IUS BAB 2

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Suara klakson mobil membuat Syifa terhentak dan segera membuka pintu rumahnya. Karena memang dia hanya sendirian di rumah. Umi ikut Abi ke bandara, dan Syifa anak satu satunya. Tebakannya benar, Abi dan Uminya baru pulang. Tapi, ada tambahan orang yang tak dikenalnya juga berada di sana. Mungkin itu adalah orang yang diceritakan Abinya di telepon tadi. Ia tak terlalu menghiraukannya.

"Assalamu'alaykum. Abi sama Umi pulang, nih,” sapa Umi saat berjalan menuju pintu rumah. Sudah terlihat Syifa di depan pintu yang siap menyambut mereka.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Abi, Umi." Syifa pun menyalim keduanya. Lalu menangkupkan kedua tangannya di depan dada pada orang yang tak dikenalnya itu. Lantas di balas pula oleh pria itu.

"Ayo Nak Ali, silakan masuk. Anggap rumah sendiri,” Umi mempersilahkannya karena terlihat Ali segan setelah tiga langkah menginjakkan kaki dari pintu rumah.

Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum dan masuk ke dalam rumah karena tak enak sudah dipersilahkan.

Syifa yang peka akan kedatangan seorang tamu, membuatkan tiga gelas teh untuk orang tuanya dan pria yang bernama Ali itu. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar setelahnya.

"Nak, jangan pergi dulu. Sebentar sini,” tahan umi yang melihat Syifa hendak pamit menuju kamarnya. Syifa menurut, ia duduk di samping Umi.

"Kenalkan, ini Muhammad Ali Akbar." Abi kini yang bicara." Dia ini anak dari sahabat Abi. Sayangnya, sahabat Abi itu sudah dipanggil oleh Allah. Kalau istrinya itu sudah dipanggil duluan sebelum dirinya. Dia ke sini untuk mengurus bisnis Ayahnya. Sekaligus menjadi wali nikah kakaknya. Awalnya kakaknya yang mengurus bisnis di sini, karena akan menikah, jadi Nak Ali lah yang menghandlenya. Betul Nak Ali?" Abi melanjutkan. Saat melemparkan ucapan terakhir ke Ali, pria itu hanya mengangguk menanggapi.

"Dan ini, kenalkan. Ini putri satu-satunya saya. Namanya Assyifa Amalia Rizqi. Panggilannya Syifa. Anak kelas dua belas di SMA negeri dekat sini. Oiya, selain ngurus bisnis Ayah kamu, katanya kakak kamu ngajar juga, ya, Nak Ali?" Lagi-lagi Pria itu hanya mengangguk menanggapi ucapan Abi. Syifa geli sendiri. Walaupun Syifa tak terlalu memperhatikan pria itu, ia cukup bisa melihat perilaku pria itu walau tak menatapnya lama.

"Oiya nak, kamu umurnya berapa?" Kali ini Umi yang bertanya.

"Dua puluh tahun, Umi." Syifa kembali tergeli sendiri, tapi ia menutupinya dengan tangan demi kesopanan. Dia kira, pria itu akan mengangguk kembali. Tapi, dia punya mulut juga ternyata. Dan dia memanggil ibunya dengan sebutan umi juga? Itu terdengar mengambil perhatian Syifa.

"Kok sebutnya Umi, sih? Kenapa nggak tante?" Pertanyaan itu lolos dari mulut mungil Syifa. Dia sendiri tak sadar akan perilaku anehnya itu. Biasanya dia lebih memilih diam dan berkata jika penting karena merupakan kepribadiannya. Tapi entah kenapa pertanyaan itu lolos dan mengundang tatapan dari ketiganya. Namun, tampaknya Pria bernama Ali itu langsung menundukkan kepalanya. Syifa kemudian sadar kalau ini bukan dirinya yang biasa. Ia pun ikut tertunduk karena malu.

"Syifa... Nak Ali ini udah Abi anggap sebagai anak sendiri setelah kamu. Abi yang menyuruhnya untuk memanggil kami seperti kamu memanggil kami. Kamu nggak keberatan, kan?" Pernyataan dan pertanyaan Abinya hanya dibalas dengan gelengan kepala darinya. Lalu Syifa tersenyum dalam tunduk mengingat ia juga melakukan hal yang sama seperti Pria itu lakukan, hanya bedanya ia menggeleng Pria itu mengangguk. Kenapa aktivitas mengangguk dan menggeleng ini tampak menyita perhatian Syifa?

***

Subuh sudah berkumandang sejak tadi. Tadi malam Syifa bangun untuk tahajud kemudian tidur kembali dan kembali bangun ketika adzan subuh berkumandang. Dia sudah berada di sekolah sekarang. Bahkan, dia adalah orang yang pertama datang. Itu merupakan rutinitasnya, mengingat Abinya yang mengantarkannya. Jadi dia tidak dapat meminta untuk mengantarnya ke sekolah agak lebih lambat. Syifa juga paham, walau jarak rumah dan sekolahnya cukup dekat, kantor ayahnya terlampau jauh dari sekolahnya, dan Abi juga harus berangkat ke kantornya pagi-pagi juga.

"Assyifa, Assalamu'alaykum. Kebetulan nih, ketemu kamu di depan kelasku." Sapa orang yang ternyata lebih dulu datang daripada dirinya.

"Eh, iya. Wa'alaikumussalam. Udah lama dateng?"

"Belum, nih. Baru aja, sekitar lima menitan. Aku ada piket musholla hari ini. Makanya lebih awal datengnya."

"Ooh, ya udah aku duluan ya."

"Eh, tunggu Syif. Aku ada informasi buat kamu sampaikan. Kamu kan selaku bagian humas di Rohis, jadi aku mau kamu yang nyampein ke anak Rohis lainnya."

"Emang ada informasi apaan, Bal?" Ya, yang Syifa ajak bicara adalah Iqbal. Sosok yang dia kagumi suara dan pelafalan tajwidnya. Jangan tanya keadaan Syifa sekarang. Dia lebih memilih menunduk meski diajak bicara dan lebih memilih mengakhiri topik pembicaraan untuk menghindari fitnah dan mengontrol diri manakala jantungnya tiba-tiba berdebar. Tapi malah berlanjut dengan tugasnya sebagai bagian humas di Rohis.

"Kamu udah tau kan kalo guru agama sekaligus pembina kita mau nikahan? Besok akad sekaligus resepsinya. Kita satu Rohis diundang. "

"Bu Akbar maksudnya? Kok aku baru tahu? Kok dadakan gitu, ya? Tapi Alhamdulillah, beliau udah nemu pasangan yang terbaiknya."

"Nah, aku pengen kamu sebarin ke anak-anak rohis tentang berita ini. Tolong ya, Syif."

"Oke, itu aja, kan? Kalo gitu aku duluan. Assalamu'alaykum, Bal."

"Iya, wa'alaykumussalam."

Akhirnya pembicaraan selesai. Syifa belum pernah berbicara selama itu dengan Iqbal. Dia senang ternyata Iqbal mengingat dirinya yang bahkan tak pernah sekalipun berbicara berdua saja dengannya. Mungkin pernah bicara, ketika dalam rapat program kerja di rohis dengan kesetujuan seluruh anggota. Tapi itu hanya sebatas kata setuju atau tidak saja dengan topik berkaitan dengan rapat yang berlangsung. Kali ini Syifa merasa berbeda, sedikit merasa senang pagi harinya ia menemui sosok yang tak menyesal ia temui pertama kali di sekolah.

"Woy, Syifa. Pagi-pagi udah ngelamun aja. Ngelamunin apaan, sih? Jangan bilang calon imam." Benar, setelah berbincang dengan Iqbal, Syifa masuk kelas lalu melamunkan perihal bincangan tadi. Juga tentang Bu Akbar yang akan menikah dan kapan dirinya akan menyusul. Kemudian, membayangkan bahwa imamnya nanti adalah Iqbal.

"Astaghfirullah. Makasih ya, Sha udah buyarin lamunan aku."

"Iya, sama-sama. Emang ada apa, sih? Eh, kamu udah tahu belum kalo Bu Akbar mau nikah? Dan akadnya besok. Denger denger, suaminya Akbar juga namanya. Kok bisa kebetulan gitu, ya?"

"Iya, aku udah tahu. Tapi kalo suaminya namanya Akbar juga, aku belum tahu."

"Tahu dari mana, Syif?"

"Iqbal."

"Astaghfirullah, baru aja kita bahas ini semalam, Syif."

"Bukan, Sha. Tadi tuh kebetulan aja aku ketemu Iqbal pas baru dateng ke sekolah. Dia ngasih tahu buat nyampein berita ini ke semua anak rohis kalo kita semua di undang. Dan aku memang bagian humas, dia langsung kasih tahu aja ke aku tadi."

"Syif, maaf ya. Aku jadi suudzhon. Tapi kan Syif, anak Rohis semua udah pada tau kalo Bu Akbar mau nikahan. Semalam jam setengah sebelas dibahas di grup. Aku nanyain ke kamu karena cuma kamu yang biasanya udah tidur di jam segitu. Tentang nama suaminya Akbar juga udah dibahas di grup." Pernyataan Sasha membuat Syifa terkejut. Memang dia tidak becus sebagai bagian humas. Malah Iqbal yang harus mengingatkannya langsung dan dia lagi-lagi disadarkan oleh Sasha karena terjerembab dalam garis start zina. Ia merutuki dirinya sendiri.

"Aduh, aku harus minta maaf nih sama Iqbal. Seharusnya aku tahu berita kayak gini."

"Santai aja, Syif. Bukan masalah besar juga. Lagian berita itu tuh udah kemaleman. Kamu juga nggak biasa buka hp pagi-pagi, kan? Aku tahulah kebiasaan dateng paginya kamu. Tapi, Iqbal kenapa nyampein itu ya ke kamu. Secara kan, anak-anak udah pada tahu. Untuk apa dihumas lagi, coba? Apa jangan-jangan, dia ada rasa, lagi, sama kamu. Dan dia bahas itu untuk bisa sedikit lebih lama ngobrol sama kamu. Ciyee." Pipi Syifa kemudian memerah dan memilih menundukkan kepalanya agar tidak ketahuan Sasha.

"Apa benar Iqbal ada rasa sama aku?" batinnya seketika berbunga-bunga. Sasha memang pandai menggoda.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!