Olivia menatap ibunya yang sedang menjahit pakaian pesanan pelanggan. Semenjak ayahnya meninggal 4 tahun yang lalu saat dirinya masih disekolah menengah pertama, ibunya bekerja sebagai serabutan untuk menghasilkan uang. Walaupun hasilnya tidak banyak, tapi bisa mencukupi kehidupan sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah nya. Olivia bahkan tak segan untuk membantu pekerjaan ibunya. Walaupun hasilnya belum terbilang cukup baik. Tapi ia senang bisa tetap membantu ibunya.
Setelah berdiri cukup lama, ia berjalan kearah ibunya. Ditangan kirinya ia memegang kertas yang diberikan wakil dekan di kampus tadi. Ibunya duduk di kursi ruang tamu. Olivia pun duduk disebelah kursi ibunya, menatap ibunya yang masih fokus menjahit. Ibunya menjahit pinggiran baju yang sepertinya baru saja dipotong. Potongan sisa baju masih berserakan dilantai.
"Bu, ada yang mau aku bicarain sama ibu?"
Olivia mengeluarkan suaranya setelah sekian menatap ibunya yang masih fokus menjahit pakaian dipangkuan ya. Ibunya menggunakan jahitan tangan jika hanya menjahit pinggiran setelah selesai dipotong, setelah itu baru dirapikan dengan menggunakan mesin.
"Iya"
Ibunya menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari pakaian yang dijahit. Tangannya masih memasuki jarum yang sudah berisikan benang ke permukaan pakaian yang akan dijahit.
"Aku punya kabar baik, Bu"
"Tadi teman aku memberikan kertas, di kertas itu berisi informasi mengenai Beasiswa+Biaya Hidup+Biaya Tempat Tinggal, bu. Aku juga sudah bertanya kepada wakil dekan soal itu. Menurut ibu bagaimana?"
Ibunya menghentikan pekerjaannya, menatap Olivia dengan senang. Tangannya memasukkan jarum kedalam gumpalan benang, melipat pakaian sampai rapi. Saat ini ia ingin fokus mendengarkan perkataan putrinya.
"Menurut ibu itu bagus, kamu mau ikut?"
Ibunya bertanya, menatap putri tunggalnya.
"Oliv mau, Bu. Seandainya Oliv lulus beasiswa, ibu tidak perlu lagi berkerja terlalu keras. Oliv, tidak ingin melihat ibu kerja terlalu keras"
Oliv merendahkan suaranya, terlihat jelas diakhir kalimat nya ditujukan untuk wanita paru baya yang merangkap sebagai ibunya dihadapannya ini. Ia sangat sedih melihat ibunya bekerja terlalu keras untuk dirinya. Pernah ketika, ibunya bekerja Samapi larut dan harus berakhir di rumah sakit. Saat mengingatkannya kembali, Olivia merasakan nyeri didadanya.
"Itu sudah menjadi tanggung jawab, ibu. Kalau pun kamu mendapatkan beasiswa itu berarti rezeki kamu. Tapi walau bagaimanapun ibu harus tetap berkerja untuk memenuhi kebutuhan kita yang lain"
Ibunya mendekatkan diri padanya, memberikan kata-kata yang menenangkan hati. Tak lupa menampilkan senyuman lembutnya.
"Seandainya ayah masih hidup, pasti ibu tidak akan berkerja sekeras ini"
Olivia berkata dengan sedih, peristiwa yang menimpah ayahnya saat melakukan pekerjaan, benar-benar menjadi pukulan yang besar bagi ia dan ibunya. Ia bukan hanya kehilangan kehidupannya, tapi juga kehilangan sosok ayah yang selama ini sangat ia sayangi. Sedangkan ibunya harus menjalani kehidupan yang berat. Bukan hanya bekerja keras sebagai tulang punggung keluarga, tapi juga harus kehilangan sosok suaminya yang sangat ia cintai.
"Sayang, ayah sudah tenang disana. Kalau Oliv sedih, nanti ayah juga akan ikut sedih"
Ibunya menatapnya dengan sendu, sebenarnya ia pun masih belum bisa melupakan peristiwa mengerikan itu. Tapi, ia tidak bisa berlarut-larut untuk terus bersedih. Masih banyak kehidupan didepannya yang sedang menanti. Ia tidak pernah sedikitpun menampilkan wajah sedih didepan putrinya, agar putrinya tidak terlalu memikirkan kesedihannya.
"Iya,Bu. Oliv tidak akan sedih lagi"
Oliv, menghapus setitik air mata disudut matanya. Bibirnya tersenyum melengkung keatas, memancarkan kelembutan seorang anak.
"Itu baru anak kesayangan ibu, untuk beasiswa ini, itu terserah kamu mau ikut atau tidak. Ibu yakin apapun yang kamu lakukan pasti ada alasannya. Yang penting kamu tetap rajin belajar, agar suatu saat mimpi kamu bisa tercapai. Ayah pasti bangga sama kamu, kalau kamu bisa berhasil"
Ibunya memeluknya erat, menyalurkan kasih sayang yang besar terhadap putrinya ini. Hanya Olivia yang ia punya sekarang, dan ia berjanji untuk selalu membahagiakan putrinya kelak.
"Iya, Bu. Aku janji"
Olivia membalas pelukan ibunya, meletakkan kepalanya di dada ibunya. Hingga akhirnya kedua orang dikursi itu meninggalkan kursi dan tidur dikamar masing-masing.
Rumah yang sekarang ditempati Olivia, merupakan rumah sewa yang sederhana. Hanya ada 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur dan juga ruang tamu. Mereka menempati rumah itu karena harganya yang murah, penyewanya juga orang baik yang tidak pernah menagih mereka kalau mereka tidak memiliki uang. Tapi, bagaimana pun keadaan mereka saat ini, ia dan ibunya tetap bersyukur. Masih bisa diberikan tempat yang nyaman untuk berteduh dan menghilangkan rasa lelah setelah beraktivitas.
......
Alex yang baru saja selesai belajar, turun dari kamarnya untuk kedapur. Mengambil air hangat untuk menghilangkan dahaga ditenggorokannya. Ia sengaja memilih air hangat dari pada air dingin. Air hangat membantu tubuh dan perutnya tetap hangat, sehingga tidurnya bisa terasa nyaman.
"Alex, papa ingin kamu segera belajar tentang perusahaan. Setelah kamu lulus nanti, kamu yang akan menggantikan papa sebagai pemimpin perusahaan"
Saat hendak kembali, ia mendengar beberapa kata keluar dari mulut papa nya. Saat ini, papa nya sedang duduk dengan mama nya di ruang tamu. Papa nya membaca koran dan mama nya menonton televisi. Saat berbicara dengan Alex pun, papa nya masih tetap menatap koran.
"Iya, Alex. Kamu adalah anak satu-satunya Papa sama Mama. Mama harap kamu bisa melakukannya yang terbaik untuk keluarga ini"
Mama nya yang masih menonton televisi pun ikut dalam percakapan, memberikan kalimat yang selalu sering ia dengar.
"Iya Ma, Pa. Alex pamit ke kamar dulu"
Jawaban Alex selalu sama sejak awal, suaranya rendah dan dingin. Berpamitan kepada orangtuanya sebelum masuk ke kamar. Sejak kecil, orangtuanya selalu mengatakan hal yang sama tentang perusahaan. Sehingga membuatnya hampir muak. Tapi ia segera menyadarinya, ia adalah anak satu-satunya. Kalau bukan dia, siapa lagi yang akan memimpin perusahaan. Untuk memenuhi harapan orangtuanya, ia akan memendamnya impiannya jauh dilubuk hatinya.
.....
Di dalam kamar, ia membuka jendela. Angin malam langsung masuk ke kamar nya, menggelitiki kulit tangannya yang hanya memakai pakaian pendek. Matanya menatap kosong pepohonan di depan arah jendela kamarnya. Sebelum suara ponsel berdering membangkitkannya dari lamunan.
"Hmm"
Ia mengambil ponselnya diatas meja, memencet tombol hijau.
"Al, ingat kan? Besok kau harus mengganti Bu ana untuk mengajar di kelas"
Itu adalah suara temannya Steven, suara diujung ponsel terlihat sangat senang. Seandainya ia seekor anjing, pasti ekornya sedang bergoyang saat ini.
"Ya, aku ingat"
Alex menjawabnya dengan nada malas. Ia sudah tau kalau besok akan masuk di kelas wanita itu, mengganti Bu Ana yang tiba-tiba sakit. Dikalangan dosen, Alex sudah terkenal akan kepintarannya. Tidak heran, gen orangtuanya menurun dengan sangat baik padanya. Sebagai mahasiswa semester 7 yang sebentar lagi akan mengurus skripsi, membuatnya harus banyak memiliki pengalaman. Termasuk menjadi asisten dosen atau menggantikan dosen yang tidak hadir.
"Berarti kau otomatis akan bertemu dengan Olivia kan, pasti seru kalau aku juga ikut denganmu"
Steven berkata dengan senang yang membuat Alex memutar matanya kesal.
"Tidak"
Alex menjawab dengan dingin.
"Ayolah, aku juga ingin melihat dia"
Sepertinya temannya ini benar-benar memaksanya untuk menerima keinginannya.
"Tidak, jangan berdebat denganku"
Alex menjawab dengan marah, mematikan ponselnya. Tanpa menunggu jawaban dari sisi lain. Menghela nafas nya kesal, menahan amarah. Temannya satu ini sangat suka memancing emosinya.
"...."
Ia melemparkan kembali ponselnya di atas meja. Berbaring diatas meja, menutup perlahan-lahan kelopak matanya. Berharap untuk bisa tertidur, tapi matanya tidak mau bekerjasama. Ia menatap langit-langit kamarnya, memikirkan sesuatu yang tidak pernah ia sadari.
Setelah sekian lama, matanya perlahan-lahan tertutup. Menghilangkan segala kerutan di pelipisnya. Nafasnya mulai teratur pelan, bersamaan dengan keheningan dimalam hari. Malam itu suasana kamar langsung hening, menyisakan seorang anak laki-laki yang terbaring nyaman ditempat tidurnya.
Jendela yang tidak ia tutup membuat angin malam masuk sesuka hati. Masuk kedalam ruangan dan menyapu tangannya. Ia menggigil sesaat sebelum menutupi dirinya dengan selimut. Sepertinya ia lebih menyukai angin malam daripada pendingin ruangan.
....... Bersambung.......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
edu2820
Ceritanya sangat kreatif dan menantang imajinasi. Semangat terus, thor!
2024-01-09
1