Pria Tak Dikenal

Sepuluh tahun setelah pelarian diri Husan sekeluarga.

“Hasan, aku masih ingin latihan dengan kamu,” rengek Hanif cemberut. Ia melipat kedua tangannya di dada tanda merajuk. Pura-pura memaksa Husan—yang selama sepuluh tahun ini ia kenal dengan nama Hasan, agar menuruti keinginannya.

 “Kalau kamu itu cewek dengan bibir tipis, hidung bangir, bulu mata lentik dan pipi halus, aku pasti akan luluh. Masalahnya, kamu itu punya jakun dan itu, jadi aku tidak akan terpengaruh oleh rengekanmu. Malas aku dibujuk makhluk yang tangannya berbulu,” tolak Husan tegas. Ia mendengus sebal melihat tingkah sahabatnya sejak kecil itu.

Hanif terkekeh sambil mengusap lengannya yang memang sudah ditumbuhi rambut yang cukup lebat. Sangat berbeda dengan Husan yang lengannya tampak bersih dari rambut.

Kedua remaja itu sedang duduk berhadapan di dalam sebuah freezer tua yang tidak digunakan lagi. Ada dua buah lubang di sudut-sudut freezer rusak itu, menjadi sumber cahaya dan udara bagi Hasan dan Hanif yang sedang bertukar kata.

Freezer tersebut menjadi tempat favorit Husan dan Hanif untuk bersembunyi dan bercerita sejak sepuluh tahun lalu, saat keduanya masih kecil. Meskipun pengap dan cukup gelap, Husan dan Hanif betah berlama-lama di sana. Mereka juga telah terbiasa dengan bau kurang sedap dari dalam freezer tersebut. Jika dalam film-film, kemah atau rumah pohon menjadi ‘tempat aman’ bagi anak-anak, maka bagi kedua remaja itu, freezer tua itu adalah tempat perlindungan mereka.

“Tapi dulu ‘kan kamu rajin melatihku. Malah, aku bisa juara setelah mulai latihan dengan kamu,” balas Hanif, tak menyerah untuk merayu sahabatnya.

“Iya, itu waktu kita masih SD dan SMP. Setelah kita masuk SMA, aku tidak berminat lagi melatihmu. Kecuali kalau Hanum yang meminta untuk dilatih, aku mau,” sergah Husan, menyebut nama siswi paling populer di SMA tempat dirinya dan Hanif bersekolah.

“Giliran cewek saja, cepat. Dasar genit! Kamu ini macam…” sungut Hanif.

“Macam apa?!” sergah Husan, memotong kalimat Hanif.

“Macam motor korslet. Gas terus!” jawab Hanif asal, seraya mendorong pintu freezer. Ia lalu melompat keluar sambil tertawa kencang.

Husan ikut melompat, lalu memburu Hanif yang sudah menjauh. Tak lama kemudian, mereka sudah bergumul di halaman belakang rumah Husan. Bergulat, lalu dilanjutkan dengan adu pukulan dan tendangan yang hanya mengenai angin, tidak mengenai bagian tubuh masing-masing lawan.

Seperti itulah cara Husan dan Hanif bercanda. Tawa mereka berderai, memancing perhatian Olesha dan Shavkat. Ibu dan paman Husan itu keluar dari pintu belakang dan tercengang. Shavkat hanya menggelengkan kepala sementara Olesha mendekati kedua orang remaja itu.

Melihat Olesha mendekat, Husan dan Hanif segera menghentikan aksinya sambil cengengesan.

Tanpa ampun, Olesha menjewer telinga anak laki-lakinya.

“Adududuh, ampun Bu!” ringis Husan dengan kepala miring ke kiri karena telinganya ditarik oleh ibunya yang bertubuh lebih pendek. Meski demikian, Husan masih sempat tersenyum, menunjukkan bahwa perbuatan Olesha itu bukan apa-apa baginya.

Olesha menggiring Husan masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Di dapur yang terletak di bagian belakang rumah, Olesha melepaskan Husan. Tapi tangannya tak lantas berhenti menghukum. Ia mencubit pinggang putranya hingga lagi-lagi Husan meringis.

“Sudah berapa kali Ibu bilang? Jangan bermain gulat atau tendang-tendangan dengan Hanif. Bagaimana kalau kau tidak sengaja mengeluarkan kekuatanmu dan melukainya?” omel Olesha setelah melepaskan cubitannya.

“Ampun, Bu. Aku lupa,” balas Husan sambil mengusap-usap telinga dan pinggangnya.

“Jangan jadi kebiasaan. Ingat, kalau kau kelepasan, konsekuensi yang harus kita tanggung sangat besar, Nak.”

“Iya, Bu. Aku minta maaf.”

Olesha menarik napas berat. Ia sudah terlalu sering mendengar ucapan putranya itu. Begitu mudah diucapkan, tetapi dengan mudahnya pula Husan mengulangi perbuatannya.

Di halaman belakang, Hanif bergidik melihat kekerasan hati Olesha. Namun saat mengingat Husan yang malah

tersenyum meskipun sedang dihukum oleh ibunya, tak ayal Hanif malah terkekeh. Sahabatnya itu, meskipun dikenal pendiam di sekolah, ternyata bandel juga.

“Pulang, Hanif. Sudah sore,” sela Shavkat, memudarkan tawa Hanif. Remaja itu menoleh pada paman Husan

yang masih berada di dekatnya.

“Iya, Om Afka. Hanif pulang dulu,” balas Hanif patuh, menyebut nama yang digunakan oleh Shavkat selama sepuluh tahun terakhir ini.

Remaja tujuh belas tahun itu berbalik meninggalkan Shavkat di halaman belakang rumahnya. Sambil tersenyum, ia melompati tembok pagar yang menjadi pembatas antara rumah Husan dan rumahnya. Sebuah kebiasaan buruk yang sudah ia lakukan sejak sepuluh tahun lalu, saat ia baru mengenal Husan sekeluarga.

Namun, saat hendak turun ke halaman rumahnya sendiri, ekor mata Hanif menangkap pemandangan yang tidak

biasa. Di seberang jalan yang mulai sepi karena hari sudah sangat sore, Hanif melihat seorang pria yang tidak dikenalnya, sedang menatap rumah Husan.

Pria tersebut mengenakan kacamata hitam dengan jaket bomber yang menurut Hanif, sangat keren. Perawakan pria itu tegap dan kekar, bentuk tubuh impian Hanif yang membuatnya rutin berlatih berolahraga sejak berusia sepuluh tahun.

Saat menyadari bahwa Hanif memerhatikan dirinya, pria asing itu membuang muka. Kemudian melenggang

meninggalkan tempatnya berada.

Hanif mengerutkan kening melihat tindak-tanduk pria tak dikenal tersebut. Sesaat kemudian, ia mengangkat bahu. Kemudian bersiap untuk melompat ke halaman rumahnya sendiri.

Ternyata, di bawah sana, Yati sudah menunggu sambil melipat tangan di dada. Menatap tajam pada putranya yang

masih juga bertingkah seperti anak kecil.

Hanif terkesiap melihat ibunya. Kemudian kembali cengengesan hingga Yati memerintahnya agar segera turun. Seperti tetangganya, Yati lalu mengomeli anaknya sambil menjewer telinganya.

“Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan memanjat-manjat. Ada pintu pagar, gunanya untuk dilalui. Jangan seperti pencuri. Lagipula itu bahaya. Pagar itu tingginya dua meter. Kalau tergelincir, bisa keseleo,” omel Yati sambil menggiring anaknya masuk ke dalam rumah.

Seperti Husan, Hanif meminta ampun pada ibunya. Namun Yati tetap menjewer hingga mereka menghilang

di balik pintu belakang.

Sementara itu, pria yang sebelumnya dipergoki oleh Hanif tengah mengamati rumah Husan, ternyata tidak benar-benar meninggalkan lokasi. Ia mengambil posisi yang sedikit lebih jauh agar tidak terpantau oleh penghuni rumah yang sedang diamatinya.

Pria itu mengamati gerak-gerik Shavkat yang sedang menutup pintu pagar rumah. Shavkat sendiri tampaknya tak menyadari bahwa dirinya sedang dipantau.

Sebelum Shavkat kembali ke dalam rumah, seorang gadis remaja yang lebih muda empat tahun dari Husan, muncul dari balik pintu. Mereka berbicara sebentar, lalu bersama-sama masuk ke dalam.

Pria tak dikenal tersebut menyunggingkan senyuman lalu bergumam, “empat orang. Aku harap ini tidak akan terlalu sulit.”

Pria itu kemudian melangkah lagi. Kali ini, ia benar-benar meninggalkan tempatnya mengamati Husan sekeluarga. Langkahnya tegap dengan senyuman yang terus tersungging di wajahnya.

Terpopuler

Comments

Shishio Makoto

Shishio Makoto

Penulis hebat! Ceritanya bikin ketagihan! ❤️

2024-01-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!