Tak lama Syifa menunggu, Abinya pulang sebelum Ashar. Bertepatan di waktu Ashar, Abi mengajak Ali untuk shalat terlebih dahulu ke masjid yang dekat dengan rumah. Setelahnya, baru mereka akan bicara lagi.
“Umi, emangnya apa yang mau kita omongin, sih? Ifa penasaran, deh.”
“Tunggu aja,” jawab Umi lembut.
“Oke, Umi,” balas Syifa lembut pula.
Syifa sempat melihat Ali berpakaian biasa saja saat di rumah tadi. Namun, saat ingin pergi ke masjid, rupanya sang Abi meminjamkan sarung dan baju koko miliknya. Atau mungkin itu perlengkapan shalat yang Syifa tak tahu telah dipersiapkan oleh Ali yang di bawa di dalam tas. Intinya, saat melihat perubahan dengan cara berpakaian Ali, Syifa dibuat pangling, bersamaan juga terlihat terpesona.
Selama ini ia biasa saja saat Abinya mengenakan setelan itu saat hendak pergi shalat ke masjid. Namun, melihat lelaki lain yang bersetelan seperti Abinya itu membuat mata Syifa tampak takjub melihatnya. Sosok Ali terlihat begitu damai dipandang, meskipun Syifa hanya melihat wajah Ali sekilas karena terbiasa menjaga pandangannya. Meski sekilas, sosok Ali bahkan terekam jelas di pikiran Syifa saat mengenakan setelan yang mendamaikan itu. Syifa segera beristighfar. Tak ia sangka, melihat seorang ikhwan bisa membuatnya kepikiran terus seperti ini. Meskipun ia juga sering seperti ini dan beristighfar lagi saat modus beritikaf di mushola itu ia lakukan hanya untuk mendengar kidungan merdu sang ketua rohisnya itu. Syifa menyadari, apa ia begitu lemah sekarang terhadap seorang lelaki selain abinya? Apa ini disebabkan oleh Syifa yang selalu memupuk dosa karena mengagumi seorang lelaki dalam diam?
“Nak Ali tampan, ya?” ucap Umi tiba-tiba saat Syifa dan Umi melihat kepergianmu dua pria itu sambil duduk di sofa ruang keluarga.
“Astaghfirullah, Umi. Syifa nggak lihatin lama-lama, kok. Syifa Cuma lihat sekilas. Habisnya, Ifa nggak bisa ngelak juga buat lihat, wong, Kak Ali perginya bebarengan sama Abi. Ini serius, Mi, Ifa nggak lagi ngeles,” balas Syifa cepat dan kelihatan panik saat ia sadar ucapan sang Umi terdengar memiliki makna teguran di dalamnya.
“Hahaha. Kenapa kamu panik? Umi tahu, kok, kalau anak umi ini sangat pandai menjaga pandangan. Umi tadi beneran nanya pendapat kamu, Syifa. Menurut kamu, Nak Ali itu tampan juga, nggak?”
“Umm..., Umi serius cuma mau tanya itu? Kenapa nanya ke Syifa, Mi? Pendapat Syifa ngaruh, kah?”
“Iya, ngaruh. Lagian, kita nggak pernah membahas laki-laki selain Abi, kan? Sesekali Umi mau membahas hal-hal yang biasa dibahas sama ibu dan anak. Umi denger, temen-temen Umi sering banget bahas soal laki-laki sama anak perempuannya. Mau berasa lebih dekat gitu ke kamu.”
“Kayak ngobrol sama temen, gitu, ya, Mi?”
“Iya. Kamu mau, kan, ngobrol sama Umi kayak ngobrol sama temen? Umi tahu, kok, kalau kamu ngerti batasan kalau ngomong sama orang tua. Jadi, gimana menurut kamu Nak Ali itu, Syifa?”
Syifa bingung menjawabnya. Jika ia menjabarkan dengan objektif, bisa saja pendapatnya terdengar subjektif di telinga Uminya, dan malah salah paham.
“Kalau Umi nanya soal tampan, mungkin Syifa bisa bilang kalau Kak Ali tampan. Meski Cuma sekilas melihat wajahnya, aura tampannya udah terpancar, gitu,” ucap Syifa hati-hati.
“Bener, kan? Hahahaha. Umi kira Cuma Umi doang yang mikir kayak gitu.”
Umi terbahak-bahak. Sedangkan Syifa hanya menyengir mengikuti. Apa ini sudah seperti bicara dengan sesama teman? Pasalnya, obrolannya hanya sampai di situ. Lagian, Uminya untuk apa repot-repot bertanya itu, hanya soal ketampanan Ali. Syifa tak habis pikir.
“Hah? Jadi, Bu Akbar dan Kak Ali itu sebenarnya kakak beradik?” Terlihat keterkejutan di wajah Syifa saat sang Abi memulai ceritanya. Pantas saja Ali tak langsung pulang saat Umi sudah pulang, apalagi saat Syifa pulang ia malah di suruh untuk menunggu Abinya pulang karena hal penting ini ingin dibicarakan.
“Duh, Syifa, kamu lupa harus jaga sikap? Ini kenapa terkejutnya kelihatan banget, sih? Lagi-lagi nggak bisa mengontrol diri sebagai perempuan,” batin Syifa langsung menunduk karena malu dan sadar akan sikapnya tadi.
Abi dan Umi terlihat menahan tawa karena kelakuan putrinya. Syifa tertunduk malu seraya berpikir, ia memang seperti tak asing saat mendengar nama lengkap Ali yang ada kata Akbar di sana. Kalau tidak dikatakan soal Ali dan gurunya itu kakak beradik, bisa saja ia berpikir bahwa Bu Akbar akan menikah dengan Ali. Sebab yang ia dengar, nama suami sang guru juga Akbar. Untung Syifa tak terlanjur berpikir begitu dan keceplosan mengungkapkan pikirannya itu.
“Saya juga akan menggantikan Kakak saya sebagai pengajar selama satu bulan di sekolah kamu. Jadi, saya berharap kamu bisa menyimpan rahasia. Dan tidak menunjukkan wajah terkejut kamu lagi seperti yang barusan,” ujar Ali datar. Syifa juga tak bisa melihat wajah seperti apa yang dibuat Ali saat berkata tadi.
“Umi, Syifa udah manggil beliau dengan sapaan Kak Ali. Lah, berarti harus diganti jadi Pak Ali, dong,” bisik Alya pada Umi di sampingnya.
“Iya, kamu bebas memanggil apa. Tapi, saya mau kamu memanggil saya seperti murid lain juga memanggil saya saat di sekolah. Kalau lagi nggak di sekolah, atau konteks profesionalitas saya sebagai guru, kamu bisa memanggil dengan sapaan apapun yang kamu suka.”
“Hahahaha, Nak Ali dengar ternyata. Makin malu nih anak Umi satu ini. Hahahaha,” Umi menanggapi. Dan benar, seketika pipi Syifa langsung merona karena malu.
Abi yang ikut tertawa menimpali, “Kamu memangnya suka di panggil Pak? Padahal umur kamu nggak tua-tua banget. Nggak mau dipanggil Mas sama Syifa? Hahahaha.”
“Abi..., ih, astaghfirullah..., Nanti Kak Ali makin risih lho, Bi,” malah Syifa yang menjawab.
“Lha, nggak apa-apa, dong. Itung-itung, latihan biar lancar manggilnya waktu udah sah nanti.”
“Stt..., udah Abi...,” tegur Umi.
“Hah? Latihan apa, Bi? Biar lancar gimana maksudnya?”
“Ooh, itu, lho, Fa. Maksud Abi nggak gimana-mana. Abi ngomong ngasal aja, kok. Cuma mau bercanda doang. Nggak lucu, ya? Hahaha. Padahal tadi Abi ngiranya kamu atau Nak Ali bakalan ketawa. Hahaha,” jawab Abi cepat untuk meluruskan. Syifa agak ragu dengan jawaban Abinya yang terkesan menutup-nutupi kebenaran. Tampak dari cara tertawa Abinya yang kali ini terdengar tidak senatural sebelumnya.
Syifa memberanikan diri untuk melirik Ali, berharap ada jawaban lain saat melihat ekspresinya. Sebab, ia melihat wajah sang Umi sengaja di buat tak bisa ditebak agar Syifa tak menemukan maksud sebenarnya dari perkataan Abi.
Ia terkejut, lagi. Karena saat melirik ke Ali, ia melihat Ali merona dan terlihat menundukkan kepalanya lebih dalam dari biasa yang ia lihat. Sama saat Syifa menunduk malu tadi cara menundukkan kepalanya. Syifa berpikir, apa Ali sekarang merona pipinya karena malu juga?
“Kak Ali emangnya nggak apa-apa kalau Syifa ganti panggilan Kak Ali sebelumya menjadi Mas Ali?” tanya Syifa langsung tanpa ragu karena penasaran dengan kebenaran yang terlihat disembunyikan. Sekaligus mencari jawaban langsung ke Ali yang tampak bereaksi lain. Mumpung di sini, ada Abi dan Uminya. Jadi, meskipun obrolan ini dilontarkan kan ke Ali, setidaknya tidak akan ada fitnah jika ini diteruskan dan menjadi obrolan mereka berdua, karena di dalam ruangan terdapat Abi dan Uminya juga.
Syifa tidak mendapat jawaban. Tapi tatapan keanehan yang secara kompak ditujukan ke Syifa oleh Abi, Umi, dan Ali. Mereka menatap Syifa penuh keheranan. Sebab, yang diucapkan Syifa sangat mudah disalah artikan.
“Mas Ali?” tanya Ali seperti mengeja. Syifa sengaja menahan raut wajah terkejutnya. Ia pikir, Ali tak akan menjawab. Namun, ini malah menjauhi ekspektasi Syifa, dan lebih membuat Syifa shock adalah cara Ali mengejanya sungguh kelihatan imut, pikir Syifa.
“Iya, dipanggil kayak gitu. Boleh?”
“Boleh. Tapi nggak sekarang, ya, Ifa. Kamu naik aja dulu. Mau nimbrung di grup soal pernikahan Bu Akbar, kan? Kamu lupa kalau kamu ketua humas?” Umi tampak sengaja memotong pembicaraan.
“Astaghfirullah..., iya, Umi. Makasih banyak udah ingetin Ifa. Kalau gitu, Ifa izin ke kamar dulu.”
“Iya, silahkan. Nanti sisa obrolannya Umi yang ngomong ke kamu.”
“Lho, emangnya ada lagi yang mau diobrolin?”
“Iya, ada. Udah sana kamu masuk ke kamar. Nggak usah tergesa-gesa mau denger. Nanti pasti Umi bilang, kok.”
“Ya udah kalau gitu. Izin, Bi, Mi, Kak Ali. Syifa masuk kamar dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa'alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” ucap tiga orang itu serempak.
Syifa yang berjalan menuju ke kamarnya menjadi sangat penasaran. Peristiwa tadi juga tampak ada yang mengganjal. Sayangnya ia harus mengutamakan tugasnya dulu sebagai ketua humas rohis sekolahnya. Karena besok acara sang pembina rohis—Bu Akbar, pasti akan ada banyak hal yang harus dibahas di grup mereka. Sebagai ketua humas, ia tak ingin ketinggalan informasi karena ia yang harus menjadi orang pertama yang mendapatkan informasi. Meski ia juga bukan orang yang pertama tahu bahwa Bu Akbar akan menikah. Karena itu, ia tak ingin membuat kesalahan seperti itu lagi, mendapatkan informasi bisa telat satu hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments