NovelToon NovelToon

Imam Untuk Syifa

IUS BAB 1

Iktikaf di musholla setelah pulang sekolah selalu dilakukan Syifa. Karena selain menjadi anggota Rohis di sekolahnya dan menjadi tugasnya menjaga musholla, dia bisa berlama-lama mengagumi sosok ketua rohis yang merupakan salah satu tipe calon imamnya walaupun bukan kategori santri.

Menurutnya, wajar jika memiliki tipe calon imam lebih dari satu. Bukan, malah Syifa berpikir kalau wajar memiliki lebih dari satu orang yang dikaguminya. Iqbal adalah sosok yang sedang dikaguminya saat ini dan menjadi salah satu alasannya untuk iktikaf di musholla. Syifa tak pernah bosan mendengar lantunan ayat suci Al-Quran dari seberang hijab yang menjadi batasan antara tempat sholat Ikhwan dan Akhwat. Menurutnya, suara yang dilantunkan Iqbal sangat menyejukkan hati pendengarnya. Ditambah dengan tajwid yang tepat dalam pelafalannya. Bahkan dapat menambah pahala bagi orang yang mendengarkan bacaannya.

"Syifa, Abi kamu kapan jemput?" Itu suara Sasha, saudara sesama anggota Rohis sekaligus teman semeja Syifa di kelas. Ya, semeja bukan sebangku. Hari ini dia mendapatkan jadwal piket untuk membersihkan musholla bagian akhwat. Kalau Syifa jangan ditanya, dia selalu membantu saudara sesama Rohisnya piket karena dapat dijadikannya sebagai pengalihan untuk berlama-lama mengagumi suara Iqbal ketua Rohisnya itu.

"Abi tadi nelpon aku katanya nggak bisa jemput aku, Sha. Jadinya aku disuruh naik ojek online, deh." Abinya memang mengabari seperti itu. Pasalnya, Abi harus menjemput seseorang di bandara. Katanya, anak sahabatnya ingin ke rumah karena ada kepentingan serta ada urusan dengan keluarganya Syifa.

"Syif, bareng sama aku aja. Rumah kita juga searah, kan? Lumayan lah, bisa hemat uang saku kamu buat dialokasikan ke hal bermanfaat lain. Gimana, mau nggak?" Tawar Sasha. Namun, nampaknya Syifa menimbang-nimbang tawaran itu. Apalagi alasannya coba? Itu karena sosok yang dikaguminya saat ini masih ada di musholla meskipun sudah tidak melantunkan ayat-ayat Al-quran lagi. Menurutnya, mengetahui Iqbal masih di musholla saja sudah sangat senang buatnya. Tapi, orang yang ingin berbuat baik harus diberi wadah, pikir Syifa. Akhirnya Syifa menerima tawaran Sasha.

"Syukron ya, Sha. Kamu baik banget."

"Ya udah yuk ke parkiran."

Mereka pun akhirnya ke parkiran dan menaiki motor matic pink warna kesukaan Sasha.

***

"Sha, masuk dulu. Biar aku buatin teh. Kan kamu udah berbuat baik ke aku, jadi aku harus bales dong,  kan?" Tampak ada nada paksaan didalamnya. Tentu Sasha tak bisa menolaknya.

"Eh, Syif. Akhir-akhir ini kayaknya kamu lebih sering deh iktikaf di musholla. Hampir setiap hari kayaknya. Bahkan pernah sampai setiap hari. Ngapain, sih? Atau jangan-jangan...." Basa basi Sasha tampaknya membuat Syifa sedikit terkejut.

"Astaghfirullah, Sha. Jangan suudzhon, dong." Bantah Syifa karena kurang senang dengan godaan Sasha.

"Maaf, Syif. Habisnya aku penasaran aja. Kalo aku perhatiin, setiap ada Iqbal di Musholla, pasti selalu ada kamu. Kamu suka sama Iqbal, ya?" Sasha menggoda Syifa lagi.

Deg...

Dan tentu saja godaan dan tebakan Sasha itu benar. Syifa sempat mematung saat mendengarnya.

"Kenapa kamu nebaknya gitu, Sha? Dilihat dari mana, coba?" Syifa tampak mengelak. Namun, gelagatnya tampak panik. Syifa langsung meneguk kasar teh yang juga ia buat untuk dirinya. Syifa terlihat salah tingkah. Dan dari tingkah itu, Sasha menyimpulkan kalau tebakannya benar.

"Keliatan banget tau, Syif. Cerita dong sama aku. Kan kita saudara sesama Rohis. Kita juga semeja duduknya di kelas yang sama. Ayolah..." Sasha memang pandai merayu. Akhirnya Syifa membuka mulut.

"Aku malu, jangan bilang ke siapapun, ya."

"Iya, Syifa sayang. Aku janji, deh."

Syifa menghirup udara panjang dahulu, kemudian membuangnya perlahan sebelum memulai cerita yang menurutnya malu untuk diungkapkan.

"Aku bukan suka sama Iqbal. Cuma kagum aja. Lagian aku juga nggak pernah natap Iqbal lama, kamu pasti tahu, kan? Aku seneng aja kalo ada orang yang melantunkan Qur'an dengan indah dan tajwid yang benar. Sekarang kamu tahu kan, orang-orang mungkin banyak yang suaranya bagus dalam bacaan, tapi nggak bagus di tajwidnya. Cuma itu, nggak lebih." Bukan cuma Iqbal saja yang tak pernah ditatapnya lama, tapi semua lelaki yang bukan mahramnya tak pernah ditatapnya lama. Syifa takut akan fitnah dan zina mata. Makanya ia selalu menjaga pandangannya.

"Iya, sih. Bahkan kayaknya cuma kamu sama Iqbal aja deh yang tajwidnya udah pas di Rohis. Kalau anggota lainnya paling cuma bisa dasarnya belum lanjutan. Paling tahunya cuma hukum nun mati dan tanwin. Kalo agak pinter, mungkin nambah sama hukum mim mati. Kalo makhraj huruf, semenjak Iqbal terpilih sebagai ketua Rohis, dia buat program tahsin untuk perbaiki bacaan dan Alhamdulillah masalah makhrajnya anak Rohis aman. Termasuk aku, hehe. Tapi jujur deh, kamu ada ngerasa lebih dari sekedar kagum sama suara dan tajwidnya nggak, Syif?"

"Nah, masalah itu aku pengen nanya pendapat kamu, Sha. Kadang aku suka ngerasa seneng kalo denger Iqbal ada di musholla. Entahlah, aku gak tau kenapa."

"Jadi itu alasan kamu tadi pake mikir pas denger tawaran aku untuk kasih tebengan ke kamu?"

"Iya, Sha. Maaf." Syifa merasa malu karena terbongkar sudah hal yang ditutupinya.

"Biasa, sih, itu. Rasa kagum juga kadang-kadang suka kayak gitu. Tapi kamu nggak suka mikirin dia, kan? Ntar jadi zina pikiran lagi." Sasha tampak menunjuk-nunjuk Syifa. Lagi-lagi, Syifa panik karena itu.

"A-aku nggak pernah mikirin dia, lah. Cuma anehnya ya gitu, Sha, kayak yang aku bilang tadi. Cuma itu doang,” jawab Syifa cepat untuk membuat Sasha menurunkan telunjuknya. Mungkin jawaban Syifa agak berbohong dengan yang sebenarnya ia rasakan. Ia tidak tahu kalau ia juga kadang-kadang memikirkan Iqbal. Tapi, saat ia sadar telah memikirkan Iqbal yang bukan mahramnya, ia langsung menepisnya dengan melakukan hal lain yang lebih bermanfaat.

"Kamu kalo iktikaf tuh jangan utamain dateng buat dengerin si Iqbal ngaji, dong. Kan niat iktikaf itu pengen lebih dekat sama Allah. Kalo kamunya ngaji tapi nggak fokus malah fokus ke suara Iqbal, kan niatnya udah salah. Allah itu pencemburu, Syif." Sasha menasehati. Nasehat itu terdengar dalam, kemudian menampar Syifa kuat-kuat.

"Astaghfirullah. Kamu bener, Sha. Syukron udah nyadarin aku." Syifa beristighfar cepat menyadari kesalahannya.

Beruntung memiliki sahabat yang bisa mengingatkan kita pada Allah. Menasehati ketika terjerumus dalam kemaksiatan. Sahabat sejannah-Nya.

"Efek kebelet nikah muda nih kamu, Syif." Syifa terkekeh malu. Mungkin benar kalau ia terlalu sering memikirkan untuk menikah muda makanya ia akhir-akhir ini sering berpikir tentang calon imam masa depannya. Dan kebetulan Iqbal memenuhi salah satu kriterianya.

"Syif, aku mau pulang, nih. Makasih tehnya, ya,” pamit Sasha setelah sebelumnya puas berbasa-basi sebentar dengan Syifa.

"Aku juga, makasih udah dianterin sampai rumah. Jazakillahu khairan. Hati-hati dijalan ya, Sha. Fii amanillah,” sambut Syifa. Mereka berdua berjalan keluar rumah.

"Iya, Assalamua'alaykum."

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Titip salam sama orang rumah kamu, ya, Sha."

“Siip. Orang rumah pasti senang, apalagi Abang Angga,” ucap Sasha sempat-sempatnya menggoda Syifa lagi.

Syifa hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tahu kalau Sasha mempunyai abang yang kagum kepada dirinya. Hal itu juga karena hal yang sepele. Ia mendengar dari Sasha kalau abangnya itu suka akhlak Syifa saat berkunjung ke rumah mereka. Cuma karena hal kecil itu abangnya Sasha mengagumi Syifa. Tapi sama saja seperti Syifa yang juga mengagumi Iqbal hanya karena masalah sepele, hanya karena bacaan Qur'an-nya saja.

 

***

 

IUS BAB 2

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Suara klakson mobil membuat Syifa terhentak dan segera membuka pintu rumahnya. Karena memang dia hanya sendirian di rumah. Umi ikut Abi ke bandara, dan Syifa anak satu satunya. Tebakannya benar, Abi dan Uminya baru pulang. Tapi, ada tambahan orang yang tak dikenalnya juga berada di sana. Mungkin itu adalah orang yang diceritakan Abinya di telepon tadi. Ia tak terlalu menghiraukannya.

"Assalamu'alaykum. Abi sama Umi pulang, nih,” sapa Umi saat berjalan menuju pintu rumah. Sudah terlihat Syifa di depan pintu yang siap menyambut mereka.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Abi, Umi." Syifa pun menyalim keduanya. Lalu menangkupkan kedua tangannya di depan dada pada orang yang tak dikenalnya itu. Lantas di balas pula oleh pria itu.

"Ayo Nak Ali, silakan masuk. Anggap rumah sendiri,” Umi mempersilahkannya karena terlihat Ali segan setelah tiga langkah menginjakkan kaki dari pintu rumah.

Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum dan masuk ke dalam rumah karena tak enak sudah dipersilahkan.

Syifa yang peka akan kedatangan seorang tamu, membuatkan tiga gelas teh untuk orang tuanya dan pria yang bernama Ali itu. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar setelahnya.

"Nak, jangan pergi dulu. Sebentar sini,” tahan umi yang melihat Syifa hendak pamit menuju kamarnya. Syifa menurut, ia duduk di samping Umi.

"Kenalkan, ini Muhammad Ali Akbar." Abi kini yang bicara." Dia ini anak dari sahabat Abi. Sayangnya, sahabat Abi itu sudah dipanggil oleh Allah. Kalau istrinya itu sudah dipanggil duluan sebelum dirinya. Dia ke sini untuk mengurus bisnis Ayahnya. Sekaligus menjadi wali nikah kakaknya. Awalnya kakaknya yang mengurus bisnis di sini, karena akan menikah, jadi Nak Ali lah yang menghandlenya. Betul Nak Ali?" Abi melanjutkan. Saat melemparkan ucapan terakhir ke Ali, pria itu hanya mengangguk menanggapi.

"Dan ini, kenalkan. Ini putri satu-satunya saya. Namanya Assyifa Amalia Rizqi. Panggilannya Syifa. Anak kelas dua belas di SMA negeri dekat sini. Oiya, selain ngurus bisnis Ayah kamu, katanya kakak kamu ngajar juga, ya, Nak Ali?" Lagi-lagi Pria itu hanya mengangguk menanggapi ucapan Abi. Syifa geli sendiri. Walaupun Syifa tak terlalu memperhatikan pria itu, ia cukup bisa melihat perilaku pria itu walau tak menatapnya lama.

"Oiya nak, kamu umurnya berapa?" Kali ini Umi yang bertanya.

"Dua puluh tahun, Umi." Syifa kembali tergeli sendiri, tapi ia menutupinya dengan tangan demi kesopanan. Dia kira, pria itu akan mengangguk kembali. Tapi, dia punya mulut juga ternyata. Dan dia memanggil ibunya dengan sebutan umi juga? Itu terdengar mengambil perhatian Syifa.

"Kok sebutnya Umi, sih? Kenapa nggak tante?" Pertanyaan itu lolos dari mulut mungil Syifa. Dia sendiri tak sadar akan perilaku anehnya itu. Biasanya dia lebih memilih diam dan berkata jika penting karena merupakan kepribadiannya. Tapi entah kenapa pertanyaan itu lolos dan mengundang tatapan dari ketiganya. Namun, tampaknya Pria bernama Ali itu langsung menundukkan kepalanya. Syifa kemudian sadar kalau ini bukan dirinya yang biasa. Ia pun ikut tertunduk karena malu.

"Syifa... Nak Ali ini udah Abi anggap sebagai anak sendiri setelah kamu. Abi yang menyuruhnya untuk memanggil kami seperti kamu memanggil kami. Kamu nggak keberatan, kan?" Pernyataan dan pertanyaan Abinya hanya dibalas dengan gelengan kepala darinya. Lalu Syifa tersenyum dalam tunduk mengingat ia juga melakukan hal yang sama seperti Pria itu lakukan, hanya bedanya ia menggeleng Pria itu mengangguk. Kenapa aktivitas mengangguk dan menggeleng ini tampak menyita perhatian Syifa?

***

Subuh sudah berkumandang sejak tadi. Tadi malam Syifa bangun untuk tahajud kemudian tidur kembali dan kembali bangun ketika adzan subuh berkumandang. Dia sudah berada di sekolah sekarang. Bahkan, dia adalah orang yang pertama datang. Itu merupakan rutinitasnya, mengingat Abinya yang mengantarkannya. Jadi dia tidak dapat meminta untuk mengantarnya ke sekolah agak lebih lambat. Syifa juga paham, walau jarak rumah dan sekolahnya cukup dekat, kantor ayahnya terlampau jauh dari sekolahnya, dan Abi juga harus berangkat ke kantornya pagi-pagi juga.

"Assyifa, Assalamu'alaykum. Kebetulan nih, ketemu kamu di depan kelasku." Sapa orang yang ternyata lebih dulu datang daripada dirinya.

"Eh, iya. Wa'alaikumussalam. Udah lama dateng?"

"Belum, nih. Baru aja, sekitar lima menitan. Aku ada piket musholla hari ini. Makanya lebih awal datengnya."

"Ooh, ya udah aku duluan ya."

"Eh, tunggu Syif. Aku ada informasi buat kamu sampaikan. Kamu kan selaku bagian humas di Rohis, jadi aku mau kamu yang nyampein ke anak Rohis lainnya."

"Emang ada informasi apaan, Bal?" Ya, yang Syifa ajak bicara adalah Iqbal. Sosok yang dia kagumi suara dan pelafalan tajwidnya. Jangan tanya keadaan Syifa sekarang. Dia lebih memilih menunduk meski diajak bicara dan lebih memilih mengakhiri topik pembicaraan untuk menghindari fitnah dan mengontrol diri manakala jantungnya tiba-tiba berdebar. Tapi malah berlanjut dengan tugasnya sebagai bagian humas di Rohis.

"Kamu udah tau kan kalo guru agama sekaligus pembina kita mau nikahan? Besok akad sekaligus resepsinya. Kita satu Rohis diundang. "

"Bu Akbar maksudnya? Kok aku baru tahu? Kok dadakan gitu, ya? Tapi Alhamdulillah, beliau udah nemu pasangan yang terbaiknya."

"Nah, aku pengen kamu sebarin ke anak-anak rohis tentang berita ini. Tolong ya, Syif."

"Oke, itu aja, kan? Kalo gitu aku duluan. Assalamu'alaykum, Bal."

"Iya, wa'alaykumussalam."

Akhirnya pembicaraan selesai. Syifa belum pernah berbicara selama itu dengan Iqbal. Dia senang ternyata Iqbal mengingat dirinya yang bahkan tak pernah sekalipun berbicara berdua saja dengannya. Mungkin pernah bicara, ketika dalam rapat program kerja di rohis dengan kesetujuan seluruh anggota. Tapi itu hanya sebatas kata setuju atau tidak saja dengan topik berkaitan dengan rapat yang berlangsung. Kali ini Syifa merasa berbeda, sedikit merasa senang pagi harinya ia menemui sosok yang tak menyesal ia temui pertama kali di sekolah.

"Woy, Syifa. Pagi-pagi udah ngelamun aja. Ngelamunin apaan, sih? Jangan bilang calon imam." Benar, setelah berbincang dengan Iqbal, Syifa masuk kelas lalu melamunkan perihal bincangan tadi. Juga tentang Bu Akbar yang akan menikah dan kapan dirinya akan menyusul. Kemudian, membayangkan bahwa imamnya nanti adalah Iqbal.

"Astaghfirullah. Makasih ya, Sha udah buyarin lamunan aku."

"Iya, sama-sama. Emang ada apa, sih? Eh, kamu udah tahu belum kalo Bu Akbar mau nikah? Dan akadnya besok. Denger denger, suaminya Akbar juga namanya. Kok bisa kebetulan gitu, ya?"

"Iya, aku udah tahu. Tapi kalo suaminya namanya Akbar juga, aku belum tahu."

"Tahu dari mana, Syif?"

"Iqbal."

"Astaghfirullah, baru aja kita bahas ini semalam, Syif."

"Bukan, Sha. Tadi tuh kebetulan aja aku ketemu Iqbal pas baru dateng ke sekolah. Dia ngasih tahu buat nyampein berita ini ke semua anak rohis kalo kita semua di undang. Dan aku memang bagian humas, dia langsung kasih tahu aja ke aku tadi."

"Syif, maaf ya. Aku jadi suudzhon. Tapi kan Syif, anak Rohis semua udah pada tau kalo Bu Akbar mau nikahan. Semalam jam setengah sebelas dibahas di grup. Aku nanyain ke kamu karena cuma kamu yang biasanya udah tidur di jam segitu. Tentang nama suaminya Akbar juga udah dibahas di grup." Pernyataan Sasha membuat Syifa terkejut. Memang dia tidak becus sebagai bagian humas. Malah Iqbal yang harus mengingatkannya langsung dan dia lagi-lagi disadarkan oleh Sasha karena terjerembab dalam garis start zina. Ia merutuki dirinya sendiri.

"Aduh, aku harus minta maaf nih sama Iqbal. Seharusnya aku tahu berita kayak gini."

"Santai aja, Syif. Bukan masalah besar juga. Lagian berita itu tuh udah kemaleman. Kamu juga nggak biasa buka hp pagi-pagi, kan? Aku tahulah kebiasaan dateng paginya kamu. Tapi, Iqbal kenapa nyampein itu ya ke kamu. Secara kan, anak-anak udah pada tahu. Untuk apa dihumas lagi, coba? Apa jangan-jangan, dia ada rasa, lagi, sama kamu. Dan dia bahas itu untuk bisa sedikit lebih lama ngobrol sama kamu. Ciyee." Pipi Syifa kemudian memerah dan memilih menundukkan kepalanya agar tidak ketahuan Sasha.

"Apa benar Iqbal ada rasa sama aku?" batinnya seketika berbunga-bunga. Sasha memang pandai menggoda.

***

IUS BAB 3

Pagi-pagi tadi, Syifa tak melihat keberadaan Ali saat sarapan. Syifa jadi mengira kalau Ali hanya menumpang untuk tidur saja dan langsung pergi keesokan harinya. Namun, siang ini, setelah pulang sekolah, ia malah melihat sosoknya berada di rumah. Terlihat ia sedang fokus membaca e-book dari ponselnya.

“Assalamu'alaykum, Kak Ali,” Syifa berusaha menyapa saat ia melihat Ali. Sebenarnya, ia sudah mengucapkan salam saat memasuki rumah, tapi tampaknya suaranya terlalu kecil jadi tak terjawab oleh Ali. Makanya, Syifa mengucapkan salamnya lagi. Ia juga tidak melihat Umi di sekitar sini, mungkin Umi sedang pergi, pikir Syifa.

“Wa'alaykumussalam Warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Ali tanpa menatap Syifa.

“Umi ke mana, Kak?” tanya Syifa. Sebenarnya sangat sok akrab tiba-tiba membuat panggilan “Kak” sebelum menyebutkan nama Ali. Tapi, itu lebih baik daripada memanggil namanya langsung, karena Syifa sudah mengetahui kalau Ali lebih tua dari dirinya. Ia juga tidak boleh sembarangan memberi panggilan “Mas”, takutnya itu malah lebih tidak sopan lagi dan sok akrab. Apa ia harusnya memanggil dengan sebutan “Bang” seperti Sasha memanggil kakak laki-lakinya? Tapi, Ali hanya orang asing, bukan saudara kandung Syifa. Abi dan Uminya memang menganggap Ali sebagai anak sendiri, tapi mana mungkin Syifa juga menganggap Ali sebagai saudara sendiri.

“Iya, Umi lagi pergi. Saya di minta untuk jaga rumah. Makanya saya datang ke sini.”Ali menjawab, tapi tak sekalipun melihat Syifa yang sudah berubah ekspresinya.

“Gawat, berarti aku sama Kak Ali Cuma berdua aja di rumah? Astaghfirullah,” batin Syifa seketika langsung resah.

“Um..., terimakasih Kak Ali udah mau ke sini. Sekarang, karena Syifa udah pulang, Kak Ali bisa tinggalin rumah, kok. Nanti Syifa sampein ke Umi.” Syifa berucap sesopan mungkin. Apa mengusir seperti ini termasuk sopan?

“Saya juga maunya begitu. Tapi, saya diamanahkan untuk menjaga rumah sampai Umi pulang. Jadi, nggak bisa seenaknya ditinggalkan,” tolak Ali dengan dasar amanah.

“Nanti Syifa juga yang hubungin Umi. Kak Ali nggak apa-apa, kok, kalau mau pulang,”Syifa mencoba lagi. Ia ingin sekali mengatakan alasan sebenarnya, tapi ia segan. Ali lebih tahu mana yang baik atau buruk. Ia tahu dari Uminya kalau Ali sekolah di pondok sejak SMP, Ali juga mengambil jurusan pendidikan agama Islam di kampusnya. Jika niat awalnya adalah menjaga rumah karena amanah, Ali pasti hanya melakukan itu. Ia tidak akan berpikir macam-macam. Atau risih jika berduaan dengan Syifa. Selama keduanya pandai menjaga diri dan menempatkan diri, tidak perlu ada yang harus di khawatirkan.

“Kalau gitu, coba hubungi Umi. Apa tersambung?” Ali agak mengalah. Tapi ia yakin Umi tak akan menerima ponselnya. Ali berasumsi, karena Umi buru-buru tanpa membawa tas perginya, bisa saja ponsel Umi juga tidak di bawa.

Syifa langsung menghubungi Umi. Beberapa kali ia coba, ia tak mendapatkan jawaban. Ali benar ternyata.

Ali yang melihat aktivitas Syifa jadi merasa risih jika berduaan dengan Syifa. Lebih tepatnya, ia takut membuat Syifa tidak nyaman karena keberadaannya. Di sisi lain, Ali juga terikat dengan amanah.

“Ya udah, nggak ada pilihan lain selain jaga rumah sampai Umi pulang. Kalau kamu ragu saya ada di sini, kalau gitu biar saya menunggu di luar. Saya juga nggak terlalu suka terjebak dalam situasi ini,” usul Ali. Ia menyimpan ponselnya, kemudian segera bergegas menuju keluar.

“Kak Ali... Um..., jangan, deh, Kak. Syifa aja yang keluar. Syifa mau main ke rumah teman aja, deh. Lagian, kalau Umi udah ngomong begitu, berarti amanah. Umi juga nggak biasanya nyuruh orang untuk jaga rumah, mungkin ada yang mau Umi sampein ke Kak Ali waktu Umi pulang nanti. Kalau gitu, Syifa minta tolong ke Kak Ali untuk bilangin ke Umi kalau Umi udah sampe rumah jangan lupa hubungi Syifa, biar Syifa bisa pulang juga.” Syifa menawarkan jalan tengah yang pas untuk keduanya.

Ali yang mendengarkan mengangguk paham. Meskipun ia tak menatap langsung Syifa karena menjaga pandangan.

“Ooh, gitu, ya? Oke. Fii amanillah. Assalamu’alaykum,” balas Ali yang melihat Syifa seperti akan kembali menuju keluar rumah.

Syifa tertawa karena dialognya seperti diambil oleh Ali duluan. Peran mereka jadi terdengar terbalik.

“Wa’alaykumussalam,” ucap Syifa, kemudian keluar dari rumah.

Rasanya lancar sekali bicara dengan Ali, padahal ia ikhwan, dan bukan mahram Syifa. Tapi, Syifa tak merasa ada jarak antara mereka. Ini rekor Syifa berbicara dengan seorang ikhwan sepanjang dan selama ini saat berduaan saja.

“Sha, maaf banget ya ke sini mendadak.”

Syifa memilih ke rumah Sasha. Ia bisa mendiskusikan banyak hal jika bersama sahabatnya itu, sembari menunggu Uminya pulang.

“Iya, nggak apa-apa. Tapi, Bang Angga lagi nggak ada di rumah, nih. Sayang banget, Syif.” Sasha mulai lagi menggoda Syifa.

“Sha, kamu ada-ada aja, deh.”

“Nggak lah, Syif. Aku juga serius, nih. Aku dukung banget loh kalau kamu mau sama abang aku. Secara, kan, kamu ini baik banget, aku udah tahu karakter kamu kayak gimana. Dan aku bakalan senang banget punya ipar sekaligus sahabat kayak kamu.” Lah, dia malah kasih restu, pikir Syifa.

“Haha, kamu bisa aja. Tapi, kayaknya sih abang kamu nggak mau sama yang terlalu muda kayak aku.”

“Emang Bang Angga tua banget, ya? Dia masih umur 21, kok, Syif. Masih tergolong muda. Lagian, nggak sekarang juga nikahnya, Syifa sayang. Sementang kamu mau nikah muda, abis sekolah langsung mau nikah, gitu? Iya kamunya mau. Tapi, apa abi sama umi kamu restu?”

“Hahahaha. Wallahu’alam, Sha.”

Syifa merasa topik itu berbahaya. Ia mengalihkannya. “Mending jangan bahas itu, deh. Ngomongin Bu Akbar, yuk. Kamu kasih kado apa untuk Bu Akbar?” ujarnya.

“Kayaknya sih mau kadoin sepaket seprai. Kalau kamu kadoin apa, Syif?”

“Aku masih belum tau, Sha. Apa ya kado yang kira-kira bakal dibutuhin banget? Kalau ngasihnya sama kayak orang lain yang ngasih, takut nggak kepake dan mubazir. Menurut kamu, gimana, Sha?”

“Apa aja, yang penting niatnya tulus. Kalau nggak nemu yang beda dan dibutuhkan, nggak apa-apa ngasih yang sama. Lagian, kalau kebanyakan, Bu Akbar bisa kasih ke saudaranya yang membutuhkan, mungkin. Bu Akbar nggak mungkin membuat mubadzir barang-barang, apalagi dari pemberian orang.”

“Iya, sih, bener. Beliau yang ngajarin kita juga tentang mubadzir. Kalau gitu, aku juga kadoin yang sama juga kayak kamu, deh.”

“Kalau gitu, beli bareng aja yuk, Syif. Kebetulan aku belum beli, nih.”

“Assalamu'alaykum,” ucap Angga dari pintu rumah. Ia baru pulang, heran dengan sepatu sekolah yang ada di depan rumahnya. Mungkin, teman adiknya sedang berkunjung, pikirnya.

“Wah..., kebetulan banget Bang Angga udah pulang. Kita minta anter abang aja naik mobilnya,” usul Sasha.

“Ee..., tapi, Sha,” cegat Syifa.

“Udah, nggak apa-apa. Motor aku lagi di bengkel juga, Syif. Jadi ini pilihan yang terbaik. Kamu ngikut aja, deh, Syif. Bang Angga juga nggak akan capek cuma gara-gara nganterin kita doang, kamu santai aja.” Sasha ini, tahu saja kalau Syifa sudah khawatir dan tidak enakan duluan.

“Wa'alaykumussalam. Bang, anterin aku sama Syifa dong. Kita mau beli kado untuk guru yang nikahan besok. Sekarang, nih. Abang nggak capek, kan?” Sasha menghampiri sang Abang, menyambutnya.

“Hah? Sama Syifa? Emang ada?” Mendengar nama Syifa, Angga jadi salah fokus.

“Ada, tuh.” Sasha menunjuk ke arah Syifa. Kemudian Syifa menunduk memberi salam pada Angga untuk menyapa.

“Ooh, ya udah, kita berangkat sekarang.”

“Yeay! Makasih ya, Bang.”

“Iya, Sha. Sama-sama. Ayo ke mobil langsung.”

“Syifa, ayo, Syif.”

Sepertinya hari ini hari yang berat buat Syifa. Ia harus menguras energinya lagi untuk berinteraksi dengan seorang ikhwan yang bukan mahramnya. Setelah tadi energinya habis saat berbicara dengan Iqbal, lalu berbicara berduaan dengan Ali, dan sekarang malah di antar oleh Angga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!