Hanif di Mana?

Pembicaraan di sekolah pada siang menjelang sore tadi, tidak berlangsung sesuai harapan Husan. Ia sadar, Hanif tak memercayai dirinya. Mengira bahwa Husan membohongi atau mempermainkannya.

Ya, siapa sih, yang akan percaya bahwa khayalan masa kecil mereka adalah nyata? Kendaraan yang ditenagai oleh entitas unik, dunia dengan pencahayaan warna-warni, senjata gabungan pistol dan pedang yang mengeluarkan sinar laser, siapa yang akan memercayainya?

Kini, Husan hanya dapat menghela napas berat. Salah seorang terdekat dalam hidupnya itu mengabaikan panggilan telepon Husan. Pesan yang Husan kirimkan pun diabaikan.

Apakah Hanif sekesal itu hingga memilih mendiamkan Husan? Hanif memang tidak mengatakan apa-apa saat

mengantar Husan pulang. Namun, Husan juga tidak mengira bahwa Hanif akan mendiamkannya seperti ini.

Husan mulai bingung, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Hanif belum pernah merajuk seperti ini. Biasanya, jika sedang marah, Hanif akan mendiamkannya paling lama satu atau dua jam.

Namun kali ini berbeda. Sudah empat jam pesan dari Husan masih dalam keadaan belum terbaca.

Husan tidak tahan lagi. Ia harus menemui Hanif.

“Mau ke mana malam-malam begini, Husan?” tanya Shavkat yang masih menonton televisi di ruang tengah. Ia

melirik keponakannya yang berjalan cepat menuju pintu depan.

“Mau ke sebelah, Paman. Mau kasih ini ke Hanif,” jawab Husan sambil menunjukkan buku catatan kimia milik Hanif yang memang sempat dipinjamnya. Malu juga jika ketahuan sedang bertengkar dengan teman sendiri, padahal sama-sama sudah beranjak dewasa.

“Jangan lama-lama.”

“Iya, Paman. Aku tidak akan lama,” jawab Husan. Ia mengucapkan salam, lalu menghilang dengan cepat di balik pintu.

Namun, di depan rumah Hanif, Husan tertegun. Rumah yang sama sederhananya dengan rumah Husan sekeluarga

tersebut tampak gelap. Lampu-lampunya, termasuk lampu depan, belum dinyalakan sama sekali. Pertanda bahwa para penghuninya sedang berada di luar dan belum pulang sejak sore.

Husan melihat ponselnya. Sudah pukul sepuluh malam. Entah kapan Hanif dan orang tuanya pulang. Saat ia mencoba menelepon Hanif sebanyak tiga kali, lagi-lagi panggilannya diabaikan. Entah karena Hanif masih malas berbicara dengannya, atau karena ia memang terlalu sibuk dengan orang tuanya.

Husan kembali ke rumahnya dengan lesu. Shavkat yang baru kembali dari dapur dengan semangkuk besar mi kuah instan, menatapnya heran.

“Cepat amat pulangnya. Diusir Hanif?” tanya Shavkat sambil meletakkan mangkuk di meja makan. Padahal sebelumnya dia yang berpesan agar Husan tidak berlama-lama. Sekarang malah mengolok keponakannya. Dasar om-om.

“Hanif sekeluarga keluar sejak sore. Belum pulang sampai sekarang. Aku telepon tapi tidak dijawab,” jawab Husan pelan.

“Oh ya? Kalau begitu, besok saja bukunya kau kembalikan.”

Husan hanya menatap pamannya. Ia ingin bercerita mengenai mimpi-mimpinya tentang Sarvar, ayahnya. Barangkali reaksi pamannya akan lebih tenang bila dibandingkan dengan reaksi ibunya. Namun, mengingat reaksi Hanif sebelumnya, ia menjadi ragu.

“Ada apa? Lapar? Duduk sana. Kita makan sama-sama,” kata Shavkat sambil meletakkan mi yang baru dimasaknya di atas meja makan.

Husan menurut. Ia menerima sendok dan mangkuk yang lebih kecil dari pamannya, kemudian memindahkan

sebagian mi ke dalam mangkuk kecil tersebut. Uap panas mengepul, menyebarkan aroma yang menggugah selera.

Paman dan keponakan tersebut kemudian makan tanpa mengatakan apa-apa. Hanya mereka berdua yang masih terjaga malam itu. Husan tidak tahu apakah ibunya sudah tidur atau belum. Namun tidak ada tanda-tanda pintu kamarnya akan terbuka.

“Paman, aku mau tanya sesuatu. Tapi, Paman jangan bilang-bilang ke Ibu, ya,” kata Husan hati-hati. Ia sengaja menunggu hingga sesi makan malam kedua tersebut usai.

“Ada apa? Asalkan bukan yang berhubungan dengan kenakalan atau semacamnya, Paman akan diam,” tanya

Shavkat sambil menatap curiga.

“Bukan hal yang aneh-aneh, kok. Aku mau tahu saja pendapat Paman. Apa… apa… ada kemungkinan bagi kita

untuk kembali ke Cratera?”

Shavkat tampak sangat terkejut. Tatapannya berubah menjadi sangat tajam.

“Kau sudah tahu jawabannya, Nak. Tidak ada yang tersisa untuk kita di sana. Keselamatan diri kita dipertaruhkan, terutama keselamatanmu,” jawab Shavkat dengan nada setajam tatapannya.

“Akhir-akhir ini aku memimpikan Ayah,” tukas Husan, “empat kali, Paman. Jadi aku pikir itu suatu pertanda. Apa kita harus kembali ke sana?”

Shavkat terhenyak. Namun dia menggeleng.

“Tidak. Apa pun yang terjadi, kita tidak bisa kembali ke sana. Ayahmu sudah mengorbankan dirinya. Jadi, jangan sia-siakan pengorbanannya.”

Husan menarik napas dalam, lalu bangkit dari duduknya. Ia membawa peralatan makan kotor ke dapur sebelum

masuk ke kamarnya.

“Aku tidur dulu, Paman,” pamit Husan pelan.

“Iya. Ingat, jangan berpikir untuk kembali ke sana. Terimalah takdirmu untuk hidup di dunia permukaan sebagai Hasan, bukan Pangeran Husan dari Cratera,” balas Shavkat tegas.

Husan hanya mengangguk lemah sebelum memasuki kamarnya. Ia tidak langsung tidur, tapi menunggu balasan

pesan dari Hanif. Hingga pukul sebelas malam, pesan dari Husan tak kunjung dibaca apalagi dibalas.

Husan makin gelisah. Besok pagi ia akan kembali ke rumah Hanif untuk memeriksa keadaan rumah itu. Mudah-mudahan Hanif sekeluarga hanya sedang menginap di tempat lain malam ini.

***

Keesokan paginya, sebelum pukul enam, Husan sudah kembali ke depan rumah Hanif. Lagi-lagi ia menelan

kekecewaan karena rumah Hanif masih tampak lengang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.

“Hasan, sarapan dulu,” kata Olesha yang menyusul Husan ke sebelah. Di luar rumah atau saat ada orang lain bersama mereka, Husan sekeluarga memang sepakat untuk memanggil satu sama lain dengan nama samaran mereka.

“Bu, Hanif dan orang tuanya ke mana, ya? Semalam tidak pulang ke rumah,” tanya Husan pada Olesha.

“Ibu tidak tahu, Nak. Barangkali mereka menginap di rumah keluarganya. Atau ke luar kota mendadak.”

“Tapi Hanif belum membalas pesanku, Bu. Malah, ponselnya sekarang sudah tidak aktif,” sergah Husan cemas. Usai salat subuh ia memang menghubungi Hanif, namun yang ia dengar hanyalah pesan bahwa ponsel Hanif berada di luar jangkauan.

“Ibu akan telepon Tante Yati untuk menanyakan kabar mereka,” janji Olesha, “sekarang, kau sarapan lalu siap-siap

ke sekolah.”

Husan patuh dan kembali ke rumahnya. Ia percaya bahwa Olesha akan menghubungi Yati, ibu dari Hanif. Sementara Olesha sendiri berjalan di belakang putranya sambil sesekali menengok ke rumah tetangga mereka yang kosong.

Di ambang pintu rumah~~~~, mereka berpapasan dengan Shavkat yang hendak keluar rumah. Pandangan Olesha dan

Shavkat saling bertemu saat Husan sudah masuk ke dalam. Shavkat langsung memahami maksud tatapan kakaknya.

“Aku akan cari informasi dulu. Mudah-mudahan tidak seperti dugaan kita,” kata Shavkat dengan suara tercekat.

“Aku akan bersiap-siap dan menunggu di sini bersama anak-anak. Tapi sebelumnya, aku membutuhkan bantuanmu

untuk menangani putraku,” balas Olesha.

Shavkat memejamkan mata sejenak lalu menghela napas berat. Ia mengurungkan niatnya keluar rumah, lalu memasuki kamarnya. Tak lama kemudian, ia keluar dengan membawa tas.

Sedangkan Olesha langsung menghampiri anak-anaknya yang sedang makan. Olesha duduk di sebelah Kaisha,

lalu mengusap lembut rambut putrinya.

“Hari ini tidak usah sekolah dulu ya, Nak. Kita menunggu di sini sampai Paman Shavkat kembali dari tempat Anvar,” kata Olesha.

“Yah, Ibu. Hari ini Kaisha ada ulangan,” protes remaja putri yang memiliki nama samaran Sasha itu.

“Nanti bisa ikut ulangan susulan. Kita menunggu di sini saja dulu,” bujuk Olesha.

Sementara Kaisha memprotes ibunya, Husan justru menatap ibunya dengan curiga. Remaja itu juga melirik curiga saat Shavkat mendudukkan diri di sebelahnya. Pria tiga puluh dua tahun itu ternyata hanya mengambil nasi dan lauk, lalu mulai sarapan dengan tenang. Sikapnya terlalu biasa hingga makin menyalakan kecurigaan keponakannya.

“Kenapa Paman Shavkat harus ke tempat Kak Anvar, Bu? Ada apa sebenarnya?” tanya Husan tajam. Ia melirik pamannya lagi, namun Shavkat tak mengatakan apa-apa. Masih makan dengan santai.

Olesha meraih tangan putranya. Anak yang sudah dilindunginya selama sepuluh tahun terakhir ini.

“Ada yang harus Paman Shavkat pastikan,” jawab Olesha lembut, “mudah-mudahan bukan sesuatu yang buruk.”

“Hal buruk apa, Bu? Apa—“

Kalimat Husan terputus karena tubuhnya mendadak tersentak kuat. Husan membelalak, tubuhnya mulai kejang-kejang.

“Ibu! Kak Husan kenapa?!” jerit Kaisha, panik dan ketakutan melihat Husan yang tidak bisa mengendalikan tubuhnya.

Olesha tak menjawab. Ia menatap Shavkat lekat-lekat. Sementara adiknya itu melirik kapsul merah yang mencengkeram tengkuk keponakannya.

Sepuluh tahun yang lalu, Shavkat menempelkan kapsul yang sama ke tengkuk Husan untuk mencegah Husan bertindak gegabah. Kini, ia mengulanginya demi mengendalikan keponakan laki-lakinya. Masih dengan alasan

yang sama.

Terpopuler

Comments

Aimé Lihuen Moreno

Aimé Lihuen Moreno

Emosinya terasa begitu dalam dan nyata. 😢❤️

2024-01-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!