Married To A Student
Anatasya, atau yang lebih akrab dipanggil Ana, adalah seorang perempuan cantik berusia 28 tahun yang masih berstatus single.
Wajahnya yang manis dan senyumnya yang cerah membuat banyak orang terpesona, namun hatinya masih belum siap untuk menerima cinta dari orang lain.
Ana masih teringat akan sosok lelaki tampan yang pernah mengajaknya ta'arufan beberapa tahun yang lalu. Mereka telah memutuskan untuk menikah, namun nasib berkata lain.
Lelaki itu meninggal dunia sebelum mereka bisa melangsungkan pernikahan, meninggalkan Ana dengan hati yang hancur.
Setelah kejadian itu, Ana memutuskan untuk fokus pada dirinya sendiri dan tidak ingin terlibat dalam hubungan romantis lagi. Ia lebih memilih untuk hidup sendiri dan menikmati kesendirian, meskipun banyak orang yang berdatangan mempersuntingnya.
Ana selalu menolak mereka dengan alasan bahwa ia belum siap untuk menikah dan masih ingin hidup sendiri. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktunya dengan mengajar di sekolah desa dan melakukan kegiatan sosial lainnya.
Namun, di balik wajah tenangnya, hati Ana masih terus mengingat kenangan masa lalu. Ia masih teringat akan sosok lelaki tampan yang pernah mengisi hatinya dengan cinta dan harapan.
Ia masih teringat akan janji-janji yang mereka buat bersama, dan masih teringat akan kehilangan yang ia rasakan ketika lelaki itu meninggal. Ana tahu bahwa ia harus melanjutkan hidupnya, namun ia masih belum siap untuk melepaskan kenangan masa lalu.
Jalan desa yang biasanya ramai dengan aktivitas warga kini sepi, hanya menyisakan suara gemerisik daun yang diterpa angin. Ana melangkah sendirian di jalan setapak, memeluk tas putihnya erat-erat.
Tas itu berisi uang arisan milik para tetangga yang dititipkan padanya untuk diserahkan esok hari. Sebagai seorang guru sekaligus sosok yang dipercaya banyak orang di desa, Ana tahu tanggung jawabnya besar.
Namun, di balik wajah tenangnya, hatinya penuh kegelisahan. Hujan mulai membasahi tubuhnya, dan jalan menuju rumah terasa begitu panjang.
Ketika Ana melewati sebuah tikungan gelap, perasaannya semakin tak nyaman. Ia seperti merasa diawasi. Namun, ia mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya. Tapi langkah kaki lain terdengar dari belakang, semakin mendekat.
Sraaak!
Tiba-tiba, tasnya direnggut oleh seseorang yang melompat dari balik semak-semak. Ana tersentak, hampir jatuh ke tanah.
“Hei! Kembalikan tas saya!” teriaknya, suaranya bergema di tengah malam yang sunyi.
Lelaki berpakaian serba hitam itu berlari cepat ke arah jalanan gelap. Ana mengejarnya, meski langkahnya terseok-seok karena tanah yang licin.
“Tolong! Tolong!” suara Ana pecah oleh rasa takut dan panik.
Di saat yang bersamaan, langkah kaki lain terdengar dari arah sebaliknya. Edgar, seorang pemuda tampan yang dikenal sebagai ketua OSIS dan atlet taekwondo di sekolahnya, muncul dengan napas tersengal. Ia baru saja pulang dari rumah temannya setelah mengerjakan tugas kelompok.
“Bu Ana?” Edgar berhenti sejenak, terkejut melihat gurunya tampak panik.
“Itu! Dia mencuri tas saya!” Ana menunjuk ke arah lelaki yang hampir menghilang dari pandangan.
Edgar langsung bergerak. Tanpa bertanya lebih lanjut, ia berlari mengejar pencuri itu. Langkahnya cepat dan penuh keyakinan.
Di tengah pengejaran, Edgar mengambil sebuah batu kecil dari tanah. Dengan gerakan yang terlatih, ia melempar batu itu ke arah pencuri.
Bruak!
Batu itu menghantam punggung pencuri, membuatnya terjatuh ke tanah.
Edgar segera mendekat, menahan lelaki itu dengan cekatan. “Berani-beraninya mencuri tas guru saya!” bentaknya, suaranya penuh kemarahan.
Pencuri itu merintih kesakitan, memegangi punggungnya yang terluka. “Ampun Bang! Saya cuma butuh uang!” ucapnya dengan suara memelas.
Ana yang baru tiba melihat Edgar hendak melayangkan pukulan ke wajah lelaki itu. Namun, Ana buru-buru menahan tangannya. “Jangan Ed! Sudah cukup,” ucapnya dengan suara gemetar.
“Tapi bu! Dia mencuri tas anda!” Edgar menoleh, matanya penuh emosi.
“Dia sudah mendapat pelajaran. Biarkan dia pergi,” ucap Ana, meski rasa takut masih menyelimuti dirinya.
Dengan enggan, Edgar melepaskan lelaki itu. Pencuri itu segera bangkit dan melarikan diri dengan langkah terseok-seok, meninggalkan mereka di bawah guyuran hujan.
“Ini tas anda bu.” Edgar menyerahkan tas putih itu kepada Ana.
Ana membuka tasnya dengan tangan gemetar. Uang arisan masih utuh. Ia menghela napas lega, lalu menatap Edgar dengan penuh rasa syukur.
“Terima kasih Ed. Kalau bukan karena kamu, saya nggak tau apa yang akan terjadi,” ucapnya dengan suara serak.
“Iya bu sama-sama,” jawab Edgar sambil tersenyum tipis.
Hujan semakin deras, membuat tubuh mereka berdua basah kuyup. Edgar melihat sebuah pondok kayu di pinggir jalan. “Bu, kita berteduh dulu di sana. Kalau terus begini, kita bisa sakit.”
Ana mengangguk, terlalu lelah untuk menolak. Mereka berjalan menuju pondok itu, mencoba menghindari hujan yang semakin menggila.
Di dalam pondok, hanya suara hujan deras yang menemani mereka. Ana duduk di salah satu sudut, merapatkan cardigan basahnya.
Sedangkan Edgar berdiri di dekat pintu, memperhatikan hujan yang tak kunjung reda.
“Bu,” Edgar akhirnya membuka suara, memecah keheningan. “Kenapa anda selalu sendirian? Kenapa anda nggak menerima lamaran dari lelaki-lelaki di desa ini?”
Ana terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menatap Edgar dengan bingung, tidak tahu harus menjawab apa. “Ya saya punya alasan sendiri,” jawabnya pelan.
Edgar menoleh, menatap Ana dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa itu karena seseorang yang pernah melamar anda?”
Ana terdiam. Kata-kata Edgar seperti menembus pertahanannya. Ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu, dan ia ingin menghentikan percakapan itu secepatnya.
“Cukup Ed,” ucap Ana tegas. “Saya nggak mau membahas tentang hal itu. Kamu nggak perlu tau tentang kehidupan pribadi saya.”
Edgar terkejut dengan nada Ana yang tegas. Ia tidak terbiasa dengan Ana yang seperti itu. “Maaf bu,” ucap Edgar. “Saya nggak bermaksud mengusik anda.”
Ana menghela napas, “Saya tau Ed. Tapi saya nggak mau membahas tentang hal itu. Kamu hanya perlu tau bahwa saya nggak akan pernah melupakan seseorang yang pernah saya sukai.”
Edgar mengangguk, “Maaf kalau saya lancang bu. Tapi, anda layak untuk bahagia. Anda nggak perlu terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.”
Ana tersentak mendengar kata-kata Edgar. Hatinya bergemuruh, tapi ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bahwa Edgar sedang mencoba untuk memahaminya, tapi ia tidak tahu harus bagaimana.
Malam itu tak hanya hujan yang membasahi tubuhnya, tetapi juga percikan harapan baru yang perlahan menghangatkan hatinya.
Ana merasa bahwa ia sedang dihadapkan pada sebuah pilihan, antara terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu atau mencoba untuk melangkah ke depan dengan harapan baru yang terbaik untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Ranita Rani
br mampir kak, tp ni nyimak dlu
2024-06-03
2
Sulaiman Efendy
BARU MAMPIR NIH, SEMOGA CRITA BRONDONGNYA MNARIK, KRN AKU SANGAT SUKA CRITA BRONDONG..
SALAM KENAL MBAK OTHOR DARIKU ANAK PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT...🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙂🙂🙂
2024-03-16
1
Shanty Yang
baru liat di ig, jd tinggalkan jejak dlu biar ga ilang 😁
2024-03-02
2