Nenek

 

Setiap hari sabtu aku pergi ke rumah Nenek. Nenek tinggal di kota yang sama denganku. Kami hanya berbeda rumah. Rumahku terletak di tengah kota sedangkan Nenek tinggal lebih ke pinggir, ke tempat yang didominasi sawah dan lading tebu. Yang apabila malam terdengar suara jangkrik bersaut – sautan dan di musim hujan selalu terdengar kodok bernyanyi membentuk irama alam.

Pekarangan Nenek sangat luas dengan berbagai macam pohon buah – buahan. Di sebelah rumah ada satu tempat penggilingan padi milik Nenek yang cukup ramai dikunjungi orang. Dilihat dari segi ekonomi, dia sangat berkecukupan. Itulah mengapa aku merasa aneh kalau hidup Papa sangat sulit ketika aku masih beru lahir. Sudah beberapa skenario kejadian yang aku reka – reka di dalam otakku. Semuanya buruk, tidak ada satu saja yang baik.

Sikap Nenek sangat baik padaku. Itu kalau tidak ada saudara sepupuku lain yang sedang berkunjung ke rumah Nenek. Kalau hanya aku sendirian di sana, dia akan menyambutku seperti seorang putri. Kalau saudara – saudara sepupuku ada di sana, sepertinya segala tindakanku salah di matanya dan Nenek mulai membading – bandingkan aku dengan mereka. Seharusnya dia tahu kalau tidak mudah bagiku menyayangi dia. Ketika pertama kali bertemu Nenek dulu lima tahun lalu, dia hanyalah seorang wanita asing walaupun dia menangis haru ketika memelukku.

Nenek tidak suka memanggilu ‘May’. Katanya ‘May’ adalah nama orang Belanda dan aku adalah orang Indonesia. Tidak pantas orang Indonesia memakai nama ‘May’. Karena itu dia lebih suka memanggilku ‘Hari’ atau ‘Har’ saja. Dan kalau dia sedang tidak mood, dia akan memanggilku ‘Harrrrri’. Aku sama sekali tidak senang dipanggil seperti itu, seperti nama cowok.  

Hari ini beberapa kali Nenek pergi ke penggilingan padi. Melihat beberapa pekerja yang katanya pekerjaannya tidak pernah beres. Ada saja yang kurang. Kurang ini … itu … dan beberapa istilah lain yang tidak aku mengerti.

Nenek terlihat kepanasan. Dia memegang kipasnya dan mengipas wajahnya yang mengkilat, duduk di sebuah kursi kuno berplitur coklat dari kayu jati dan diberi regangan dari rotan yang dijalin bentuk bulat – bulat. Aku duduk di sampingnya sambil membaca sebuah catatan dari sekolah. Menunggu waktu yang tepat untuk menanyakan masalah yang sedikit berat.

“Nenek sudah lama tinggal di sini?”

Nenek memandangku sesaat, kemudian mengayunkan kipasnya lagi. “Sudah dari dulu sekali Harrrrr … “ Dia sedang tidak mood. Lebih baik tidak kuteruskan.

“Jauh sebelum Papamu lahir Nenek sudah tinggal disini. Rumah dan penggilingan padi ini sebenarnya punya kakek buyutmu. Sudah lebih dari empat generasi keluarga kita, selalu tinggal disini.”

Nenek sedang tidak mood tapi mau bercerita tentang hal ini. Ini adalah suatu keajaiban dan pantas dirayakan. Cepat – cepat saja aku buang keinginan itu, takut merusak suasana.

“Disini ini Nenek tinggal dan dibesarkan. Sejak dulu dari sekarang kalau tidak untuk suatu urusan yang sangat penting, Nenek tidak pernah meninggalkan tempat ini. Selain karena Nenek sudah cinta dengan tanah ini, tapi juga karena Kakak buyutmu tidak pernah mengijinkan.”

Aku diam saja. Pikiranku yang punya daya tidak terbats untuk berimajinasi melayang ke puluhan tahun yang lalu. Seakan – akan aku bisa melihat bagaimana rupa rumah ini, bagaimanakah cara orang – orangnya berpakaian, bagaimana mereka berbicara atau bersikap ketika saling bertemu di jalan. menurutku semuanya ini sangat menakjubkan karena jaman telah berubah begini cepatnya.

“Sebetulnya Har… “ Mood nenekku sudah membaik sekarang. “Rumah ini seharusnya ditempati Papamu dan keluarganya sepeninggal Nenek nanti karena dia adalah anak yang pertama” sebenarnya tanpa diminta dan aku usahakan, jalan menuju terjawabnya pertanyaanku sudah di ambang pintu.

“Kakekmu itu sebenarnya adalah salah seorang sepupu Nenek …” arah pembicaraan Nenek berubah. Aku putuskan untuk tidak meluruskan. Tapi kalau Kakek yang seumur hidupku tidak pernah aku temui kecuali fotonya itu ternyata adalah sepupu Nenek, itu masih baru bagiku.

“Sepupu Nenek ?” Aku bertanya sambil melihat buku pelajaranku, pura – pura tidak tertarik.

“Iya, orang dulu itu untuk mempertahankan harta keluarga supaya tidak jatuh ke orang lain, mereka melakukan pernikahan antar saudara sering terjadi …”

“Ooooo “ Itu saja yang keluar dari mulutku.

“Apalagi waktu itu Kakek buyutmu tidak mempunyai anak lain selain Nenek …” Ternyata Nenek adalah seorang anak tunggal. Sama seperti aku. Aku jadi merasa kami berdua punya satu persamaan yang semoga saja bisa mempererat kami berdua. Semoga saja.

Perbincangan kami berlalu ketika senja datang dan angin mulai bertiup sedikit lebih kencang daripada sebelumnya. Nenek menyuruhku cepat mandi. Papaku saja jarang menyuruhku mandi karena dia tahu aku pasti akan mandi. Tapi berbeda dengan Nenek. Menurut dia tidak pantas seorang gadis sepertiku mandi terlalu malam. Peraturan apalagi ini? Ingin saja aku mendebatnya. Kalau aku tidak teringat pesan Papa, pasti sudah ada beberapa perkataan yang keluar dari mulutku. Kalian jangan berpikir aku ini gadis yang kurang ajar atau tidak mengerti sopan santun, tapi Papaku sudah mendidik aku untuk tidak menyimpan segala sesuatu di dalam hati. Kalau ada apa – apa harus cepat dikatakan meskipun kadang – kadang terdengar menyakitkan atau dianggap kurang ajar. Untung saja dengan waktu yang berjalan, aku tahu bagaimana berusaha menyampaikan pendapat dengan baik meskipun tidak selalu berhasil. Tapi di rumah Nenek, aku tidak boleh berusaha berpendapat atau menentang. Apalagi kalau ada sepupuku yang lain, pasti perbandingan yang dibuat Nenek antara aku dan mereka akan semakin membesar dan mungkin suatu saat nanti aku tidak akan dianggap lagi sebagai salah seorang cucunya. Aku pernah bertanya pada Papa kenapa aku harus menyayangi Nenek. Aku rasa selama aku belum mengenal dia hidupku tidak pernah ada yang kurang. Pernah juga aku iri kepada keluarga beberapa temanku tapi aku selalu merasa bahagia bersama Papa.

“Kamu harus sayang sama dia May”

“Mengapa Papa ?”

“Karena …. “ Aku masih ingat wajah Papa yang bingung saat itu.

“Karena dia itu ibuku May. Nenekmu. Kalian berdua punya pertalian darah”

“Jadi kalau begitu, setiap orang yang punya pertalian darah harus saling menyayangi, Pa?”

“Bukan ‘harus’ May. Tapi karena rasa sayang muncul karena naluri. Munculnya dari dalam hati“

“Papa, bagaimana bisa aku sayang pada seseorang yang baru beberapa hari lalu aku temui. Apa Papa pikir itu masuk akal ?”

“Karena itu kau harus dekat dengannya May. Sesekali menginap di rumahnya atau sekadar berkunjung. Dia adalah orang yang baik May. Kamu akan sayang kalau kamu belajar dekat dengan dia ”

Saat itu aku hanya terdiam. Kalau memang rasa sayang bisa dipelajari, apa juga bedanya rasa sayang dengan pelajaran matematika yang aku pelajari sejak aku duduk di bangku SD. Aku sampai sekarang belum tahu jawabannya. Mungkin kalian tahu, atau mungkin aku akan tahu kalau nanti suatu saat aku jatuh cinta.

Tapi ngomong – ngomong, melewatkan malam di rumah Nenek adalah sesuatu yang menyiksa. Nenek punya TV, tapi tidak dia ijinkan untuk kuhidupkan selepas pukul sembilan malam. Bayangkan, jam sembilan malam di rumah Nenek seperti tinggal di dalam sebuah gua dengan penerangan minim. 

Kecuali, kalau TV itu dihidupkan oleh Ayahku, pamanku atau sepupu – sepupuku yang laki – laki. Jadi aku pikir masalahnya disini bukan boleh atau tidak boleh. Tapi ini sudah menyangkut gender. Nenekku adalah seorang wanita. Aku juga wanita. Tapi mengapa dia memperlakukan aku yang perempuan ini sama dengan dia memperlakukan sepupuku yang laki – laki ?

Malam ini seperti malam yang lainnya di rumah Nenek. Sepi tak tertahankan. Tambah sepi dengan adanya TV yang tidak boleh kutonton. Syukur aku punya HP yang sinyalnya tidak begitu kuat di tempat – tempat seperti ini. Aku mainkan beberapa games sampai bosan. Aku ingin kirimkan pesan ke beberapa teman tapi aku urungkan. Takut aku lebih merana lagi dengan mengetahui mereka semua melewatkan malam yang indah di bioskop – bioskop mentereng atau café – café keren. Aku kangen Imelda. Biasanya hanya dia yang bisa aku ajak ngobrol kalau Papa tidak ada atau lagi tugas mengejar berita di luar kota. Sekarang di rumah Nenek tidak ada Imelda. Aku harus mengobrol dengan siapa?

Tidak aku sangka, HPku bergetar dan layarnya bersinar. Seseorang rela pulsanya berkurang untuk menelponku. Aku raih HPku dan kulihat siapa itu yang menelponku. Nomor asing tapi bukan nomor rumah. Nomor HP seseorang yang belum dikenali HPku.

“Hallo … “ Aku berkata selembut mungkin supaya kalau itu lelaki maka dia akan terpesona oleh suaraku.

“Betul ini Matahari ?” 

Follow me on IG @eveningtea81 for daily quote or short story! 

Terpopuler

Comments

Mbok Njai

Mbok Njai

may dan har

2020-06-14

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!