IUS BAB 3

Pagi-pagi tadi, Syifa tak melihat keberadaan Ali saat sarapan. Syifa jadi mengira kalau Ali hanya menumpang untuk tidur saja dan langsung pergi keesokan harinya. Namun, siang ini, setelah pulang sekolah, ia malah melihat sosoknya berada di rumah. Terlihat ia sedang fokus membaca e-book dari ponselnya.

“Assalamu'alaykum, Kak Ali,” Syifa berusaha menyapa saat ia melihat Ali. Sebenarnya, ia sudah mengucapkan salam saat memasuki rumah, tapi tampaknya suaranya terlalu kecil jadi tak terjawab oleh Ali. Makanya, Syifa mengucapkan salamnya lagi. Ia juga tidak melihat Umi di sekitar sini, mungkin Umi sedang pergi, pikir Syifa.

“Wa'alaykumussalam Warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Ali tanpa menatap Syifa.

“Umi ke mana, Kak?” tanya Syifa. Sebenarnya sangat sok akrab tiba-tiba membuat panggilan “Kak” sebelum menyebutkan nama Ali. Tapi, itu lebih baik daripada memanggil namanya langsung, karena Syifa sudah mengetahui kalau Ali lebih tua dari dirinya. Ia juga tidak boleh sembarangan memberi panggilan “Mas”, takutnya itu malah lebih tidak sopan lagi dan sok akrab. Apa ia harusnya memanggil dengan sebutan “Bang” seperti Sasha memanggil kakak laki-lakinya? Tapi, Ali hanya orang asing, bukan saudara kandung Syifa. Abi dan Uminya memang menganggap Ali sebagai anak sendiri, tapi mana mungkin Syifa juga menganggap Ali sebagai saudara sendiri.

“Iya, Umi lagi pergi. Saya di minta untuk jaga rumah. Makanya saya datang ke sini.”Ali menjawab, tapi tak sekalipun melihat Syifa yang sudah berubah ekspresinya.

“Gawat, berarti aku sama Kak Ali Cuma berdua aja di rumah? Astaghfirullah,” batin Syifa seketika langsung resah.

“Um..., terimakasih Kak Ali udah mau ke sini. Sekarang, karena Syifa udah pulang, Kak Ali bisa tinggalin rumah, kok. Nanti Syifa sampein ke Umi.” Syifa berucap sesopan mungkin. Apa mengusir seperti ini termasuk sopan?

“Saya juga maunya begitu. Tapi, saya diamanahkan untuk menjaga rumah sampai Umi pulang. Jadi, nggak bisa seenaknya ditinggalkan,” tolak Ali dengan dasar amanah.

“Nanti Syifa juga yang hubungin Umi. Kak Ali nggak apa-apa, kok, kalau mau pulang,”Syifa mencoba lagi. Ia ingin sekali mengatakan alasan sebenarnya, tapi ia segan. Ali lebih tahu mana yang baik atau buruk. Ia tahu dari Uminya kalau Ali sekolah di pondok sejak SMP, Ali juga mengambil jurusan pendidikan agama Islam di kampusnya. Jika niat awalnya adalah menjaga rumah karena amanah, Ali pasti hanya melakukan itu. Ia tidak akan berpikir macam-macam. Atau risih jika berduaan dengan Syifa. Selama keduanya pandai menjaga diri dan menempatkan diri, tidak perlu ada yang harus di khawatirkan.

“Kalau gitu, coba hubungi Umi. Apa tersambung?” Ali agak mengalah. Tapi ia yakin Umi tak akan menerima ponselnya. Ali berasumsi, karena Umi buru-buru tanpa membawa tas perginya, bisa saja ponsel Umi juga tidak di bawa.

Syifa langsung menghubungi Umi. Beberapa kali ia coba, ia tak mendapatkan jawaban. Ali benar ternyata.

Ali yang melihat aktivitas Syifa jadi merasa risih jika berduaan dengan Syifa. Lebih tepatnya, ia takut membuat Syifa tidak nyaman karena keberadaannya. Di sisi lain, Ali juga terikat dengan amanah.

“Ya udah, nggak ada pilihan lain selain jaga rumah sampai Umi pulang. Kalau kamu ragu saya ada di sini, kalau gitu biar saya menunggu di luar. Saya juga nggak terlalu suka terjebak dalam situasi ini,” usul Ali. Ia menyimpan ponselnya, kemudian segera bergegas menuju keluar.

“Kak Ali... Um..., jangan, deh, Kak. Syifa aja yang keluar. Syifa mau main ke rumah teman aja, deh. Lagian, kalau Umi udah ngomong begitu, berarti amanah. Umi juga nggak biasanya nyuruh orang untuk jaga rumah, mungkin ada yang mau Umi sampein ke Kak Ali waktu Umi pulang nanti. Kalau gitu, Syifa minta tolong ke Kak Ali untuk bilangin ke Umi kalau Umi udah sampe rumah jangan lupa hubungi Syifa, biar Syifa bisa pulang juga.” Syifa menawarkan jalan tengah yang pas untuk keduanya.

Ali yang mendengarkan mengangguk paham. Meskipun ia tak menatap langsung Syifa karena menjaga pandangan.

“Ooh, gitu, ya? Oke. Fii amanillah. Assalamu’alaykum,” balas Ali yang melihat Syifa seperti akan kembali menuju keluar rumah.

Syifa tertawa karena dialognya seperti diambil oleh Ali duluan. Peran mereka jadi terdengar terbalik.

“Wa’alaykumussalam,” ucap Syifa, kemudian keluar dari rumah.

Rasanya lancar sekali bicara dengan Ali, padahal ia ikhwan, dan bukan mahram Syifa. Tapi, Syifa tak merasa ada jarak antara mereka. Ini rekor Syifa berbicara dengan seorang ikhwan sepanjang dan selama ini saat berduaan saja.

“Sha, maaf banget ya ke sini mendadak.”

Syifa memilih ke rumah Sasha. Ia bisa mendiskusikan banyak hal jika bersama sahabatnya itu, sembari menunggu Uminya pulang.

“Iya, nggak apa-apa. Tapi, Bang Angga lagi nggak ada di rumah, nih. Sayang banget, Syif.” Sasha mulai lagi menggoda Syifa.

“Sha, kamu ada-ada aja, deh.”

“Nggak lah, Syif. Aku juga serius, nih. Aku dukung banget loh kalau kamu mau sama abang aku. Secara, kan, kamu ini baik banget, aku udah tahu karakter kamu kayak gimana. Dan aku bakalan senang banget punya ipar sekaligus sahabat kayak kamu.” Lah, dia malah kasih restu, pikir Syifa.

“Haha, kamu bisa aja. Tapi, kayaknya sih abang kamu nggak mau sama yang terlalu muda kayak aku.”

“Emang Bang Angga tua banget, ya? Dia masih umur 21, kok, Syif. Masih tergolong muda. Lagian, nggak sekarang juga nikahnya, Syifa sayang. Sementang kamu mau nikah muda, abis sekolah langsung mau nikah, gitu? Iya kamunya mau. Tapi, apa abi sama umi kamu restu?”

“Hahahaha. Wallahu’alam, Sha.”

Syifa merasa topik itu berbahaya. Ia mengalihkannya. “Mending jangan bahas itu, deh. Ngomongin Bu Akbar, yuk. Kamu kasih kado apa untuk Bu Akbar?” ujarnya.

“Kayaknya sih mau kadoin sepaket seprai. Kalau kamu kadoin apa, Syif?”

“Aku masih belum tau, Sha. Apa ya kado yang kira-kira bakal dibutuhin banget? Kalau ngasihnya sama kayak orang lain yang ngasih, takut nggak kepake dan mubazir. Menurut kamu, gimana, Sha?”

“Apa aja, yang penting niatnya tulus. Kalau nggak nemu yang beda dan dibutuhkan, nggak apa-apa ngasih yang sama. Lagian, kalau kebanyakan, Bu Akbar bisa kasih ke saudaranya yang membutuhkan, mungkin. Bu Akbar nggak mungkin membuat mubadzir barang-barang, apalagi dari pemberian orang.”

“Iya, sih, bener. Beliau yang ngajarin kita juga tentang mubadzir. Kalau gitu, aku juga kadoin yang sama juga kayak kamu, deh.”

“Kalau gitu, beli bareng aja yuk, Syif. Kebetulan aku belum beli, nih.”

“Assalamu'alaykum,” ucap Angga dari pintu rumah. Ia baru pulang, heran dengan sepatu sekolah yang ada di depan rumahnya. Mungkin, teman adiknya sedang berkunjung, pikirnya.

“Wah..., kebetulan banget Bang Angga udah pulang. Kita minta anter abang aja naik mobilnya,” usul Sasha.

“Ee..., tapi, Sha,” cegat Syifa.

“Udah, nggak apa-apa. Motor aku lagi di bengkel juga, Syif. Jadi ini pilihan yang terbaik. Kamu ngikut aja, deh, Syif. Bang Angga juga nggak akan capek cuma gara-gara nganterin kita doang, kamu santai aja.” Sasha ini, tahu saja kalau Syifa sudah khawatir dan tidak enakan duluan.

“Wa'alaykumussalam. Bang, anterin aku sama Syifa dong. Kita mau beli kado untuk guru yang nikahan besok. Sekarang, nih. Abang nggak capek, kan?” Sasha menghampiri sang Abang, menyambutnya.

“Hah? Sama Syifa? Emang ada?” Mendengar nama Syifa, Angga jadi salah fokus.

“Ada, tuh.” Sasha menunjuk ke arah Syifa. Kemudian Syifa menunduk memberi salam pada Angga untuk menyapa.

“Ooh, ya udah, kita berangkat sekarang.”

“Yeay! Makasih ya, Bang.”

“Iya, Sha. Sama-sama. Ayo ke mobil langsung.”

“Syifa, ayo, Syif.”

Sepertinya hari ini hari yang berat buat Syifa. Ia harus menguras energinya lagi untuk berinteraksi dengan seorang ikhwan yang bukan mahramnya. Setelah tadi energinya habis saat berbicara dengan Iqbal, lalu berbicara berduaan dengan Ali, dan sekarang malah di antar oleh Angga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!