BAB 5

Olivia memandang ragu nama ruangan didepannya, 'Ruang Asisten Dosen'. Hampir 5 menit ia menunggu, tangannya bergetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Untuk sesaat ia ingin mengetuk pintu dan masuk kedalam. Tapi ia langsung mengurungkan niatnya. Tiba-tiba ia merasa takut. Apalagi kalimat terakhir yang pria itu ucapkan saat pernyataan cintanya, masih membekas diingatannya.

Tapi, sampai kapan ia harus menunggu. Ia tidak mungkin Kembali lagi, bagaimana jika pria itu ingin menyampaikan hal yang penting? Olivia tidak ingin kelas mereka dicap buruk karena dirinya. Akhirnya setelah beberapa menit ia berpikir, ia menghembuskan nafas nya pelan, memutuskan untuk masuk.

Tok....toko

Olivia mengetuk pintu dengan pelan, dirinya menunggu suara dari dalam untuk memberikan dirinya izin masuk.

"Masuk"

Olivia memejamkan matanya pelan, itu suara pria yang tidak ingin dia temui. Tapi karena beberapa alasan ia terpaksa menemuinya. Olivia meraih gagang pintu, mendorongnya dan melangkahkan kakinya masuk. Setelah itu ia berjalan dan duduk dihadapan pria itu. Pria itu masih belum menatapnya, karena sibuk membalik-balikkan halaman kertas ditangannya.

"Kamu dari kelas Bu Ana"

Alex masih menatap lembaran kertas ditangannya. Belum mengetahui siapa pemilik suara.

"Iya, Pak"

Sebuah suara yang ia kenal langsung melintas dikepalanya. Wajahnya langsung menatap wanita didepannya, dan ternyata tebakannya benar. Pelipisnya mengkerut, saat berduaan seperti ini pun, wanita itu masih menundukkan kepalanya.

"Panggil saya, Kak. Saya hanya asisten dosen"

Suara Alex tajam, wanita didepannya langsung menggigil ketakutan.

"Iya, Kak"

Olivia menjawabnya dengan nada halus.

"Kamu??? Sekretaris kelas"

Alex mencoba untuk merendahkan suaranya agar tidak menakuti wanita dihadapannya.

"Iya, Kak"

"Baru sekarang kamu mau bicara sama saya? Kemarin kamu selalu menghindari saya"

Jawaban seadanya yang diberikan oleh wanita ini sangat menyulutkan emosinya. Apa wanita ini bisu? Sehingga hanya bisa mengucapkan beberapa kata padanya? Nadanya semakin ia tegaskan walaupun tidak keras. Untungnya di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Kalau tidak, pasti orang-orang akan membicarakan mereka.

"Maaf, Kak. Tapi, ada urusan apa kakak memanggil Sekretaris?"

Olivia langsung mencela pertanyaan yang diberikan oleh pria didepannya dengan pertanyaannya yang lebih sesuai. Dari tadi ia sudah menahan ketakutan, wajahnya masih menunduk, takut untuk menatap wajah dingin itu.

"Ini kertas soal yang dititipkan Bu Ana, kerjakan dan kumpulkan besok siang sama saya"

Alex menghela nafas, menyerahkan setumpuk kertas yang sudah ia periksa sebelumnya ditangan wanita dihadapannya. Wanita itu langsung menerimanya dan pemit keluar ruangan, tanpa memandangnya sedikitpun.

Ia memijat pelan pelipisnya, sedikit berdenyut. Kenapa pikirannya tiba-tiba kacau karena merasa diabaikan oleh wanita itu. Sejak awal ia mengatakan kalau wanita itu harus menjauhi nya dimasa depan. Tapi sekarang rasanya ada yang tidak benar.

.....

Olivia menghela nafas lega setelah keluar dari ruangan itu. Tubuhnya hampir merosot kebawah sebelum ia berhasil menahannya. Matanya menatap setumpuk kertas di lengannya. Kenapa ia harus bertanya tentang alasan menjauhi nya? Padahal kan ia yang menyuruhku untuk tidak muncul dihadapannya lagi?

Olivia langsung menggelengkan kepalanya, menghentikannya untuk tidak berpikir yang macam-macam. Saat ini banyak tugas yang harus ia kerjakan, ujian beasiswa tinggal sebulan lagi, ia harus bisa belajar dengan baik, agar bisa diterima dikampus tujuan. Setelah itu ia bisa bernafas dengan lega.

Ia lalu melangkah pergi ke kelasnya, menyerahkan selembar kertas kepada masing-masing mahasiswa untuk segera dikerjakan. Karena akan dikumpul besok. Olivia juga langsung mengerjakannya, agar ia bisa belajar untuk ujian nanti malam.

......

Sore hari, setelah urusannya selesai. Alex mendatangi kantor papa nya untuk belajar mengenai perusahaan. Walaupun ia mengambil jurusan tentang bisnis di perguruan tinggi, tidak berarti ia bisa memimpin perusahaan setelah tamat. Sebelum memimpin, ia harus memiliki pengalaman langsung diperusahaan. Agar perannya sebagai pemimpin tidak akan diragukan. Setiap hari ia akan datang ke perusahaan untuk belajar langsung.

Sebelum ke perusahaan, ia pulang dulu ke rumah. Mengganti pakaiannya dengan yang lebih formal. Dengan jas hitam dan kemeja putih. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, Jika penampilannya seperti ini, ia hampir persis seperti papa nya. Wajah dingin dengan rahang tegas. Kemudian ia berjalan keluar, ke garasi, mengambil mobil hitam dan mengendarainya sendiri ke perusahaan. Jarak dari ke perusahaan hanya butuh 20 menit. Sebenarnya sopir ingin mengantarkannya tadi, tapi ia menolak. Ia lebih suka mengendarai mobil sendiri.

Setelah sampai di perusahaan, ia memarkirkan mobilnya dan berjalan menuju gedung perusahaan. Gedung perusahaan itu menjulang tinggi dan besar, hampir terdapat 30 lantai. Lantai pemimpin perusahaan berada paling atas. Saat ia masuk, penjaga menatapnya dengan hormat, mempersilahkannya masuk.

"Selamat datang tuan Alex"

Diperusahaan, ia dihormati seperti ayahnya. Semua pegawai menatapnya dengan hormat. Karena mereka sudah mengetahui bagaimana posisi Alex di perusahaan ini, sebagai pewaris tunggal yang akan memimpin perusahaan setelah papanya pensiun.

Ia berjalan terus, memasuki lift menuju lantai 30. Setiap harinya perusahaan sangat sibuk, bahkan menjelang malam masih ramai. Banyak pegawai yang memutuskan untuk lembur, untuk menyelesaikan tugas mereka sekalian mendapatkan bonus.

Alex mengetuk pintu ruangan dan masuk. Sebagai anak pemilik perusahaan, ia memiliki izin khusus untuk masuk ke ruangan pemimpin tanpa perlu mendapatkan izin. Ia masuk ke ruangan papa nya, memperhatikan papa nya yang bekerja dengan serius di mejanya. Diruangan lain, sekretaris papa nya juga tidak kalah sibuknya dengan dokumen-dokumen yang menumpuk di mejanya.

"Pa"

Perhatian pria paru baya yang saat ini sedang fokus di mejanya langsung terahlikan saat mendengar suara yang ia kenal, ternyata itu adalah suara putranya. Ia menghentikan aktivitasnya sejenak. Meletakkan kacamata nya di dalam kotak, kerutan di pelipisnya terlihat jelas.

"Kemarilah, nak"

Suara papanya tegas dan serak, menandakan si pemilik suara sangat lelah. Alex menghampiri papanya, berdiri di sebelahnya.

"Papa sudah mengajarkan mu tentang beberapa dokumen yang penting di perusahaan ini. Sekarang kau harus memeriksa nya, jangan sampai kau melakukan kesalahan sedikitpun. Kalau kau sampai melakukan kesalahan, maka apa yang kau lakukan bisa membahayakan perusahaan"

Papa nya menatapnya dengan wajah tegas dan dingin. Sepertinya ia tau darimana ia mendapatkan wajah seperti ini. Papa nya berdiri dan menyerahkan meja yang ia tempati pada putranya. Suatu saat nanti meja itu akan menjadi milik putranya.

Alex duduk di meja papa nya, mengambil lembaran kertas yang harus diperhatikannya. Sosok papa nya sudah hilang dari ruangan, begitupun dengan sekretaris papanya. Hanya menyisakan sosok dirinya sendirian di ruangan itu. Hanya suara balikan kertas yang terdengar.

Ia memperhatikan setiap detail isi dokumen, tidak ada sedikitpun kesulitan yang ia alami. Karena ia sudah mempelajarinya sejak umur 10 tahun. Bahkan sejak lahir, ia sudah dibawah ke perusahaan oleh papanya. Papa nya banyak menceritakan beberapa dokumen dan bagaimana ia harus menanganinya. Sehingga sampai saat ini ia sudah tidak asing dengan dokumen-dokumen ini.

......

Di ruang tamu, Olivia membaca beberapa buku dan kertas soalnya yang berhubungan dengan ujian yang akan datang. Ia sudah mengkonsultasikan dengan Wakil dekan mengenai apa-apa saja yang akan menjadi persoalan dalam ujian. Serta beberapa sumber dan referensi yang bisa digunakan untuk mempermudah dalam pelaksanaan ujian.

Olivia duduk di lantai, memperhatikan setiap isi materi dengan detail. Sampai ibunya datang dan membawakannya minuman dan beberapa roti sebagai cemilan. Ibunya duduk disebelahnya, memperhatikan kegiatan putrinya.

"Rajin sekali anak ibu belajarnya"

Ibunya mengelus kepalanya pelan, dengan senyum hangat dibibir nya.

"Iya, Bu. Oliv kan ingin mengikuti beasiswa itu. 1 bulan lagi ujiannya akan dimulai, jadi mulai sekarang Oliv ingin belajar lebih keras"

Olivia menatap ibunya dengan sayang. Ia ingin meringankan beban ibunya dengan mendapatkan beasiswa ini.

"Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan"

Ibunya menampilkan senyum hangat dibibir nya. Sebelum bangkit dan pergi untuk melakukan kegiatannya sendiri. Olivia akhirnya duduk di sendiri, di ruang tamu yang hanya ditemani dengan buku dan beberapa kertas soal.

......

Papanya sudah kembali ke ruangan setelah beberapa menit, memeriksa dokumen yang dikerjakan anaknya. Matanya menatap puas isi dokumen. Ada rasa kegembiraan didalam hatinya.

"Bagus Alex, dokumen yang kamu periksa semuanya sesuai dengan apa yang papa harapkan. Kalau kerja mu begini terus, papa akan merasa yakin untuk menyerahkan posisi perusahaan sama kamu"

Papanya menepuk pundaknya, meremas nya pelan. Mengatakan dengan nada bangga dibibir nya.

"Iya, Pa"

Alex hanya menjawab seadanya. Tidak ada kalimat lain yang bisa ia katakan lagi.

"Sekarang kita pulang, mama sudah menyiapkan makan malam"

Setelah menyusun tumpukan berkas-berkas, mereka memutuskan untuk pulang. Ia pulang dengan mobilnya sendiri, sedangkan papanya pulang dengan sekretaris nya. Ia mengendarai mobil dengan lambat. Memperhatikan padatnya aktivitas dijalanan, semakin malam terlihat semakin ramai.

........ Bersambung.......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!