“Bangun May …” Papa mengguncang – guncangkan badanku. Salah satu hal yang tidak aku sukai dari Papa adalah dia tidak pernah lembut kalau membangunkan aku. Mataku terbuka sedikit melihat Papa yang berkeringat dengan bau yang tidak bisa dibilang sedap. Bau ‘jalan’ yang Papa dapatkan karena setiap hari harus pulang balik Malang – Surabaya dengan sepeda motor besarnya. “Ngantuk Pa, capek banget …” Aku hendak menutup mata lagi.
“Jangan dipelihara itu ngantuk sama capek. Hidup itu harus berusaha May. Tidak akan ada tempat yang tersisa untuk pemalas dan Papa harap kamu bukan salah satu diantaranya….” Papa mulai lagi dengan kotbahnya.
“Kamu masih belum benar – benar merasakan betapa beratnya hidup orang di luar sana. Kamu harus banyak bersyukur karena masih punya Papa. Orang lain yang tidak seberuntung dirimu malah tidak mengetahui wajah dua orang tua mereka “ Papa selalu marah selepas dia pulang bekerja. Apalagi kalau rumah tidak dalam keadaan bersih alias amburadul. Pasti deh Papa meledak tidak karuan. Tapi setelah dia mandi, membuat kopi untuk dirinya sendiri dan meluangkan waktu bersamaku sambil melihat salah satu episode Discovery Channel, pasti Papa berubah lembut.
“May ?!!” Papa berteriak seperti tidak percaya. “Bisa – bisanya kamu tidur lagi. Hari ini khan kamu harus kasih les. Papa ngomong banyak tadi tidak kamu dengarkan ?“
Begitu mendengar kata ‘les’ aku langsung bangun. Kulihat jam di dinding sudah menunjukkan jam enam lewat sekian menit. Di layar HP, aku lihat sebuah pesan masuk. Dari Tonia, murid lesku.
Mbak May, kasih les khan hari ini?
“Kenapa Papa gak mau bangunkan May ?” aku cepat – cepat ke kamar mandi. Mengguyur badanku sekenanya. Menyabun badanku dan sikat gigi hampir pada saat bersamaan. Rumit memang, tapi selalu berhasil dengan Matahari.
“Papa tidak bangunkan kamu ?” Papa benar – benar jengkel kalau didengar dari suaranya. “Ngapain Papa ngomel – ngomel gak karuan May. Ngomel itu membutuhkan tenaga.”
“Iya, tapi Papa khan bisa langsung bilang kalau ini waktu les tanpa diberi pendahuluan bermacam – macam,” Aku keluar dari kamar mandi sambil melilitkan handuk di rambutku.
“Apa yang harus Papa katakan supaya bisa benar di depanmu May ?” aku dengar suara Papa dari balik pintu kamarku. Aku cepat – cepat pakai celana jeans dan menyambar t-shirt apa saja yang sempat aku raih dengan tanganku. Pakai bedak sedikit, menyisir rambut seadanya dan pergi cepat – cepat dengan sepeda tuaku.
“Berangkat Pa” Aku kayuh sepedaku cepat – cepat. Untung saja rumah Tonia hanya beberapa blok dari dari rumahku.
“Maaf, ada sedikit masalah dengan sepeda saya tadi,” aku berkata kepada Mama Tonia sesampainya aku di rumah Tonia.
“Gak pa pa kok Mbak May,” kata Mama Tonia. Syukur, Mama Tonia tidak memberikan tampang masam sungguhpun aku percaya kalau kalimat ‘gak apa – apa Mbak May’ juga belum tentu gak apa – apa. Pasti masih ada bonus kesel dan mangkel yang dia tak nyatakan dengan kata – katanya. Aku seringt berpikir kalau orang – orang di sekitarku bisa dengan leluasa mengatakan apa yang ada di hati dan pikiran mereka, mungkin akan terjadi kebaikan dan mungkin juga akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Seperti uang logam yang mempunyai wajah di kedua bagian sisinya. Aku pernah berangan – angan andai saja semua orang bisa didebat tanpa perasaan marah seperti yang ada di film – film Amerika. Seorang murid meminta penjelasan masuk akal dari guru dengan leluasa dan bebas, dan guru juga menganggap itu sebagai suatu proses belajar. Bukannya sebagai tindakan kurang ajar.
Aku cepat – cepat masuk ke kamar Tonia dan menyapanya dengan senyum yang aku poles sedemikian rupa sehingga tampak ramah dan hangat. Aku harus tampak selalu senang dan tanpa beban ketika memberi les. Tidak peduli bagaimana perasaanku atau masalah apa yang aku hadapi, aku harus tampak sabar, menyenangkan dan siap menghadapi segala kemungkinan. Itulah yang namanya sikap professional. Kata – kata itu tidak berasal dari pikiranku sendiri. Tapi karena Papa yang berulang – ulang mengatakannya padaku.
Aku memberi les Bahasa Inggris dua kali seminggu untuk Antonia setiap senin dan kamis. Bukan hanya Antonia saja murid lesku, tapi ada seorang yang lain, Dodo yang les setiap selasa dan jum’at. Dengan uang tabunganku dari memberi les, mungkin aku akan bisa memberli motor sebelum umur 21. Dari memberi les juga, aku bisa membeli HP dengan subsidi Papa tentunya. Untuk setiap barang yang aku beli, harus ada sebagian yang ebrasal dari usahaku sendiri. Sebelum punya HP, selalu saja aku berdebat sama Papa tentang hal ini.
“Kenapa Papa gak mau belikan aku HP?”
“Kamu masih belum perlu.”
“Papa, teman – temanku hampir semuanya punya HP. Orang sekarang tidak harus membeli sebuah barang hanya karena keperluan” Aku mendebatnya. Aku tidak boleh menyerah. Hanya perlu argumentasi tepat, Papa pasti mau mengerti.
“Papa tidak membesarkanmu untuk menjadi orang yang seperti itu” Papa bilang.
“Papa, aku ini cewek 17 tahun. Aku adalah mahluk sosial, maka aku tidak bisa menutup mata dengan apa yang dimiliki dan dilakukan oleh remaja – remaja lain seusiaku. Apalagi kalau sampai ada yang memandang dan berbicara padaku ‘oh, kamu tidak punya HP yah? Maaf…” dengan pandangan haru penuh penyesalan.
“Yah, May tahu Papa. Tapi setidaknya Papa pernah berumur 17 tahun dan Papa perlu barang – barang tertentu untuk tampil penuh percaya diri”
“Papa tahu dan sejalan dengan waktu, Papa hanya membutuhkan otak dan diri sendiri untuk bisa tampil percaya diri”
“Papa perlu waktu. Berarti ada proses bukan ?”
“Benar” Papa menjawab tidak rela. Seakan – akan dia sudah tahu apa yang akan keluar dari mulutku.
“Biarkan May melalui proses seperti yang pernah Papa alami sehingga suatu saat nanti May benar – benar sadar apa yang May butuhkan untuk bisa tampil percaya diri”
Papa menarik nafas dalam – dalam. Mengurut – urut pertemuan antara pangkal hidung dan keningnya. Mencoba menimbang – nimbang sesuatu. Melihat baik dan buruknya.
“Kamu harus berusaha kalau kamu benar – benar ingin Hp May” Ada titik cerah timbul dalam perkataan Papa.
“Maksud Papa ?”
“Papa akan berikan uang” Aku tersenyum senang …
“Eit … eit … jangan senang dulu. Dengarkan Papa,” Aku mengangguk.
“Papa akan beri kamu uang. Tapi tidak seluruhnya. Hanya sebagian. Sisanya harus kamu cari sendiri dan Papa tidak mau diributkan masalah mengisi pulsa HP mu setiap bulannya. Hanya itu yang bisa Papa tawarkan. Bagaimana ?” Mata Papa sangat serius sehingga aku tidak berani tersenyum walaupun aku sebenarnya ingin.
“Papa, itu sudah lebih cukup …” aku memeluk Papa. Mungkin tidak banyak gadis yang memeluk Papanya tanpa rasa risih di lingkunganku, dan aku senang karena aku termasuk salah satu di antaranya.
Jawaban Papa seperti itu sudah aku duga sebenarnya. Karena dari aku kecil, setiap aku ingin sesuatu, aku harus berusaha sebisanya dan Papa membayar kekurangannya.
Kuhadapi Tonia yang sedang mengerjakan soal latihan yang aku berikan. Anak ini tidak pernah mengeluh dan selalu bergairah untuk belajar. Kalau aku amati benar – benar, sebenarnya Tonia tidak membutuhkan tambahan les Bahasa Inggris. Hanya orang tuanya saja yang memaksa dia mendapat tambahan les ini dan itu. Hanya untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa anaknya pintar. Aku sih kurang ambil peduli dengan itu. Selama Tonia sendiri tidak keberatan dan aku bisa membiayai sebagian hidupku dengan itu … apanya yang salah ???
Setelah satu jam baru aku meraih minuman yang sudah disiapkan Mama Tonia. Dan aku pulang, terbebas untuk tugas hari ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Titik Widiawati
bersyukurlah may...
aq bli hp pake uangku sendiri klo dulu pemberian orang klo sekarang hasil kerja...tidak pernah sekalipun Ortu kasih uang buat bli hp...
2020-11-29
1
Caramelatte
jangan kasi kendor thorr
semangat terosss
2020-11-28
1