5. Why Is He Again?

Aku duduk di sebuah kursi dalam ruangan. Di depanku berdiri tiga orang yang sibuk menata ini dan itu. Setelah selesai, mereka lalu memanduku untuk berdiri. Aku melihat kearah cermin tempat aku berdiri. Di pantulan cermin itu, memperlihatkan sosok ku dalam balutan gaun putih lengkap dengan hiasan kepala.

Dalam sekejap mata, aku berpindah tempat. Kali ini aku duduk di sebuah kursi pasangan di atas panggung. Kulirik kiri dan kanan. Ada sebuah papan nama yang dihiasi dengan sangat cantik bertuliskan Selamat Menikah Ochia&Friski.

Astaga! Aku langsung menoleh ke samping kiri ku. Kulihat berdiri seorang pemuda dalam pakaian tuksedo putih. Penampilannya sangat menyilaukan. Kuperhatikan lebih teliti, dia orang yang aku kenal. Dia si senior menyebalkan, Friski.

Oh My God!! Apaan semua ini. Aku menikah dengan si senior menyebalkan? Ngga mungkin. Pasti salah. Kemarin aku baru saja memulai kehidupan pertama di sekolah. Aku baru akan memulai kehidupan remaja bahagiaku. Masa sekarang udah nikah.

Senior menyebalkan itu menatap kearahku sambil tersenyum manis. Dia perlahan mendekati wajahku dan kemudian dia...

"Uaghh!!!.." Aku menjerit sekuat tenaga.

Kurasakan sebuah tepukan di pundakku dengan suara samar.

"Ochia! Ochia! Kamu kenapa?" suara itu semakin jelas.

Tanpa aba-aba aku langsung membuka mataku. Kulihat ada Chika yang berdiri di samping kasurku dengan wajah khawatir.

"Kamu kenapa? Ada apa? Mimpi burukkah?" tanya Chika khawatir. Dia memberikan aku air putih dingin.

Aku meminum air itu dengan rakus. Setelah habis aku mulai merasa tenang. Syukurlah hanya mimpi. Aku merasa sangat lega.

Kulihat Chika masih mengkhawatirkan ku. Aku mencoba tersenyum sebisaku, " Maaf mengejutkan kamu. Tadi aku mimpi buruk. Mimpinya sangat menakutkan." kataku mengingat mimpi tadi.

"Ahh. Kamu tenangin diri dulu aja. Itu cuma mimpi. Jangan dianggap serius oke." kata Chika.

"Iyaa. Maaf membuat kamu kaget." kataku merasa bersalah.

"Ngga apa-apa Ochia. Itukan gunanya kita satu kamar. Jadi kalau ada apa-apa bisa saling berbagi." balas Chika.

"Emang kamu mimpi apa? Mau cerita?" tanya Chika.

"Eh? Bukan apa-apa sih. Cuman mimpi ditangkap ular." jawabku.

"Oh begitu.. Emang menakutkan sih. Tapi kamu tenang aja. Itu cuman mimpi. Bukan kenyataan." balas Chika.

"Iya"

Syukurlah aku berhasil membuat alasan. Mana mungkin aku menceritakan apa yang aku impikan tadi. Yang ada Chika semakin mendukung aku dengan senior menyebalkan itu. No Way!.

......................

Sore hari setelah pelajaran usai, aku merapikan buku dan peralatan tulis milikku. Aku segera bersiap untuk berganti seragam. Hari ini adalah pertemuan pertama anggota klub basket untuk yang pertama kali sejak ajaran baru dimulai.

Aku masih ingat. Dulu saat aku smp, aku menonton anime yang menceritakan tentang seorang pemain basket. Sejak saat itu aku suka basket dan ingin menjadi pemain basket yang hebat sama sepertinya. Tapi sayangnya di Junior High School ku yang dulu tidak ada klub basket. Bersyukur di sekolah ini ada klub basket.

Aku mengganti seragam sekolah dengan baju olahraga yang baru. Setelah itu langsung menuju ke ruang olahraga. Sampai di dalam ruangan, aku melihat-lihat sekeliling. Hanya enam siswa yang memakai seragam kelas 10, sisanya kakak kelas. Segera aku ikut berbaris bersama siswa kelas 10 yang lain.

Dua orang pelatih tim basket datang, diikuti masing-masing kapten dibelakangnya.

Seorang guru laki-laki maju ke depan, "Baiklah semuanya, kita mulai dengan perkenalan. Aku, James Robertson, bisa dipanggil pak Robert. Aku mengajar kelas olahraga. Beberapa siswa kelas 10 mungkin sudah ada yang kenal, tapi juga ada yang belum. Tapi kalian tenang saja. Kita bisa saling mengenal pelan-pelan." ucap guru itu lalu kembali ke belakang.

"Aku pelatih tim basket perempuan, namaku Adellide Nathani, kalian bisa memanggilku coach Adel atau bu Adel. Aku mengajar bimbingan konserling. "

Yang selanjutnya maju adalah seorang senior dengan seragam kelas 12. Dia juga memperkenalkan diri, "Aku kapten tim basket perempuan, Karen Gradita, dari kelas 12-5."

Saat kapten tim basket laki-laki maju dan memperkenalkan diri, suasana menjadi ricuh dengan sorakan antusias para anggota perempuan. Aku memperhatikan kapten itu dengan teliti, seperti kenal. Aku mulai merasakan firasat buruk.

Setelah dia bersuara aku menjadi sangat yakin, "Aku kapten tim laki-laki, Friski Adrian, 11-1."

Oh My God! Sebenarnya dosa apa yang telah aku lakukan. Kenapa dia lagi? Semoga dia tidak melihatku. Dia tidak melihatku. Tidak melihatku. Aku bergumam tak henti-hentinya.

Saat aku melihatnya untuk memastikan. Sungguh sial, dia menemukanku. Mata tapi bertatapan dan dapat kulihat seringai di wajahnya. Aku bergidik ngeri melihat seringai itu. Niat jahat apalagi yang dia pikirkan. Naluriku mengatakan aku harus pergi untuk menghindari orang itu, tapi aku tak bisa melepaskan Basket yang aku impikan.

Acara perkenalan itu berlalu dengan cepat. Para pelatih dan ketua mulai melakukan seleksi untuk anggota inti. Kami bergantian melakukan cek berat, tinggi, ketangkasan dan kelincahan. Hasil pemilihan pemain inti akan diumumkan di pertemuan berikutnya.

Setelah acara pengecekan selesai, laki-laki dan perempuan menuju ke lapangan basket secara terpisah tapi masih dalam satu gedung.

Latihan pertama dimulai dengan 1 lawan 1 tim inti sekolah lama dengan tim campuran siswa baru. Aku menjadi bagian penyerang. Aku berusaha semampuku. Kapten menyuruhku berpasangan dengan salah satu siswi kelas 10. Sungguh luar biasa kami berdua cocok.

Satu jam kemudian latihan selesai. Tim inti menang 45-10, mengalahkan tim campuran. Tim inti memang benar-benar hebat.

Setelah penutupan dan seluruh anggota membubarkan diri, Aku mendekati partnerku sebelumnya dan berkenalan. Namanya Nana, dari kelas 10-5. Semoga kami terpilih menjadi pemain inti.

Setelah berkenalan Aku dan Nana berpisah. Belum ada lima langkah aku bergerak, sebuah bola basket dilempar kearahku. Tanpa melihat aku bisa menebak itu siapa. Hanya senior menyebalkan itu yang tega melakukan ini padaku.

Aku berhenti, tidak bergerak ataupun menoleh. Kudengar ada suara hentakan kaki mendekat kearahku. Sungguh sial, pikirku.

"Hey chibi. Ngapain di sini? Kau mau ikut klub basket? Apa kau sanggup" kata senior itu berdiri di depanku.

Harus aku akui, senior menyebalkan itu memang sangat tinggi dan lebih tua dariku. Tapi aku ngga sependek maupun sekecil itu sampai dipanggil chibi.

"Kenapa diam saja?"

"Ngga terima dipanggil chibi. Sadar diri dong, kau itu memang chibi. Ngga usah marah dan terima saja. Pfftt.." katanya sambil tertawa.

Dia bisa membaca pikiranku? Sabar, sabar. Jangan marah. Anggap aja angin lalu, batinku menenangkan diri.

"Kau tuli ya? Apa bisu? Kalau diajak ngomong tuh dijawab bukannya diem."

"Kenapa, takut?" tanyanya.

"Ada perlu apa ya sampai senior mencegatku begini?" balasku pada akhirnya.

"Lah bisa ngomong ternyata. Kirain bisu, hahaha."

Aku hanya diam. Malas mau menanggapi.

"Jawab dong kalau ditanya!" katanya galak.

"Ja-jawab apa? Tadi nanya apa?" balasku sedikit takut.

"Astaga nih chibi bener-bener ya. Tadi aku nanya, ngapain di sini, mau ikut klub basket?" kata senior itu sambil memutar bola mata.

"A-aku punya nama! Dan ya, aku di sini ikut klub basket, memang mau apa lagi" kataku mencoba galak.

"Hoo~ punya nama~ tapi aku ngga nanya tuh." balas senior itu mencibirku.

"Tapi kau tuh terlalu kecil buat ikut tim basket. Udah pulang aja sana. Ngga bakal diterima juga." katanya meremehkanku.

Astaga naga. Ini orang bener-bener nyebelin banget. Sebenernya maunya apa sih. Tiba-tiba ngehadang, nanyain ini itu, terus tiba-tiba nyuruh pergi dari sini sambil ngeremehin. Engga jelas banget.

Aku kembali diam tak bersuara. Sejujurnya aku sangat lelah. Aku belum sempat minum air setelah latihan. Dan sekarang harus meladeni kerandoman senior menyebalkan satu ini. Bisa-bisa aku pingsan.

Senior itu menatapku tajam sebelum mengeluarkan suara, "Haus? Mau minum?" katanya.

Mau lah. Mau banget. Apalagi kalau kakak yang ngambilin di kafe depan sekolah sekaligus membayarnya. Jus coklat kayaknya enak deh. Ditambah taburan springkles plus es yang banyak. Tapi aku ngga bisa ngomong gitu. Bisa-bisa aku disuruh minum air selokan kalau ngomong kaya gitu.

Dia tiba-tiba mengeluarkan botol minum dari dalam tas miliknya. Waah air dalam botol itu kelihatan segar banget. Jernih dan dingin. Aku menahan diri agar tidak meneteskan air liur.

Jika minuman itu diberikan kepadaku, aku jamin aku bakalan maafin semua perlakuan senior menyebalkan hari ini dan kemarin. Jadi kumohon berikan padaku, batinku meronta .

Namun sungguh. Pemuda satu ini mungkin titisan iblis yang dikirimkan untuk menyiksaku. Bukanya memberikan padaku yang lemah dan letih, dia malah meminum sendiri air segar itu.

Melihat air itu masuk ke tenggorokannya, membuat darahku mendidih. Ingin rasanya kucekik leher putih itu untuk melampiaskan kemarahanku. Namun sekali lagi aku menahannya. Aku hanya menatap ngeri senior menyebalkan itu.

Selesai meminum air, dia kembali menyeringai padaku, "Mau~?" katanya sambil mengayun-ayunkan botol itu di depanku.

"Engga udah deh, makasih" kataku menolak.

"Beneran engga mau? Yaudah aku abisin." katanya sambil mendekatkan botol itu ke bibirnya.

Haruskah aku menurunkan harga diriku. Aku sangat haus. Aku ingin minum walau hanya satu teguk.

Botol itu hampir mengenai bibirnya. Aku tak sanggup. Akhirnya aku memegang lengan bajunya, "Bo-boleh minta?"

Aku kaget. Apa kalimat itu sungguh keluar dari mulut milikku? Sungguh? Astaga.

Senior menyebalkan itu tersenyum manis lalu menyerahkan botol itu padaku. Akhirnya, aku bisa minum, pikirku. Namun, belum sempat aku meraih, botol itu diangkatnya tinggi-tinggi.

"Kalau mau ambil!" kata senior itu sambil terus mengangkat botol tinggi-tinggi.

Aku melompat mencoba meraih botol.

"Kenapa engga bisa ambil? Makanya tumbuh tuh ke atas. Jangan bertenti di bawah." katanya mengejekku.

Aku masih melompat mencoba mengambil botol. Namun tanpa sengaja tubuh kami bersentuhan. Sungguh memalukan. Aku pun segera berhenti.

Senior itu juga berhenti mengangkat botol. Secepat kilat aku mengambil botol itu dan menghabiskan isi di dalamnya. Glug glug glug. Huaa lega rasanya.

Tok tok tok!.

"Kalian sudah selesai? Aku mau mengunci pintu."

Aku menoleh. Kulihat ada security mengetuk jendela kaca dengan membawa kunci.

"Kami segera keluar pak. Tinggalkan saja kuncinya di sana. Nanti saya bawakan ke kantor guru." jawab senior menyebalkan itu dengan ramah.

Security itu meletakkan kunci di pintu dan melanjutkan patroli. Dia terlalu mempercayai senior menyebalkan di depanku ini.

Tanpa aba-aba, senior menyebalkan itu mengelus rambutku, "Sudah terlalu larut Chibi. Kita harus segera pulang. Sampai bertemu besok." katanya sambil menjauh dariku.

Aku masih membeku. Berani sekali dia menyentuh rambut berhargaku. Hanya aku dan orangtuaku yang boleh menyentuhnya.

"Hei cepat keluar! Mau tinggal di sini? " suara senior itu menggema di ruangan.

Aku berjalan cepat keluar ruangan. Sampai di depan senior itu aku berhenti. Dia menatapku heran. Tanpa ba bi bu kulemparkan botol bekas itu ke wajahnya lalu berlari meninggalkan.

Sampai di depan gedung asrama aku berhenti untuk mengatur nafasku. Aku melihat kebelakang dan tak ada satupun siswa yang berjalan ke arahku. Aku lalu masuk ke dalam.

Sampai di kamar, aku melihat Chika yang sedang fokus belajar. Menyadari kedatanganku, dia menoleh kearahku lalu bertanya, "Dari mana saja. Sekolah berakhir setengah jam yang lalu."

"Aku bertemu ular di jalan. Untung saja aku bisa melepaskan diri." kataku asal.

"Benarkah? Ada ular di sekolah kita? Kita harus selalu berhati-hati." kata Chika sedikit takut.

"Ya begitulah." balasku.

"....."

"Jadi bagaimana hari pertamamu di klub basket sekolah?" tanya Chika penasaran.

"Nanti deh aku ceritain. Aku mau mandi dulu"

"Oke"

Aku langsung menuju ke kamar mandi dan memulai ritual malam ku.

......................

Selesai mandi dan berganti pakaian, Chika mendekatiku dan kembali bertanya.

"Bagaimana hari ini?" tanyanya.

"Yaa. Cukup menyenangkan. Tadi kami latihan melawan tim inti sekolah. Mereka sungguh luar biasa. Kami kalah 45-10 dari mereka." kataku.

"Kamu ikut main? Di bagian apa?" Chika kembali bertanya.

"Ikut. Aku menjadi penyerang. Dan tadi aku berhasil mencetak angka lho." jawabku bangga.

"Wah. Hebat dong. Coba tadi aku lihat kamu main." kata Chika.

"Kapan-kapan aja, kalau aku main lagi kamu nonton." balasku.

"Tentu. Emm ada senior cowok yang keren engga?"

Aku menatap bosan ke arah Chika. Sekelebat bayangan muncul di kepalaku. Saat aku istirahat di babak kedua, tak sengaja aku ikut menyaksikan pertandingan tim laki-laki. Pandanganku tertuju pada senior menyebalkan itu. Cara dia memimpin, mendrible, mengoper, merebut bola dan menembak sungguh berbeda level.

Kemampuan miliknya di atas rata-rata anak High School. Membuat iri sekaligus kagum di saat bersamaan.

Aku mencoba melupakannya, "Ada banyak. Kalau mau tau, datang saja." kataku.

"Aku jadi penasaran." balas Chika.

"Kamu sendiri, bagaimana denganmu?" tanyaku.

"Aku? Umm.. Klub Cheerleaders sekolah kita sungguh hebat. Aku berlatih sangat keras untuk satu gerakan. Pelatih kami juga cukup tegas. Tapi beruntung teman-temannya menyenangkan. Tidak sia-sia aku memilih klub Cheerleaders." jawab Chika antusias.

"Syukurlah. Aku sempat ingin berhenti dari klub tadi." kataku dengan suara pelan.

"Apa? Kamu ngomong apa Ochia? Aku engga dengar." tanya Chika memastikan.

"Bukan apa-apa. Kamu engga tidur? Besok masih sekolah." kataku mengelak.

"Bentar dong. Aku masih chattingan sama gebetan aku, hehe." balas Chika.

"Kamu punya gebetan? Yang mana?" tanyaku penasaran.

"Ada deh. Mau tau aja, atau mau tau banget~" jawab Chika menggodaku.

"Kasih tau dong~"

"Hehe. Dia murid kelas 11, namanya Adinata. Kami baru kenal sore tadi, saat aku nungguin kamu pulang." kata Chika menjelaskan.

"Adinata? Kaya pernah dengar namanya." Aku mencoba mengingat-ingat. Zonk, ngga ada yang bisa aku ingat sama sekali.

"Yaudah. Kamu lanjut chattingan aja. Aku mau tidur dulu."

"Oke. Selamat tidur Ochia sayang." kata Chika.

Belum sempat menutup mata, ponsel milikku berbunyi. Ada pesan baru yang masuk. Kulihat pesan itu. Sebuah nomor asing tanpa foto profil.

'Hay Chibi. Jangan lupa minum susu biar cepat besar. Hahaha.'

Tanpa bertanya aku tau siapa itu. Si senior menyebalkan yang mengirimkan. Aku mengabaikannya, namun pesan lain kembali muncul.

'Udah tidur? Kok ngga dibalas.'

'Tapi kalau udah tidur kok pesannya dibaca.'

'Jangan cuek-cuek, nanti ngga tumbuh besar loh'

'Aku ada cerita lucu nih. Ada sebuah keluarga yang terdiri dari ibu dan ayah. Mereka semua sangat sehat dan tinggi, tapi sungguh disayangkan, anak mereka tumbuh kecil. Karena kecil dia menjadi acuh dan selalu marah pada sekitar. Karena terlalu sering marah lama kelamaan dia semakin kecil dan semakin kecil, hingga akhirnya dia menjadi kurcaci pemarah. Mirip kamu kan. hahaha'

'Beneran udah tidur?'

'Chibi.'

'Chibi'

'Halo'

'Oke, selamat malam. Tidur yang nyenyak. Biar besok bisa tumbuh besar hahaha'

'Save nomorku'

'Dari Pangeran paling tampan di sekolah'

Aku geli membaca pesan terakhir itu. Kata teman-teman dia itu Pangeran Es. Tapi bagaimana bisa Pangeran Es sangat narsis seperti ini. Aku mengabaikan semua pesan itu, lalu menutup mata. Aku sangat lelah. Lebih baik tidur daripada memikirkan senior menyebalkan nan narsis itu.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!