004
Pertemuan kembali
Kadang rindu tidak harus dikatakan. Cukup dirasakan dan orang lain tidak perlu tahu.
.....
Kelas Pak Budi langsung riuh dengan jeritan para mahasiswi di sana. Sumber keributan itu justru hanya terfokus pada satu-satunya gadis yang terdiam kaku. Entah kenapa dia suka wajah Aleta yang terkejut seperti itu. Ah, tapi rasa suka itu sedikit bercampur geram saat sadar Marco- anak The Charmer, duduk di depan gadisnya. Ingin sekali Elvan menyeret anak itu agar menjauh!
"Silahkan perkenalkan diri kamu."
Elvan pun tersenyum sopan pada Pak Budi. Laki-laki pemilik rambut secokelat susu itu menatap lurus pada gadis bersurai sebahu di belakang Marco.
"Hai, gue Elvan. Gue pindah dari London dan kembali lagi ke Indonesia. Gue harap kita bisa berteman baik."
Mendadak senyum menyebalkan keluar dari bibir Elvan. Sepertinya dia sengaja membuat Aleta kesulitan bernapas saat ini.
"Itu aja, Pak," katanya kembali tersenyum pada Pak Budi.
Pak Budi pun mengangguk dan mempersilahkan Elvan untuk duduk. Laki-laki itu menjelajah, satu-satunya kursi kosong terletak cukup jauh dari Aleta.
"Sialan!" makinya dalam hati.
......
"Aleta!"
Aleta, gadis si pemilik nama itu mendadak berhenti melangkah. Ah, betapa bodohnya dia, padahalkan dia ingin menjauh dari pemuda itu! Ingin pergi dan tidak bertemu lagi, tapi kenapa ia lemah hanya karena panggilan itu?
Elvan berjalan tergesa mendekati Aleta. Dia cukup teregah karena menerobos beberapa mahasiswi yang ingin berkenalan dengannya.
"Apa?" jawab Aleta yang ingin ketus, tapi justru terkesan serak dan bergetar.
Marco yang ada di sana masih terdiam. Tangannya menggenggam erat tangan Aleta seperti enggan melepas. Dia takut, takut Aleta akan kembali pada Elvan. Takut, takut usahanya selama 3 tahun ini akan sia-sia.
Elvan tersenyum meski dalam hati ingin memaki tangan Aleta yang bertautan dengan Marco. "Lama gak ketemu," katanya sebiasa mungkin sambil mengulurkan tangan. Sengaja, agar tautan tangan itu terlepas karena menyambutnya.
Ada rindu di mata Aleta. Ada rasa ingin memeluk yang begitu ketara. Tapi semua harus ia tahan karena kepergian Elvan tidak dapat dimaafkan.
"Lama tidak bertemu." Aleta pun menyambut uluran itu.
"Bisa bicara berdua?" tanya Elvan melirik Marco yang berdiri bak tampa dosa di sana.
Aleta menarik tangan Marco erat, mencegah laki-laki itu pergi. Dia tidak sanggup jika hanya berdua, hatinya masih plin-plan soal Elvan. Harus membenci atau merindu, Aleta tidak tahu.
"Ta, gue rasa lo butuh waktu. Gue di kantin, ya!" Marco akhirnya berjalan tanpa menunggu jawaban Aleta.
Elvan tersenyum lebar, senang bukan main saat bisa kembali berdua dengan Aleta. Ah, rasa itu hadir lagi!
"Mau cari tempat yang lebih nyaman?" tawar Elvan mencoba menahan agar mulutnya tidak langsung mencerca Aleta dengan seribu pertanyaan anehnya.
"Gak usah. Di sini aja."
Elvan tersenyum kecut. Entah kenapa ia merasa Aleta menyiptakan jarak dengannya. "Oke."
"Gimana kabar lo?" tanya Elvan memulai percakapan.
"Seperti yang kamu lihat."
"Gue-"
"Lo jahat!"
Elvan menatap Aleta bingung. Padahal dia belum berkata apapun, lagi pula Aleta sedari tadi tampak ketus kepadanya. Meski begitu pesonanya masih ada, gadis yang tiga tahun ini dia rindukan itu terlihat sangat berbeda. Rambut Aleta menjadi sebahu dengan wajah lebih dewasa dan semakin cantik. Dia menangis, namun terlihat begitu menggemaskan. Uh ... rasanya Elvan ingin mendekap gadis itu erat.
"Why? Gue balik karena pengen jadi yang terbaik buat lo," katanya kemudian. Dia bersungguh untuk apa yang dia ucapkan. Elvan tidak ingin yang dulu terulang kembali.
"Lo pergi tanpa pamit, lo gak nungguin gue sadar dulu!"
"Ta, waktu itu mepet, Papa butuh gue," jelas Elvan perlahan.
"Lo harus tahu, saat lo pergi, gak lama setelah itu gue sadar. Kenapa? Kenapa lo gak nunggu sebentar aja? Gak temuin gue buat terakhir kali sebelum lo pergi?"
Elvan bungkam. Fakta bahwa Aleta sadar tak lama setelah dia pergi berhasil membuatnya kosong. Kalimat tanya kenapa dia tidak diberi tahu langsung muncul di otaknya. Kalimat Aleta yang berhasil membuatnya merasa menyesal. Kalau tahu begini, mungkin dia akan menemui Aleta dulu, bukan malah bergelut dengan dilema dan tak berani memasuki ruangan itu. Kalau saja dia bisa mengulang, pasti dia akan mengulang saat itu. Sayangnya, semua sudah terlewatkan, sudah termakan waktu, dan berhasil menimbulkan luka baru pada gadisnya.
"Lo tinggalin gue saat gue butuh!" teriak Aleta kemudian meninggalkan Elvan begitu saja. Dia tidak sanggup berlama-lama, terlebih Elvan yang terdiam cukup lama tidak merespon apa yang ia katakan.
"Dan sekarang gue kembali buat perjuangin lo!" teriak Elvan tersadar sambil menatap punggung Aleta yang semakin menjauh.
Dia ingin menahan Aleta sebenarnya. Dia ingin berbicara banyak tentang apa yang 3 tahun ini mereka lalui dengan berpisah. Namun, Elvan sadar, Aleta masih butuh waktu. Besok, besoknya, dan besok-besok-besoknya dia pasti akan mendekati Aleta lagi.
"Semoga saja belum terlambat."
......
"Hai, kenapa?" tanya Aksa kaget saat Aleta tiba-tiba menubruknya. Marco yang ada di sana juga ikut panik, takut kalau Elvan melukai gadis itu.
Aleta menangis, punggungnya bergetar hebat saat ini. Tanpa kata juga suara, dia menumpahkan air matanya di dada Aksa.
Aksa mengelus punggung Aleta lembut. Menciptakan ketenangan yang semoga saja berhasil membuat gadis itu berhenti menangis. Rasanya masih sama, perih dan sakit saat melihat gadis ini menangis.
"Kenapa? Apa Elvan berbuat macam-macam?"
Aleta menggeleng.
"Ta, cerita yu, sambil makan deh! Gue udah pesenin lo nih!" bujuk Marco yang kini ikut duduk di sebelah gadis itu.
Aleta kembali menggeleng.
"Nangis aja:sepuas lo, tapi habis ini cerita, ya?" kata Aksa mencoba mengerti Aleta.
"Hiks." Aleta menegakan tubuhnya. Wajahnya yang memerah dengan jejak air mata itu akhirnya terangkat.
"Udah mendingan?" tanya Marco.
"Udah," jawab Aksa tanpa dosa.
Marco langsung menabok Aksa keras. Sebal juga gemas dengan kelakuan Aksa. Harusnya Aleta yang menjawabnya, bukan Aksa.
"Gue tanya Aleta!"
"Gue mewakilkan Aleta. Lo gak lihat apa kalau dia masih seguk-seguk?"
"Seguk-seguk, bahasa lo aneh!"
"Ye ... bahasa itu kekayaan Indonesia!"
"Sa."
Keduanya langsung terdiam. "Kenapa?" tanya mereka berbarengan.
Aleta tertawa meski sedikit tersendu dan keluar air mata. " Lo berdua nyebelin."
"Yang penting lo senyum," kata Aksa dengan senyum manis.
"Lo gak boleh nangis," kata Marco lembut, tangannya mengusap pipi Aleta, menghapus air mata yang mengalir di sana.
"Dia balik," kata Aleta serak.
Aksa dan Marco mengangguk paham. Keduanya saling tukar pandangan memberi kode.
"Terus Aleta mau apa?"
"Gue ... gak tau, Sa."
"Aleta masih ingat ada Marco 'kan?"
Aleta tersenyum menatap Marco, mengangguk menandakan dia masih ingat. "Masih."
"Masih mau kasih Marco kesempatan?"
"Masih."
"Gue juga 'kan?" tanya Aksa tak mau kalah.
Aleta akhirnya tertawa dan mengangguk mengiyakan. "Iya ... kalian yang terbaik!"
......
"Gagal, Bos?"
"Bos, lo yang bos kali, Vin!"
"Gue mau udahan soalnya. Kita balik lagi biar lo yang jadi ketua, ya?"
Elvan memandang Gavin tajam. "Gue itu balik mau jadi pemiliknya Aleta, bukan malah jadi ketua The Charmer!"
Gavin menyengir lebar, menatap Elvan yang duduk di sebelahnya. "Kan sekali tabok dapet dua, Bos!"
"Berhenti panggil gue bos atau mobil ini oleng!" ancam Elvan dengan geram.
"Iya deh, iya. Kalah ngelawan singa."
"Lo anaknya."
Gavin tertawa receh. "Bisa bercanda lo sekarang!"
"Dipikir gue batu gak bisa bercanda?!"
"Ya dulunya bukan batu, tapi permen karet."
"Sana sini lengket?"
Lagi, Gavin kembali tertawa receh saat mendengar Elvan berbicara tak jelas seperti dirinya.
"Cewek bule cantik gak, Van?" Akhirnya Gavin mengalihkan topik pembicaraan.
"Cantik," kata Elvan singkat.
"Banyak dong pacar lo di sana?"
"Gak ada."
"Bohong!"
"Gue mau setia sama Aleta."
"Pret! Pasti ada 'kan?"
"Gak!"
"Gak salah, ya 'kan?"
Elvan menatap Gavin sebal. Sebegitu tidak percayakah Gavin jika dia setia? Ah ... jangan-jangan Aleta juga akan sama, tidak percaya kalau dia menjaga hatinya?
"Gue gak suka bohong, Vin."
"Dulu suka."
"Vin, gue tabok lo!"
"Eh ... ampun Van!"
"Ya udah diam."
.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments