yang sulit, dengan hati yang berdegup kencang.

“Ya Allah, apa yang sebenarnya kau rencanakan untukku?” gumam Ana pelan sambil menatap ke luar jendela, di mana hujan masih turun tanpa henti.

Suasana di luar seperti sebuah refleksi dari hati Ana, yang terus terombang-ambing dalam badai emosi. Ana merasa seperti sedang berjalan di dalam labirin yang tidak ada jalan keluar sama sekali. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.

Terpopuler

Comments

💞Amie🍂🍃

💞Amie🍂🍃

Ya jelas lah, sedangkan situ muridnya🤣🤣 aneh2 aja

2024-01-22

2

💞Amie🍂🍃

💞Amie🍂🍃

Murid tengil

2024-01-22

0

DianWulanDari

DianWulanDari

so sweet Ed,setuju Ed jadi laki² harus bertanggung jawab, bahagiakan ana Ed

2024-01-17

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!