Episode 1.2

Tok… tok… tok… !

“Permisi, Pak!” kata Dea sopan.

“Oh, Dea. Kamu sudah datang!” kata Pak Marwan menoleh ke arahnya. “Bapak bisa minta tolong,” katanya dengan melirik seorang cowok yang berdiri di hadapannya.

“Minta tolong apa, Pak?”

“Kamu bisa mengantarkan Andre, siswa baru, untuk melihat-lihat sekolah kita,” ucap Pak Marwan sembari memperkenalkan Dea.

Dea terkejut. Andre. Nama itu. Dan…Wajah itu. Dia teringat dengan kejadian di gedung kompetisi berbakat musik itu. Dan Scorpio. Ah, dia teringat dengan nama band yang mengotot untuk mengajaknya bergabung. Dea mulai takut. Apakah cowok itu akan mengenalnya? Dea menghela nafas. Dia mencoba untuk menenangkan pikirannya. Sekarang, dia adalah seorang cewek, bukan pemuda pada kompetisi itu, dan juga bukan Dion. Aman!

“Jadi, bagaimana Dea. Apakah kamu bisa membantu bapak,” ulang Pak Marwan lagi.

“Bisa Pak,” kata Dea tegas.

“Terima kasih, Dea. Bapak sangat tertolong,” ucap Pak Marwan berterima kasih.

“Ini perpustakaan sekolah. Di depan sana, itu ruang UKS. Kemudian… ,”

“Sudah, aku bosan. Lebih baik kita berbicara yang lebih penting saja,” kata Andre memberhentikan penjelasan Dea.

“Maksud kamu?”

“Setahun lalu, aku menonton Kompetisi Berbakat Musik. Pada saat itupula, aku bertemu dengan seorang drumer berbakat”.

Dea terkejut. Hatinya berdetak dengan sangat cepat. Apa maksud ucapan Andre itu? Apakah dia tahu? Huh! Dea mencoba bersikap tenang. Dia tidak mau Andre curiga dengan dirinya.

“Terus, apa hubungannya?” tanya Dea pura-pura tidak mengerti.

“Kamu tidak perlu berpura-pura lagi, Dea. Eh, atau aku panggil Dion aja ya!” kata Andre sembari tertawa. Dia tersenyum dengan penuh kemenangan.

Secret. Bagaimana ini? Rahasia itu sudah terbongkar. Aduh! Dea tida tahu harus berbuat apa, Andre pasti akan memaksanya lagi untuk bergabung dalam bandnya, Scorpio. Dea menunduk. Dia mencoba mencerna setiap perkata Andre. Tidak mengerti. Dia menggelengkan kepala. Perlahan, mengambil nafas dan menghembuskan pelan-pelan.

“Maksud kamu?”

“Sudahlah, akhiri aja kebohongan ini. Aku sudah tahu semuanya,”

Dea berpikir. Sudah tahu? Jadi, Andre sudah tahu semua kebenaranya. Dion. Drumer. Malam kompetisi. ARGH! Bagaiman ini? Apa yang harus di lakukan olehnya. Diam saja. Ataukah membiarkan rahasia ini akan di ketahui orang?

“Jadi, kamu mau apa?”

“Sama seperti dulu. Aku ingin kamu bergabung dengan band kami,”

“TIDAK!” jawab Dea tegas.

Andre tertawa. Lagi. Kini kata penolakan itu kembali terdengar. Gadis di hadapannya ini sangat keras kepala. Dea masih berdiri teguh pada pendiriannya. Dia sudah tidak mau berurusan dengan cowok itu, segera dia melangkah meninggalkan Andre yang masih tertawa. Menjauh dari cowok yang sudah mengetahui rahasianya itu.

Pelajaran Matematika menjadi membosankan. Tidak dapat berkonsentrasi. Dia terus memikirkan pembicaraan singkat dengan Andre. Apa yang harus di lakukannya? Diam saja. Entahlah, dia benar-benar binggung. Hingga pelajaran usaipun, pikiran Dea masih belum bisa tenang. Kerutan pada kepala terbentuk. Dia terlihat seperti Einstein yang kebinggungan.

“Dea, kamu kenapa?” tanya Tari.

Dea menggelengkan kepala. Untuk saat sekarang, dia tidak ingin menceritakan kepada siapa-siapa termasuk Tari, sahabatnya. Dia ingin menyelesaikan masalah ini sebelum secret itu terbuka terlalu jauh.

“Tar, kamu tahu Andre kelas berapa?”

“Andre?” pikir Tari. “Maksud kamu, Andre Steven, si siswa baru yang ganteng itu?”

“Ganteng?” kini Dea yang berpikir. “Terserahlah, dia kelas berapa?” lanjut Dea.

“Setahu aku, dia kelas XI IPS 2, kenapa kamu cari dia?”

“Nggak kok!” jawabnya sembari melangkah pergi.

Jam tangannya baru menunjukkan pukul 4 sore. Para siswa-siswi yang lain sudah pulang kecuali Dea dan beberapa anak ekstrakulikuler. Dia segera pergi menuju ke ujung ruangan di sisi sekolah. Ruang osis. Kemudian duduk pada kursi singasana. Memandang langit sore yang sangat indah. Dia mencoba untuk menenangkan hati yang sedang kebinggungan. Galau. Bahkan tidak tahu arah.

“Kok, kamu melamun,”

Dea terkejut, dan menoleh kea rah sumber suara. Andre. Ada apa gerangan? Mengapa dia datang ke ruang osis. Pasti, Dea mulai mengetahui maksud kedatangannya. Dia pasti ingin mengajak Dea bergabung ke dalam bandnya. Dan jawabannya sudah pasti, TIDAK.

“Ruangan ini tidak boleh di masuki oleh orang selain pengurus osis,” kata Dea  mengusirnya.

“Siapa yang buat peraturan itu? Sekolah? Nggak kan?, jadi siapa saja boleh masuk ke ruangan ini,”

Dea diam. Right! Ruangan ini boleh di masuki siapa saja. Pengurus maupun bukan pengurus osis. Namun tidak untuk Andre. Dea melarangnya. Siswa baru itu di anggapnya sebagai musuh besar yang harus di hindari. HARUS! .

“Mau apa kamu ke sini? Kalau kamu mau mengajak aku untuk gabung ke dalam band kamu, maka… aku menolak,” ucap Dea ketus.

Andre tersenyum. Dia  tidak menghiraukan ucapan-ucapan itu. Sedangkan Dea benar-benar terlihat sangat murka. Muka cemberut. Bibirnya menahan geram. Bola matanya memancarkan kemarahan.

“Kamu ketua osis ya?” tanya Andre. “Kamu siswa teladan, tapi mengapa kamu tidak mengumumkan kebanggaan itu, sekolah pasti bangga kepada kamu,”

Dea diam. Dia tahu akan hal itu, dia sangat bangga dengan kemenangan kompetisi tersebut. Itu adalah impiannya. Hanya saja, dia tidak ingin bermain drum lebih daripada hobinya. Apalagi bergabung dengan anggota band lalu di ketahui orang lain. Dia hanya ingin hobinya sebagai secret. Sebuah secret yang akan menjadi sebuah kenangan indah untuk kakak tersayangnya. Sungguh, tidak lebih.

“Bukan urusan kamu! Sebaiknya kamu pergi saja dari ruangan ini, kamu MENGANGGU!”

Andre belum menyerah. Matanya menatap Dea dengan sangat tajam. Perlahan, Kakinya melangkah mendekati Dea. Dekat. Makin dekat. Sangat dekat. Sekarang, posisinya tepat saat berada di hadapan Dea. Dia masih menatap Dea. Lebih tajam daripada yang tadi. Bahkan lebih tajam daripada elang. Gadis itu menjadi salah singkah.

“Apaan kamu, jangan dekat-dekat aku!” usir Dea.

Andre mengedipkan mata. Dia bukannya mendengarkan perintah Dea, namun semakin mendekat. Kedua tangan Andre memegang meja. Tubuhnya di bungkukkan dan mensejajarkan kepala ke kepala Dea. Wajahnya tepat berada pada wajah Dea. Matanya menatap tajam. Dea bisa merasakan nafas Andre yang tenang keluar dari hidungnya. Dag… dig… dug… Hati Dea berdetak dengan keras. Wajahnya memerah. Dia tersipu malu.

“Awas! Jangan dekat-dekat!” usir Dea lagi.

“Ya, sudah. Besok aku datang lagi ya!” ucap Andre melangkah pergi, dengan meninggalkan rasa kesal dan juga wajah tersipu bagi Dea.

PLEASE! PLEASE! LIKE DAN COMMENT NYA DONG!!!

Terpopuler

Comments

Titik Widiawati

Titik Widiawati

lah td katanya dingin tomboy... kurang greget thor klo baru gini deanya udah dag dig dug..

2020-04-19

2

lia_halmusd

lia_halmusd

menarik...

2020-04-15

1

Nada Zalfa

Nada Zalfa

Suka banget

2020-02-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!