Imam Untuk Syifa
Iktikaf di musholla setelah pulang sekolah selalu dilakukan Syifa. Karena selain menjadi anggota Rohis di sekolahnya dan menjadi tugasnya menjaga musholla, dia bisa berlama-lama mengagumi sosok ketua rohis yang merupakan salah satu tipe calon imamnya walaupun bukan kategori santri.
Menurutnya, wajar jika memiliki tipe calon imam lebih dari satu. Bukan, malah Syifa berpikir kalau wajar memiliki lebih dari satu orang yang dikaguminya. Iqbal adalah sosok yang sedang dikaguminya saat ini dan menjadi salah satu alasannya untuk iktikaf di musholla. Syifa tak pernah bosan mendengar lantunan ayat suci Al-Quran dari seberang hijab yang menjadi batasan antara tempat sholat Ikhwan dan Akhwat. Menurutnya, suara yang dilantunkan Iqbal sangat menyejukkan hati pendengarnya. Ditambah dengan tajwid yang tepat dalam pelafalannya. Bahkan dapat menambah pahala bagi orang yang mendengarkan bacaannya.
"Syifa, Abi kamu kapan jemput?" Itu suara Sasha, saudara sesama anggota Rohis sekaligus teman semeja Syifa di kelas. Ya, semeja bukan sebangku. Hari ini dia mendapatkan jadwal piket untuk membersihkan musholla bagian akhwat. Kalau Syifa jangan ditanya, dia selalu membantu saudara sesama Rohisnya piket karena dapat dijadikannya sebagai pengalihan untuk berlama-lama mengagumi suara Iqbal ketua Rohisnya itu.
"Abi tadi nelpon aku katanya nggak bisa jemput aku, Sha. Jadinya aku disuruh naik ojek online, deh." Abinya memang mengabari seperti itu. Pasalnya, Abi harus menjemput seseorang di bandara. Katanya, anak sahabatnya ingin ke rumah karena ada kepentingan serta ada urusan dengan keluarganya Syifa.
"Syif, bareng sama aku aja. Rumah kita juga searah, kan? Lumayan lah, bisa hemat uang saku kamu buat dialokasikan ke hal bermanfaat lain. Gimana, mau nggak?" Tawar Sasha. Namun, nampaknya Syifa menimbang-nimbang tawaran itu. Apalagi alasannya coba? Itu karena sosok yang dikaguminya saat ini masih ada di musholla meskipun sudah tidak melantunkan ayat-ayat Al-quran lagi. Menurutnya, mengetahui Iqbal masih di musholla saja sudah sangat senang buatnya. Tapi, orang yang ingin berbuat baik harus diberi wadah, pikir Syifa. Akhirnya Syifa menerima tawaran Sasha.
"Syukron ya, Sha. Kamu baik banget."
"Ya udah yuk ke parkiran."
Mereka pun akhirnya ke parkiran dan menaiki motor matic pink warna kesukaan Sasha.
***
"Sha, masuk dulu. Biar aku buatin teh. Kan kamu udah berbuat baik ke aku, jadi aku harus bales dong, kan?" Tampak ada nada paksaan didalamnya. Tentu Sasha tak bisa menolaknya.
"Eh, Syif. Akhir-akhir ini kayaknya kamu lebih sering deh iktikaf di musholla. Hampir setiap hari kayaknya. Bahkan pernah sampai setiap hari. Ngapain, sih? Atau jangan-jangan...." Basa basi Sasha tampaknya membuat Syifa sedikit terkejut.
"Astaghfirullah, Sha. Jangan suudzhon, dong." Bantah Syifa karena kurang senang dengan godaan Sasha.
"Maaf, Syif. Habisnya aku penasaran aja. Kalo aku perhatiin, setiap ada Iqbal di Musholla, pasti selalu ada kamu. Kamu suka sama Iqbal, ya?" Sasha menggoda Syifa lagi.
Deg...
Dan tentu saja godaan dan tebakan Sasha itu benar. Syifa sempat mematung saat mendengarnya.
"Kenapa kamu nebaknya gitu, Sha? Dilihat dari mana, coba?" Syifa tampak mengelak. Namun, gelagatnya tampak panik. Syifa langsung meneguk kasar teh yang juga ia buat untuk dirinya. Syifa terlihat salah tingkah. Dan dari tingkah itu, Sasha menyimpulkan kalau tebakannya benar.
"Keliatan banget tau, Syif. Cerita dong sama aku. Kan kita saudara sesama Rohis. Kita juga semeja duduknya di kelas yang sama. Ayolah..." Sasha memang pandai merayu. Akhirnya Syifa membuka mulut.
"Aku malu, jangan bilang ke siapapun, ya."
"Iya, Syifa sayang. Aku janji, deh."
Syifa menghirup udara panjang dahulu, kemudian membuangnya perlahan sebelum memulai cerita yang menurutnya malu untuk diungkapkan.
"Aku bukan suka sama Iqbal. Cuma kagum aja. Lagian aku juga nggak pernah natap Iqbal lama, kamu pasti tahu, kan? Aku seneng aja kalo ada orang yang melantunkan Qur'an dengan indah dan tajwid yang benar. Sekarang kamu tahu kan, orang-orang mungkin banyak yang suaranya bagus dalam bacaan, tapi nggak bagus di tajwidnya. Cuma itu, nggak lebih." Bukan cuma Iqbal saja yang tak pernah ditatapnya lama, tapi semua lelaki yang bukan mahramnya tak pernah ditatapnya lama. Syifa takut akan fitnah dan zina mata. Makanya ia selalu menjaga pandangannya.
"Iya, sih. Bahkan kayaknya cuma kamu sama Iqbal aja deh yang tajwidnya udah pas di Rohis. Kalau anggota lainnya paling cuma bisa dasarnya belum lanjutan. Paling tahunya cuma hukum nun mati dan tanwin. Kalo agak pinter, mungkin nambah sama hukum mim mati. Kalo makhraj huruf, semenjak Iqbal terpilih sebagai ketua Rohis, dia buat program tahsin untuk perbaiki bacaan dan Alhamdulillah masalah makhrajnya anak Rohis aman. Termasuk aku, hehe. Tapi jujur deh, kamu ada ngerasa lebih dari sekedar kagum sama suara dan tajwidnya nggak, Syif?"
"Nah, masalah itu aku pengen nanya pendapat kamu, Sha. Kadang aku suka ngerasa seneng kalo denger Iqbal ada di musholla. Entahlah, aku gak tau kenapa."
"Jadi itu alasan kamu tadi pake mikir pas denger tawaran aku untuk kasih tebengan ke kamu?"
"Iya, Sha. Maaf." Syifa merasa malu karena terbongkar sudah hal yang ditutupinya.
"Biasa, sih, itu. Rasa kagum juga kadang-kadang suka kayak gitu. Tapi kamu nggak suka mikirin dia, kan? Ntar jadi zina pikiran lagi." Sasha tampak menunjuk-nunjuk Syifa. Lagi-lagi, Syifa panik karena itu.
"A-aku nggak pernah mikirin dia, lah. Cuma anehnya ya gitu, Sha, kayak yang aku bilang tadi. Cuma itu doang,” jawab Syifa cepat untuk membuat Sasha menurunkan telunjuknya. Mungkin jawaban Syifa agak berbohong dengan yang sebenarnya ia rasakan. Ia tidak tahu kalau ia juga kadang-kadang memikirkan Iqbal. Tapi, saat ia sadar telah memikirkan Iqbal yang bukan mahramnya, ia langsung menepisnya dengan melakukan hal lain yang lebih bermanfaat.
"Kamu kalo iktikaf tuh jangan utamain dateng buat dengerin si Iqbal ngaji, dong. Kan niat iktikaf itu pengen lebih dekat sama Allah. Kalo kamunya ngaji tapi nggak fokus malah fokus ke suara Iqbal, kan niatnya udah salah. Allah itu pencemburu, Syif." Sasha menasehati. Nasehat itu terdengar dalam, kemudian menampar Syifa kuat-kuat.
"Astaghfirullah. Kamu bener, Sha. Syukron udah nyadarin aku." Syifa beristighfar cepat menyadari kesalahannya.
Beruntung memiliki sahabat yang bisa mengingatkan kita pada Allah. Menasehati ketika terjerumus dalam kemaksiatan. Sahabat sejannah-Nya.
"Efek kebelet nikah muda nih kamu, Syif." Syifa terkekeh malu. Mungkin benar kalau ia terlalu sering memikirkan untuk menikah muda makanya ia akhir-akhir ini sering berpikir tentang calon imam masa depannya. Dan kebetulan Iqbal memenuhi salah satu kriterianya.
"Syif, aku mau pulang, nih. Makasih tehnya, ya,” pamit Sasha setelah sebelumnya puas berbasa-basi sebentar dengan Syifa.
"Aku juga, makasih udah dianterin sampai rumah. Jazakillahu khairan. Hati-hati dijalan ya, Sha. Fii amanillah,” sambut Syifa. Mereka berdua berjalan keluar rumah.
"Iya, Assalamua'alaykum."
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Titip salam sama orang rumah kamu, ya, Sha."
“Siip. Orang rumah pasti senang, apalagi Abang Angga,” ucap Sasha sempat-sempatnya menggoda Syifa lagi.
Syifa hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tahu kalau Sasha mempunyai abang yang kagum kepada dirinya. Hal itu juga karena hal yang sepele. Ia mendengar dari Sasha kalau abangnya itu suka akhlak Syifa saat berkunjung ke rumah mereka. Cuma karena hal kecil itu abangnya Sasha mengagumi Syifa. Tapi sama saja seperti Syifa yang juga mengagumi Iqbal hanya karena masalah sepele, hanya karena bacaan Qur'an-nya saja.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Dynamit
kalau teman aku sih suka curi pandang
2024-01-20
1
Dynamit
rohis : rohani islami
btw aku dulu anak rohis
2024-01-20
1