Perihal sampai orang tua Tonia percaya aku yang masih kelas dua SMU ini memberi les anaknya karena di kota tempat tinggalku aku cukup disegani dalam hal bahasa Inggris. Beberapa kali aku menjuarai lomba debat dan pidato di daerah kota dan propinsi sampai – sampai ketika aku ingin mengikuti kompetisi lagi, aku tidak diijinkan oleh sekolahku. Alasan mereka adalah supaya aku memberi kesempatan pada teman – teman yang lain. Meskipun agak tidak terima, rasanya tidak sopan kalau aku mendebat keputusan itu. Aku memang tidak hidup di hutan sehingga harus banyak bertenggang rasa.
Aku mengayuh sepedaku tidak seberapa kuat. Membiarkan angin malam yang lumayan dingin memberikan rasa tenang dalam diriku. Aku sangat menikmati bersepeda. Melewati jalan – jalan yang tidak begitu bising. Melihat warung – warung kecil, sawah – sawah yang membentang seperti kasur yang sangat empuk dan segudang pemandangan lain yang tidak akan bisa didapatkan teman- temanku yang terbiasa dengan AC mobil. Tidak berapa lama aku sampai sudah di depan rumah. Membuka pintu dan kulihat Papa sudah asyik dengan Discovery Channel. Hawa di dalam rumah lebih tinggi beberapa derajat hinggat terasa hangat. Papa terlihat sangat santai dengan celana pendeknya. Celana pendek itu – itu saja yang dia pakai. Seakan – akan tidak ada lagi yang lain. Aku masuk kamar mengganti pakaian kemudian berkumpul bersama Papa. Menyaksikan ikan paus kecil yang berenang di sekitar induknya yang besar setelah persalinan.
“Papa … “
“Hmmm ?”
“Ceritain ke May dong waktu dulu May dilahirkan ?”
Papa menghela nafas kemudian menjawab, “meskipun kamu tidak punya Mama tapi setidaknya kamu tahu sangat mustahil kalau Papa melahirkanmu. Papa ini laki – laki khan May”
“Tapi bukan berarti Papa tidak tahu bagaimana May dilahirkan khan Pa? atau, jangan – jangan … memang benar kalau …. “
“Ingat May. Papa pernah bilang kalau jangan ada kata – kata yang tidak perlu keluar dari mulut Matahari“
“Yah, untuk itulah Ndaru Pambudi harus bercerita” Aku menyebutkan nama lengkap Papa. Tidak tahu hanya perasaanku saja atau bagimana, tapi aku merasa kalau Papa harus bercerita tentang sesuatu yang melinatkan Mama itu sama saja dengan menorehkan luka di hatinya.
“Kamu tahu khan kalau kamu dilahirkan karena cinta?”
“Satu kali Papa kasih tahu dulu. Tapi May tidak tahu bagaimana rupa cinta itu?”
“Rupanya seperti, ice cream”
“Ice cream?” Aku mengangkat sebelah alisku. Suatu tanda kalau aku tidak mengerti. “Apa maksudnya?”
“Papa juga tidak tahu. Kita suka makan ice cream ketika kita merasa bahagia. Tapi kadang kala kita juga makan ice cream kalau kita sedang kesal. Tapi anggap saja ice cream yang Papa ceritakan kamu makan ketika kamu sedang merasa bahagia. Apa yang kamu rasakan ?”
“Nikmat?” aku sedikit ragu – ragu.
“Sangat tepat May. Sangat nikmat. Kamu ingin mengulanginya lagi?”
“Asalkan perutku tetap bisa muat dan aku tidak merasa mual, aku kira saat – saat aku makan ice cream tidak akan aku inginkan berkahir”
“Betul May. Begitulah Papa ketika Papa menantikan kelahiranmu. Rasanya sangat nikmat. Bercampur gelisah tidak karuan, nikmat dan apalah rasa yang lain. Tidak bisa Papa gambarkan.”
“Bagaimana Mamaku ?”
“Papa sudah tahu kalau pertanyaanmu akan menyambung kearah itu”
“Iya Papa. Tapi khan aku ingin tahu”
“Dan kamu tahu jawaban Papa bukan?”
“Ceritakan sedikit saja Pa”
“Yang bisa Papa bilang hanyalah saat itu fasilitas yang ada tidak sebagus sekarang. Hidup kami berdua sangat sulit. Untuk membeli beras saja harus berhutang kesana – kemari. Beberapa lama kami berdua tidak bisa ‘menebus’ kamu dari Rumah Sakit karena kami tidak punya uang. Karena kamu lahir premature May, maka kamu harus masuk ke dalam incubator. Baru sekitar beberapa hari kemudian seorang kenalan Papa bersedia meminjamkan uang yang baru Papa bisa lunasi ketika kamu berumur sekitar satu tahun. Masuk ke dalam incubator saat itu sangat tidak bisa dibilang murah. Kalau seorang bayi harus masuk dalam incubator, sudah terbayang akan berapa uang yang harus dikeluarkan orang tua bayi. Termasuk kami saat itu”
“Lalu”
“Karena kami berdua sadar kalau kamu lebih lama di rumah sakit maka akan lebih banyak uang yang kami keluarkan, maka kami memutuskan membawa kamu pulang. Setiap hari, Mamamu dan Papa bergantian menjaga kamu. Tubuhmu sangat kecil dan kulitmu berkeriput saat itu. Seperti kulit Nenek kamu sekarang.”
“Masak seperti itu Pa ?” Aku tidak percaya kalau kulit bayi yang baru lahir memang keriput.
“Memang seperti itu May. Setiap kali kami berdua harus menidurkanmu di ranjang yang ke dua sisinya kami beri botol yang diisi air panas supaya kamu tetap merasa hangat seperti di incubator. Kalau airnya dingin, kami beri lagi yang baru. Begitu seterusnya …”
Aku diam mendengar Papa bercerita.
“Kami tidak sanggup membelikanmu bubur. Tapi Mama kamu tidak kekurangan akal. Dia membuat nasi lunak yang dia campur dengan pisang. Kadang kalau ada uang berlebih, Papa belikan kamu kacang hijau untuk dibuat bubur. Begitu itu awal – awal kamu ada di dunia ini May. Sangat penuh perjuangan. Meskipun keadaan serba sulit, tapi kamu adalah hadih dari surga buat kami berdua. Kamu lahir dikelilingi cinta “
“Kenapa Pap …?” aku ingin bertanya sesuatu, tapi aku putuskan untuk menyimpan saja pertanyaan itu sampai waktu yang belum aku tentukan kapan.
“Papa, May pingin tidur dulu “ Aku mengecup pipi kiri Papa menuju ke tempat tidurku membayangkan betapa sulitnya kehidupan orang tuaku saat itu. Umur Papa sekarang tiga puluh tujuh. Berarti Papa mendapatkan aku ketika dia berumur sekitar dua puluh tahun. Lebih tua sepuluh atau sebelas tahun dari aku sekarang dan dia sudah harus bertanggungjawab terhadap seorang anak yang baru lahir dan seorang istri, Mamaku. Ajaib kalau melihat diriku sekarang. Aku bisa tidur dengan di kamar yang paling nyaman di seluruh dunia tanpa mendapat kesulitan yang berarti. Aku juga bersyukur kalau Tuhan sudah menciptakan beras, susu dan kacang hijau sehingga aku bisa hidup. Aku tidak kekurangan gizi ataupun zat – zat lain yang berguna bagi pertumbuhan otak dan tubuhku karena semua bahan itu diambil dari alam. Sama seperti aku tidak pernah malu dengan sepeda tuaku maka aku tidak akan malu memakan salah satu makanan dari singkong. Alam memang telah menyediakan segalanya. Hari sudah malam. Suara TV masih terdengar di ruang tengah. Tidak ada suara jangkrik terdengar seperti di rumah Nenek karena rumahku juga dikelilingi rumah, tidak ada tanah lapang. Kupandang Imelda masih bergerak – gerak di dalam aquarium.
“Sudah malam Imelda. Waktunya tidur …”
“Aku mau begadang malam ini “
“Kau akan kesiangan besok pagi”
“Aku khan tidak sekolah besok May”
“Ooops, maaf aku lupa Imelda. Selamat malam”
“Selamat malam Matahari”
Aku menutup mataku, berharap tidak lagi bermimpi tubuhku berubah menjadi super gemuk.
Find me on IG @eveningtea81 for daily quote and short stories
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Caramelatte
semangat thor!
Salam dari "Belong to Esme"
2020-11-28
1