“Oke, teman-teman. Rapat hari ini saya tutup,” ucap Dea mengakhiri rapat osis.
Dea menghela nafas. Sungguh melelahkan! Jabatan sebagai ketua osis membuat dirinya sangat lelah. Dia tidak pernah berpikir sebelumnya, dia akan menduduki kursi goyang yang empuk dengan jabatan siswa tertinggi di sekolah itu.
Dia berdiri. Merenggangkan otot-otok tangan yang kaku. Malam tadi, dia bergadang untuk menyelesaikan laporan pentas seni atau pensi beberapa bulan lagi. Kemudian merapatkan laporan itu kepada pengurus osis yang lain. Dia harus membuatkan acara terakhir itu sebagai acara yang spektakuler. Bukan hanya Indonesai Idol yang harus spektakuler, namun acara pensi yang penting ini pun harus spektakuler dan sukses.
“Huaam,” Dea menguap. Sekali-kali dia mengucek-ngucek matanya. Dia berharap rasa mengantuk ini menghilang. “Tari, kamu ada minum?” katanya kepada sahabatnya sekaligus sekretaris osis.
Tari menganggukkan kepala. Perlahan dia mengambil sebotol minuman di dalam tasnya. Dea mengambil minuman itu dan meneguknya. Tari terpaku, dia sudah biasa dengan sahabat tomboy-nya itu. Sudah terbiasa melihat Dea menguap setelah acara rapat osis. Sudah terbiasa melihat Dea bersikap tomboy pada teman-temannya. Sudah biasa melihat gadis berlesung pipi itu berkerja dengan dengan sangat keras.
“Dea, mengapa kamu harus bergadang? Memang kamu nggak punya waktu lagi untuk menyelesai laporan itu siang hari,” tanya Tari sedikit binggung dengan kondisi Dea yang sering mengantuk.
“Bukan begitu Tar, kamu tahu sendirikan kesibukan aku?”
“Ya, aku tahu. Kamu selalu berlatih bermain drum. Tapi aku binggung, mengapa kamu tidak mau menjadi anak band?”
Dea hanya tersenyum, mengembangkan senyumnya. Dia tidak butuh menjadi anak band. Cukup seperti ini saja. Ketua osis yang selalu mengerjakan tugas dengan baik. Dan cewek tomboy yang selalu di kenal oleh teman dan gurunya. Kemudian dia merangkul Tari ke dalam pelukannya. You are right!, Tari adalah sahabat terbaiknya. Dia dan Tari sudah berteman sejak kecil. Mungkin sejak bayi. Mereka seperti sudah di takdirkan untuk selalu bersama. Dan hanya tari, seorang gadis yang bisa mengerti kondisinya dan menjaga secret-nya. Mungkin bukan secret yang besar, tapi sebuah secret yang membuat orang ternganga.
Pulang sekolah. Sebuah tempat sunyi ini merupakan tujuan. Sudah berulang kali, dia mendatangi pemakaman umum itu. Selalu saja menuju sudut makam. Dan pada saat ini pula, Dea menampakkan sisi wanitanya. Dia menangis. Air matanya selalu tumpah bila berhadapan langsung dengan batu nisan itu. Seperti saat ini.
Sudah hampir tiga tahun berlalu. Dion Purnama Putra, kakak laki-laki yang sangat di sayanginya, pergi ke tempat keabadian. Kecelakaan maut yang menyebabkan nyawanya menghilang. Sampai sekarang pun, Dea tidak dapat merupakan darah yang mengalir pada setiap tubuh Dion. Dan bila membayangkan cowok itu, dia selalu merasakan pipinya di elus dengan lembut oleh saudaranya itu untuk menenangkannya. Dia selalu teringat, perihnya hati ketika melihat ibunya pingsan mendengarkan berita itu.
“Kak, kenapa Kakak pergi dengan sangat cepat?” katanya sembari mengelus-elus batu nisan dengan lembut. “Kakak senang dengan piala ini?” tanya Dea.
Piala itu. Piala kemenangan kompetisi berbakat setahun lalu terbaring di dekat batu nisan Dion. Itu hadiah indah darinya pada hari ulang tahun Dion yang ke-19. Walaupun Dion sudah tiada, dia tetap ingin menciptakan senyum terindah kepada saudara laki-lakinya itu. Dengan melalui hobi kesayangannya, bermain drum.
Dea melangkah dengan sangat pelan. Mencoba menjaga frekuesi jarak langkah agar tidak terdengar oleh Tari. Bukan karena takut kepada gadis itu, tapi sudah ada ide suprise. Bukan hal yang luar biasa sih, hanya keisengan belaka.
“DUAARR!” kejut Dea.
Tari meloncat, berlari menjauhi dari tempat duduknya. Nafasnyat terengah-engah tidak teratur. Sementara Dea tertawa terbahak-bahak. Reaksi itu. Reaksi unik yang selalu di perlihatkan oleh Tari ketika dia terkejut sangat lucu. Right! Dia seperti tikus yang ketakutan ketika kedatangan manusia. Dan setiap kejadian itu pula, Dea selalu tertawa terbahak-bahak hingga mulut terbuka lebar.
“Dea, apaan sih? Kamu mau buat aku mati terkena serangan jantung,” kata Tari marah.
“Nggak kok, Tar,” kata Dea sembari menahan tawa.
“Huh, awas ya!” Tari mengancam. Tari mendekati, menyiapkan jemari tangan. Dia akan membalas perbuatan Dea. Dengan mengelitik tubuh gadis itu.
“Ampun, Tar. Aku janji kalau ini yang terakhir,” kata Dea sembari melindungi tubuhnya.
“Beneran, awas kamu bohong?”
“Aku janji, HAHAHAHA,”
“Udah Dea, jangan tertawa lagi. Nanti aku marah beneran sama kamu,” ancam Tari lagi.
Dea menutup mulut dengan tangannya. Kalau tidak, tidak tahu apa yang terjadi dengan hubungan persahabatan mereka. Namun kejadian tadi benar-benar sangat lucu. Dea sangat menikmatinya. Bisa di katakan, ada sebagian beban yang hilang dari hatinya. Dia merasakan sedikit kelegaan.
Tiba-tiba, seorang cowok dengan kacamata tebal menghampiri mereka. Dea dan Tari terpaku. Ada apa gerangan? Apa ada masalah? Dengan takut. Bukan kepada orangnya, tapi kacamatanya itu lo! Tebal banget.
“Maaf kak Dea. Kakak di panggil Pak Marwan sekarang?” ucap cowok berkaca mata itu gemetar.
“Ya, terima kasih,” ucap Dea mengeryit heran dengan tingkah cowok itu.
Perlahan, dia melangkah pergi meninggalkan Tari yang masih sedikit marah. Pak Marwan, ada urusan apa dengan Wakil Kepala Sekolah itu? Apakah dia sudah melakukan kesalahan besar? Atau jangan-jangan, guru-guru dan teman-temannya sudah mengetahui secret itu?
LIKE! VOTE! AND COMMENT!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments