Sienna bahkan sudah mencari berita kematian Bundanya di media sosial, nyatanya tidak ada yang bisa ia temukan disana. Keluarganya juga tidak ada yang bisa ia hubungi sampai hari ini. Ia dilarang sebab ayahnya bilang, hubungan mereka tidak sebaik dulu dengan pihak keluarga Bundanya.
Setelah enam bulan berlalu pun, selama itu Sienna tidak masuk sekolah. Banyak foto-foto teman-teman sekelasnya ia lihat lewat akun fake nya di sosial media. Sienna dilarang pergi ke sekolah dan selalu menghabiskan waktunya di rumah sejak saat itu. Tertinggal pelajaran pun resiko yang ia terima.
Sekarang, ponsel ber-case biru di atas meja bergetar. Segera mungkin Sienna mengangkatnya.
"Halo Bi—" ucapnya lembut. Balasan yang terdengar dari seberang telepon membuat gadis itu membisu. Mendengar perkataan Bibi Grace lewat telepon tangannya langsung gemetaran.
Hal yang tidak Sienna duga justru terjadi. Ia benci jika ayahnya ada dirumah ini. Entah kenapa mendengar nama ayahnya, Sienna selalu takut. Sienna lantas berjalan ke arah jendela, dilihatnya mobil ayahnya sudah berada di depan gerbang rumah. Mobil itu memasuki garasi rumah. Kenapa ia tidak sadar ayahnya sudah pulang? Gawat. Ia panik sendiri.
Dengan jantung yang berdegup kencang, gadis itu cepat-cepat duduk di kursi belajarnya dan meraih segala macam buku soal yang sering ia kerjakan. Kali ini ia tidak boleh melakukan kesalahan, mengingat setiap ia salah ayahnya tak tanggung-tanggung menghukumnya. Kedua tangannya pun mulai sibuk mengerjakan soal. Entah kenapa dirinya bisa setakut ini kalau bertemu dengan ayahnya. Apalagi bayangan saat ayahnya menyiksa dirinya tiga hari lalu. Sungguh Sienna tidak sanggup mengingatnya lagi. Ia begitu menyedihkan.
Tangannya bergetar memegang pena cairnya. Ia memiliki tremor ringan sejak mendapatkan kekerasan dari sang ayah bahkan teman-teman di sekolahnya dulu. Sienna selalu diperlakukan sangat buruk sampai ia kerap panik dan ketakutan walau hanya dibentak atau dimarahi saja.
Sienna mulai membalikkan halaman buku pelajaran yang ia pakai—berpura-pura mencatat di buku latihan miliknya, seolah kerjaan itu hanya untuk memanipulasi ayahnya. Perlahan-lahan ia menarik napas dalam saat gagang pintu kamarnya terbuka. Ia tidak lantas menoleh karena tahu itu pasti ayahnya. Dengan melirik melalui ekor mata, ayahnya kini berjalan ke arahnya.
Suara sepatu pantofel yang khas terdengar di dalam kamar disusul genggaman tangan Ryan di kursi yang ia duduki lalu detik berikutnya Sienna merasakan kepalanya di usap pelan oleh sang ayah. Ia pun menoleh dan tersenyum pada Ryan.
"Ayah sudah pulang? Sienna kira ayah pulangnya besok atau lusa."
"Sudah berapa lama kamu belajarnya? Jangan terlalu lama. Kau besok akan mulai sekolah. Sekarang istirahatlah. Ayah tidak ingin konsentrasi mu terganggu karena kau mengantuk di sekolah."
"Sienna masuk sekolah?" ucapnya mengulang perkataan ayahnya barusan.
"Iya. Ayah sudah berbicara empat mata dengan kepala sekolahmu dua hari lalu. Ayah tidak sengaja bertemu dengan beliau di kafe Serasa, sekalian ayah juga minta maaf karena membuatmu mogok sekolah. Sekarang kau tidurlah."
"Sebentar lagi ayah, Sienna masih ada beberapa soal lagi untuk dikerjakan, tanggung..." ujarnya terkekeh menunjukkan buku soal miliknya yang tiga nomor soal sudah ia lingkari, belum selesai tepatnya.
"Besok masih ada waktu mengerjakannya. Ini sudah malam, ayah tidak mau kalau kau sampai mengantuk di sekolah Sienna. Ayah tidak suka hal seperti itu. Besok hari pertamamu masuk, jadi turuti perkataan ayah."
Sienna lantas mengangguk dan dengan gerakan cepat gadis itu merapikan semua buku dan alat tulisnya dari atas meja.
Jangan bilang ayahnya sudah pergi dari kamar--tidak, pria itu masih setia berdiri di sampingnya sambil memperhatikan aktivitas Sienna dengan buku pelajarannya.
Disaat ia menggeser kursinya hendak berdiri satu tangannya meraih ponsel di atas meja. Sienna kira itu tidak akan jadi masalah untuk menyentuh ponsel miliknya namun ia keliru ayahnya menggeram dan tiba-tiba merampas ponsel di tangannya dengan kasar. Sienna yang terkejut langsung menatap ayahnya panik.
"Ayah bilang apa barusan? Kamu tidak mendengar perintah ayah lagi? Untuk apa bermain handphone kalau ingin tidur? Kau suka sekali membuat ayah marah, Sienna!"
Plak!
Ryan melayangkan tamparan keras di pipi Sienna. Sienna yang tidak menyangka ayahnya seperti itu langsung menjaga jarak. Tubuhnya mundur dan sudah mentok dengan tembok.
"Ayah bilang apa tadi?" Suara ayahnya kembali meninggi membuatnya gemetaran karena ketakutan.
"M--maaf yah," ujarnya dengan bibir bergetar. Matanya terus bergerak resah mengamati apa yang akan Ayahnya lakukan.
"Jawab pertanyaan ayah, Sienna! Ayah bilang apa barusan?" Sienna terdiam. Ia panik bersamaan dengan jantungnya yang menggebu begitu hebat.
"Jawab pertanyaan ayah, Sienna! Ayah bilang apa barusan padamu, hah?!"
Sienna masih betah diam sembari menyentuh pipinya yang panas. Benar-benar seperti terbakar rasanya. Kedua manik matanya langsung berkaca-kaca.
"Kamu bisu sampai tidak bisa menjawab pertanyaan ayah? Kau ini memang ya—"
Ryan mendorong Sienna sampai jatuh di lantai. Sungguh jika ada yang bertanya rasanya seperti apa? Sienna tidak berniat untuk menjawab sesakit apa yang ia rasakan.
"MAAFIN SIENNA, AYAH."
Suaranya menggema dalam kamar seraya memeluk tubuhnya sendiri—meringkuk dalam dinginnya lantai kamar. Sienna terus melindungi tubuhnya yang kesakitan, takut-takut ayahnya kembali mendaratkan kakinya di tubuhnya yang tidak sekuat dulu. Sejak Sienna menginjakkan kaki di kota Bandung, dan tinggal di rumah Sienna, sang ayah benar-benar berubah padanya. Sienna tidak pernah mendapatkan kasih sayang. Kesalahan kecil yang gadis itu lakukan akan selalu mendapat hukuman fisik dari ayahnya.
"Kenapa kau tidak mati saja, hah? Seharusnya kau yang mati Sienna!! Kau penyebab semua ini terjadi! Bunda mu tidak seharusnya pergi secepat itu! kau—"
"Sienna mohon.. maafin Sienna Ayah. Sienna tidak akan mengulangi lagi. Sienna akan menuruti semua permintaan ayah. Janji ayah, Sienna tidak akan melanggar aturan ayah lagi."
Sienna memeluk erat kaki ayahnya juga matanya tampak memohon pengampunan dan disaat bersamaan Ryan dengan kejam membanting ponsel Sienna ke lantai. Dengan sekali hantaman, ponsel itu hancur berkeping-keping. Hadiah dari Tantenya kini rusak parah.
"Kau harus dikasih hukuman biar jera. Kalau tidak diberi pelajaran kau tidak akan pernah bisa belajar dari kesalahanmu!"
"Jangan ayah! Engga! Jangan lagi, Sienna mohon. Tolong jangan seperti ini ayah," seru Sienna dengan suara parau nya. Ia terus melawan Ayahnya dan berusaha lepas dari genggaman tangan sang ayah yang kuat mencengkram lengannya.
"Cepat!!"
"E-enggak! Sienna ngga mau, ayah!!" Suara histeris menolak Sienna yang menggema membuat Ryan semakin kasar memperlakukan gadis itu.
"Engga mau, Ayah! Bundaaaa!!!"
Sienna berlari sambil berteriak kencang ke arah pintu saat genggaman sang ayah mengendur di lengannya, namun belum sempat pintu terbuka ayahnya lebih dulu menarik rambutnya membuat tubuhnya terbanting keras menghantam lantai marmer. Kepala belakang Sienna menghantam lantai dengan keras. Ia meringis bersamaan dengan air mata yang meluruh di pipinya.
Sienna melindungi tubuhnya dengan kepala menunduk di lantai. Ia pikir ayahnya sudah menyudahinya tapi lagi dan lagi Sienna merasakan sensasi yang luar biasa sakit saat rambutnya di jenggut kasar, refleks Sienna mendongak menatap ayahnya. Mata yang dulu menatap teduh kini seperti mata yang menatap makanan kotor.
"K-kenapa ayah jadi sebenci ini pada Sienna? Selama ini Sienna sudah menuruti semua kemauan ayah. Kenapa—"
"Karena itu yang ayah inginkan!" jawab Ryan. "Ayah ingin kau merasakan apa yang Bundamu rasakan dulu. Kalau bukan karena keinginan bodoh mu itu, Bundamu tidak akan pergi secepat ini. Kau memang anak pembawa sial, Sienna. Harusnya kau tak pernah lahir ke dunia ini!!"
Pembawa sial? Ya, Sienna tidak terkejut mendengar kalimat itu.
Ryan menarik paksa lengan gadis itu layaknya seekor anak anjing menuju kamar mandi yang lampunya tidak menyala. Perempuan itu menangis terisak dengan tangannya masih berusaha sebisa mungkin melepaskan tangan ayahnya.
"Sakit Ayah..."
Sienna berucap dengan suara yang lemas. Ayahnya terus saja mengabaikan ucapannya. Ia semakin kasar menjambak rambut putrinya lalu mendorongnya masuk ke dalam bathtub. Hampir saja kepala gadis itu membentur pinggiran bathtub kalau ia tidak cepat mengangkat kepala. Ryan mengguyur tubuh Sienna dengan air dingin. Selama ayahnya menyiramnya tubuhnya, selama itu pula Sienna mencoba meraih tangan ayahnya agar berhenti menyiramnya yang kehilangan pasokan udara.
"Masih ingin mengulanginya lagi?"
"T-tidak Ayah ... ampun. Sienna tidak akan mengulanginya lagi. Sienna minta maaf."
Setelah mendengar itu dengan jelas, Ryan menghempas shower di tangannya lalu keluar dari kamar mandi tanpa sepatah kata apapun, meninggalkan Sienna yang menangis di dalam bathtub dengan kedua kaki ditekuk ke dalam dadanya. Kepalanya serasa ingin pecah karena sakitnya.
"Kenapa? Kenapa dari sekian banyak orang yang Sienna miliki, kenapa harus ayah yang seperti ini? Siapa aku? Apa aku tidak berarti? Sungguh, aku anak pembawa sial?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments