Entah kebetulan atau memang karena kesengajaan, Zuan, Adzka, Juna dan Papanya kembali bersama menempuh perjalanan menuju ibu kota.
"Kenapa Papa harus ikut sih, Pa?" Juna menyandarkan kepalanya di pundak Rudi. Merasa menjadi anak kecil yang selalu dikawal kemanapun ia pergi.
"Papa mau memastikan, kalau kau benar-benar mendaftar di kampus itu. Papa tidak mau kecolongan lagi!" Rudi menarik hidung putrinya. Dia belum bisa bernafas lega, sebelum memastikan anaknya melanjutkan pendidikannya di kota mereka. Rudi takut, anaknya kembali melanjutkan pendidikannya di luar kota lagi.
"Papa, gak percayaan banget sama anak sendiri!" Juna cemberut, menyilangkan kedua tangannya di dada.
Kedua pemuda yang duduk di depan menahan senyum, melihat tingkah perempuan paling cantik diantara mereka.
"Gak apa-apa kan, Adzka! kita antar Juna ke kampus dulu?" tanya Rudi, Adzka yang duduk di depan pun memalingkan badannya, menatap Rudi menjawab pertanyaannya.
"Tidak apa-apa, Pak! penerbangan saya juga sore nanti kok!" jawab Adzka, ekor matanya melirik gadis di sebelah lawan bicaranya. Masih sama seperti kemarin-kemarin, gadis pujaan hati tetap pada mode mengacuhkan.
"Penerbangan? emang udah sepuluh hari, ya?" Juna ikut bertanya, pembicaraan Papanya pada pemuda yang saat ini di depannya tempo hari itu masih di ingatnya.
"Sudah Jun, sudah sepuluh hari aku di sini!" jawab Adzka melihatnya penuh arti.
"Gak terasa ya, safe flight ya!" tambah Juna lagi.
"Iya" Adzka menyandarkan tubuhnya, memegang dadanya dengan tangan kirinya.
"Kenapa irama jantungku menjadi seperti ini, calon ahli jantung sakit jantung? ah ... tidak! inikah cinta?" gumamnya menatap langit-langit mobil.
"Ehem!" Zuan berdehem, membuat Adzka menatap ke arahnya.
"Kenapa kau?" tanya Zuan menatap Adzka dengan senyuman mengejek.
"Gak apa-apa, kau lihat aku kenapa?" ucap Adzka ketus.
"Ku lihat kau seperti terkena serangan jantung!" Zuan menahan tawanya yang seakan hendak pecah, melihat wajah sang adik yang mulai memerah. Dia tau betul perasaan adiknya itu, walau jarang akur, tapi sebagai kakak dia siap mendengarkan curhatan adiknya kapan saja. Apalagi mengenai Juna, sejak adiknya duduk di sekolah menengah atas, Juna adalah satu-satunya perempuan yang ada dalam cerita adiknya itu.
"Ajak ngomong terus, mumpung dia merespon!" ucap Zuan setengah berbisik. Matanya menatap sekejap pada spion didepannya. "Sukurlah pak Rudi tak mendengarnya!" Rudi terlihat sedang sibuk dengan telepon selulernya.
"Juna lanjut Apoteker ya?" Adzka kembali membuka kata.
"Iya, kok tau!" Juna tampak berpikir. "Darimana dia tau aku lulusan Farmasi! kenal aja enggak! hm ... mencurigakan!" gumam Juna.
"Ya tau lah, Mahasiswa Farmasi Universitas H kan! yang setiap hari rabu dan kamis bekerja di perpustakaan!" ucap Adzka, membuat mata Juna dan Papanya membulat sempurna.
"Kau bekerja disana, Nak?" Rudi tampak terkejut.
"He ... he, iya Pa! buat nambah uang jajan. Kebetulan waktu itu ada staff yang jaga perpustakaan cuti melahirkan. Lumayan kan, Pa." Juna menjawab pertanyaan Papanya dengan menundukkan kepala. Dia takut Papanya akan memarahi Mamanya, sedangkan mamanya sendiri juga tidak mengetahui kalau dia pernah bekerja, walau hanya menggantikan sementara waktu.
"Bagaimana kau bisa tau?" tanya Juna selidik. "Padahal aku sudah menutupnya rapat-rapat, dari siapapun! bahkan kepada Mila sahabatku saja, aku tak pernah menceritakannya!" gumamnya dalam hati.
"Aku kan pernah kuliah disana!" jawab Adzka merasa bersalah melihat wajah Juna yang tampak menyesal perbuatannya di ketahui oleh Papanya.
"Oh, iya. Kalian satu kampus ya, Ka! Apa kalian pernah bertemu?" tanya Rudi, mengingati kampus tempat Adzka mengambil gelar Dokternya.
"Pernah!"
"Tidak!" jawab mereka bersamaan.
Zuan yang fokus menyetir tertawa mendengar ke kompakan mereka berdua saat menjawab, namun tidak dengan jawabannya.
"Ada apa dengan kalian berdua? kenapa yang satu bilang, ya dan satunya lagi bilang tidak!" tanya Zuan.
"Aku memang tidak pernah merasa bertemu dengan adikmu!" jawab Juna ketus, merasa marah kepada Adzka karena rahasianya terbongkar.
"Aku jawab Iya, karena memang aku sering melihatnya. Dia saja yang tak pernah melihatku!" jawab Adzka.
"Kami kan beda fakultas, Pak! kebetulan Adzka sering ke perpustakaan. Jadi beberapa kali pernah lihat Juna disana!" jawab Adzka kepada Rudi.
"Hm ... menarik! hanya beberapa kali melihat, tapi tau jadwal anakku bekerja!" ucap Rudi dalam hatinya, mengangguk-anggukan kepalanya.
\=\=\=\=
Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Terik matahari menyengat membuat pohon menjadi tempat yang paling nyaman untuk berteduh menghindari panasnya.
Juna masih asik dengan gadgetnya, Manik matanya menatap sepasang sepatu hitam berada tepat dihadapannya.
"Sudah selesai shalatnya?" tanya Juna menatap laki-laki berkacamata dihadapannya.
"Apa kau lapar?" tanya laki-laki itu pula.
"Aku sudah makan roti ini tadi! kau mau?" Juna menunjukkan roti cookies kesukaannya.
"Hanya makan ini, kau kenyang?" tanya Adzka mengambil satu cookies itu lalu duduk disebelah Juna.
"Ya, gak kenyang juga sih! uang ku habis! biaya pendaftaran ternyata diluar dugaanku, sebenarnya ada sih, uang dari Papa, tapi aku tidak mau memakainya. Nanti saja kalau ada keperluan mendesak!" ucap Juna berbisik. Juna memang seperti itu, tabungannya selama tinggal bersama Mamanya juga hasil dari beberapa bulan dia bekerja masih ada. Sedangkan uang yang diberikan oleh Papanya yadi pagi sebelum berangkat, masih tersimpan rapi dalam amplopnya.
"Ayo makan! aku yang traktir! katanya disini ada tempat makan yang murah tapi enak!" Adzka menarik tangan Juna.
Juna hanya bisa berkata "Eh" saat tangan Adzka memegang pergelangan tangannya erat menyeberang jalanan menuju halte. Rudi dan Zuan sedang ada urusan ditempat lain. Membiarkan mereka berdua saling mengakrabkan diri. Tadinya Adzka bersikeras untuk tetap ikut dengan mereka, tapi karena permintaan Rudi, Adzka pun bersedia menunggu Juna sampai keperluannya selesai.
Dua puluh menit taksi yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah makan dengan icon rumah gadang. Adzka masuk kedalam terlebih dahulu, sedangkan Juna masih mematung menatap sekeliling.
"Ayo, aku sudah sangat lapar!" ucap dokter muda itu menunggunya di depan pintu kaca yang sudah terbuka.
"Kau saja lah yang makan! aku tunggu disini saja!" ucapnya merasa tak nyaman. Adzka menghampirinya merasakan ada yang tak beres dari Juna.
"Apa ada yang salah? aku yang bayar! atau kau tidak suka masakan padang?" tanya Adzka selidik.
"Em ... aku, aku tak suka makanan pedas!" jawab Juna malu. Perutnya tak bisa menerima makanan yang pedas dan lemak. Mulutnya masih bisa menerimanya, tapi tidak dengan perutnya. Selang beberapa saat setelah makan dia akan terus-terusan kebelakang mengeluarkan kembali semua makanan yang di makannya ditambah sisa makanan yang di makan berhari-hari lalu. Ya, diare. Dia tak mau hal itu terjadi saat ini. Perjalanannya kembali kerumah membutuhkan waktu beberapa jam lamanya, dia tak mau perjalanan itu harus diganggu dengan beberapa kali singgah di pom bensin hanya sekedar untuk PUP.
"Kenapa kau tak bilang!" Adzka tertawa.
"Kau tidak bertanya!" jawab Juna ketus.
"Kau, masuk saja lah. Aku akan makan disana, tadi sebelum resto ini aku melihat ada tempat makan kecil disebelah sana. Sepintas ku baca menunya ayam geprek. Aku kesana saja, ya!" Juna melangkahkan kakinya melambaikan tangannya kepada Adzka.
"Aku ikut!" jawab Adzka menghampiri.
"Ayam geprek kan pakai sambal, tapi katanya gak tahan pedas!" Adzka semakin penasaran.
"Makannya gak pakai sambal, pakai kecap aja, he ... he" Juna menyeringai, merasa malu dengan ucapannya sendiri. Dia merasa seperti anak kecil yang suka makan dengan kecap manis.
"Ya sudah la, ayo. Aku traktir!" ucap Adzka lagi.
"Oh iya, terimakasih kalau begitu!" ucap Juna tersenyum manis.
"Ternyata masih banyak yang tak ku ketahui dari mu, Arjunaku!" ucap Adzka dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Dadden Maku
eyaaa Arjuna katanyaa🤩🤩🤩🤣
2021-01-06
0
💕icha mUngiL IcPutsta💕 😘
😊😊😂😂
2020-11-10
0
ARSY ALFAZZA
likes
2020-10-04
0