Holding Until The End
...Disclaimer...
...Dilarang mengcopy / menulis ulang cerita ini dalam bentuk apapun. Cerita ini asli dari imajinasi Author. Baik dari segi nama, tempat dan alur cerita semua dari hasil pengembangan imajinasi Author sendiri. Harap-harap diperhatikan dengan baik. Mencuri hak orang lain tidak akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik....
...***...
Jakarta, Maret 20—
Sebuah rumah megah di salah satu kota besar di Jakarta, ditempati sepasang suami istri dengan satu anak perempuan mereka. Rumah berlantai dua yang didominasi warna hitam dan putih. Di tengah halaman rumah terdapat air mancur dan pepohonan yang tumbuh membuat pekarangan rumah terlihat sangat asri. Suara desiran angin terdengar sayup dari luar.
Gadis kecil berusia tujuh tahun yang saat ini duduk di kursi meja riasnya bersama seorang wanita berusia empat puluhan sedang sibuk mengepang rambut lebat hitam legam miliknya. Sapa dia, Sienna Stevanya. Sienna berdiri tegak di depan sebuah cermin besar berbentuk oval. Tangan mungilnya sibuk menyisir rambut boneka barbie di atas meja riasnya sembari ia bercakap-cakap dengan sang pengasuh.
"Sudah selesai, Non. Rambutnya sudah Bibi rapikan. Sangat cantik seperti boneka kesayangan Non." Sebuah senyuman manis terlukis begitu saja di sudut bibir Sienna, ia tersipu dengan pujian itu.
"Benarkah, Bibi? Sienna sama cantiknya dengan boneka ini?"
"Benar Non. Sienna cantik berkat mama non yang begitu cantik juga."
"Ehehe... terima kasih banyak Bibi. Sekarang Sienna mau ketemu ayah dulu."
"Baik, Non."
Sienna keluar dari kamar dengan wajah berseri-seri. Ia berdiri di ujung tangga sambil menatap keberadaan ayahnya di ruang keluarga seorang diri dan sibuk dengan pekerjaannya.
"Ayah..."
Suara itu menggema memenuhi rumah—sambil ia menuruni puluhan anak tangga menghampiri ayahnya yang ternyata tengah disibukkan dengan kerja kantornya. Mata bulatnya bisa melihat sang ayah sedang berkutat dengan laptop di pangkuannya serta setumpuk berkas yang berserak di atas meja.
"Ayah? Kenapa ayah tidak menjawab panggilan, Sienna?"
Sienna merengek kecil seraya menarik pelan kaos hitam sang ayah membuat laptop di atas paha pria itu bergoyang.
"Ayah sedang sibuk, Sayang. Ada apa, hmm? Anak ayah butuh sesuatu?"
Ryan bertanya dengan mata masih fokus dengan layar laptopnya. Ryan Williams. Pengusaha sukses yang terkenal di kota Jakarta berkat perusahaan propertinya yang bergerak di bidang perhotelan, resort, mall bahkan apartemen yang tersebar di beberapa wilayah di kota lain.
"Sienna mengganggu ayah bekerja, ya?"
Sienna menyesal. Ia menundukkan kepala sedikit menatap mata elang ayahnya yang bersinar. Menunggu jawaban yang entah kapan Sienna dengar.
"Ayah..." ucapnya sekali lagi. Gadis manis itu memajukan bibirnya. Ia kesal—diabaikan begitu saja oleh sang ayah.
Sienna dengan cepat memasang wajah cemberutnya. Ryan yang merasa aneh lantas melirik lalu menghela napas sebentar. Begitu cepat, tangan kekar itu spontan menutup laptopnya dan merapikan setumpuk file diatas meja.
Sienna masih dalam posisi yang sama. Berdiri dengan wajah kesal mengarah ke pintu rumah di ujung sana. Ryan meraih pergelangan tangan putrinya.
"Kenapa wajah anak Ayah begitu jelek?" ucap Ryan dengan lembut. Sienna masih bersikeras membuang wajahnya kearah lain. Gadis itu tidak pernah suka diabaikan.
Sienna sekarang mendecih pelan, kesal karena ucapan sang ayah barusan. "Sienna marah pada Ayah? Kalau benar marah, apa yang bisa ayah lakukan biar Sienna memaafkan ayah?
Mata bulat seperti sang ibu dengan cepat bergerak menatap wajah tegas di sampingnya lalu naik memandang manik hitam ayahnya.
"Sienna tidak marah Ayah, Sienna sedikit kesal saja karena Ayah lagi-lagi mengabaikan Sienna dan lagi, mengatakan Sienna jelek."
Kata demi kata yang keluar dari mulutnya membuat Ryan berusaha menahan tawanya. Ia sangat tahu, anak perempuannya itu tidak bisa diabaikan dengan alasan apapun.
"Kemari, duduk dekat ayah." Sienna dengan wajah datar memandang ayahnya lalu mendekat. Ia duduk dengan tegak.
"Kamu tahu alasan ayah kenapa selalu mengabaikan kamu?" Sienna mengangguk pelan. Ayahnya yang super sibuk membuat Sienna harus lebih sabar dengan waktu ayahnya.
"Tapi ayah sudah terlalu sering tidak ada waktu bermain dengan Sienna. Ayah tahu, Bunda sibuknya sama kue terus, jadi Sienna bermain sama siapa? Bibi Grace? Tidak ada serunya, Ayah. Bibi Grace gampang sekali lelah. Bibi udah tua."
Ryan terkekeh kecil. Ia terkejut dengan kalimat yang terucap dari mulut Sienna. "Baiklah baik. Ayah minta maaf ya. Jadi sekarang anak ayah menginginkan apa, hmm?"
"Ini ayah. Sienna mau ini." Senyum merekah di pipi gembul Sienna. Ia mengeluarkan iPad kesayangannya dari belakang punggungnya. Tangan mungil itu bergerak di atas layar benda persegi itu
"Kaku mau pergi ke pasar malam?" Sienna mengangguk riang, mengiyakan dan mata serta bibirnya ikut tersenyum.
"Sienna ingin sekali kesana ayah. Ayah juga tidak pernah bawa Sienna kesana. Ayah tau, tadi pagi di sekolah, teman sebangku Sienna yang namanya Dian cerita kalau di tempat itu ada banyak permainannya. Dian juga dibelikan boneka salju oleh ayahnya. Sienna juga mau boneka salju."
"Apa boneka yang ayah berikan itu masih kurang juga?" Ryan menangkup kedua pipinya. Menatap lurus bola mata Sienna yang bersinar.
"Mau kemana, Mas?" potong seseorang. Ryan yang sibuk dengan putrinya langsung menegakkan badan. Ia menoleh ketika mendengar suara sang istri. Sosok wanita anggun mengenakan dress brokat dengan bagian pinggang dress begitu pas melekat ditubuhnya sebatas lutut, dari merk terkenal datang menghampiri, membawa nampan berisi secangkir kopi dan duduk di sebelah Sienna.
Dia Laura, Bundanya gadis manis itu dan istri dari Ryan. Wajah Laura masih terlihat awet muda, tidak ada kerutan di wajah wanita itu. Matanya yang bulat persis seperti mata milik Sienna.
"Kopinya Mas." Laura meletakkan secangkir kopi di dekat berkas kerja suaminya.
"Makasih sayang..."
Ryan tersenyum sembari satu tangannya mengusap lengan Laura lembut. Sienna yang melihat itu tersenyum singkat.
"Jadi Sienna bilang apa tadi, Mas?"
"Katanya mau pergi ke pasar malam. Teman sebangkunya tadi pagi cerita kalau disana banyak permainan. Mau dibelikan boneka salju juga katanya disana," jelas Ryan sesekali melirik Sienna di sampingnya.
"Jadi anak bunda ingin pergi ke pasar malam? Mau beli boneka baru juga?"
"Iya Bunda. Kita kesana ya. Sienna pengen coba permainan disana sekalian pengen punya boneka baru seperti punya Dian. Kalau Sienna ngga punya Dian pasti mengejek Sienna lagi."
"Iya anak Bunda yang paling cantik. Sebentar lagi kita kesana ya. Kamu minta bantu Bibi Grace ya untuk berkemas."
Dengan jawaban yang memuaskan, Sienna begitu cepat mengecup lembut pipi ayah dan Bundanya. Keduanya pun tertawa kecil menatap kepergian putri mereka menuju lantai atas.
***
Sienna sudah siap dengan dress bunga-bunga selutut pilihan sang pengasuh. Gadis itu berdiri di depan Bibinya.
"Bibi tidak mau ikut Sienna ke pasar malam? Kata Dian disana banyak makanannya Bi, nanti kita bisa makan enak. Ada permainannya juga. Sienna juga bakalan dibelikan hadiah boneka salju sama ayah."
"Iya Non. Kalau banyak dapat boneka, jangan lupa Bibi dikasih satu ya."
"Boleh. Nanti Sienna kasih boneka beruang yang besar untuk Bibi," ujarnya sambil tertawa gemas menuruni ranjang tempat tidurnya. Setelah itu, Bibi Grace pelan-pelan menuntun langkah gadis kecil itu menuruni tangga hingga sampai di ruang tamu.
"Ayah, Bunda, cepat! Sienna sudah siap nih!"
Di dalam kamar, Ryan dan Laura yang tengah bersiap terus saja tertawa karena putri mereka yang tidak sabaran. "Aku yakin Mas, Sienna pasti cepat bosan disana. Bisa jadi dia minta pulang karena sudah mengantuk."
"Tidak apa-apa Ma. Yang penting dia senang dan tidak penasaran seperti apa itu pasar malam. Mas juga senang kalau dia bisa cerita rasa bahagianya pada teman sekelasnya."
"Ini jaket mu, Mas."
Laura memberikan jaket hitam berbulu tebal pada Ryan. Setelah itu, keduanya pun berjalan keluar dari kamar menghampiri putrinya yang sudah berada di ruang keluarga bersama Bibi Grace. Laura melilitkan syalnya di leher.
Sienna melihat ayah dan bundanya datang, ia segera berlari—meraih jari telunjuk sang ayah kemudian berjalan beriringan menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumah bersama dengan sopir pribadi Ryan.
"Malam ini biar saya sendiri yang bawa mobilnya Pak Anton. Bapak bisa pulang cepat malam ini karena besok pagi kita berangkat lebih awal ke kantor."
"Baik, Tuan. Tolong hati-hati di jalan."
"Terimakasih."
"Tidak papa anak Bunda duduk di belakang?" tanya Laura menoleh pada Sienna yang sudah duduk manis di jok belakang.
"Gak papa Bunda. Sienna tidak penakut. Sienna sama seperti ayah, pemberani." Ryan dan Laura pun terkekeh mendengarnya lalu keduanya memasang sabuk pengaman dan mulai perjalanan mereka dengan kecepatan sedang.
Sampai di tengah jalan, tiba-tiba saja mobil yang berada dibelakang mereka membunyikan klakson begitu keras dan berulang kali.
Ryan melirik kaca spion. Jauh di belakang mereka dua van hitam sedang kebut-kebutan dan klakson mobil yang terus dibunyikan terus-menerus. Sempat Ryan memberi mereka jalan untuk lewat, tapi mobil hitam di belakang justru menghiraukannya.
"Sudah malam begini masih saja ugal-ugalan bawa mobilnya. Seperti orang mabuk saja," gumam Ryan setelah melihat van hitam dibelakang mereka terus mengejar tanpa niatan melewati kendaraan mereka.
"Mabuk apa, Mas?" kata Laura melirik.
"Itu mobil di belakang kita sejak tadi asal-asalan saja Mas lihat bawa mobilnya. Sepertinya pria itu sudah mabuk. Bisa-bisa ia mengalami kecelakaan."
"Mungkin mereka ingin mendahului kita Mas. Kasih jalan saja," ujar Laura pada sang suami. Ryan pun menyalakan lampu sent kanannya kembali--mempersilahkan mobil di belakang mendahului mereka. Namun, yang tidak disangka, mobil di belakang justru menabrak keras bagian belakang mobil membuat satu lampu belakang pecah tiba-tiba.
Ryan begitu jengkel jengkel ditambah suara gelak tawa keras terdengar oleh telinganya. Seolah kejadian beberapa detik barusan benar-benar disengaja.
"Apa yang mereka pikirkan?!" geram Ryan melirik kembali ke spion di atas dashboard.
Kedua kalinya mobil mereka ditabrak dari belakang hingga suara benturan itu sangat keras membuat Sienna yang bersandar melepaskan seltbel nya dan menyentuh pundak Ryan. Ia panik untuk pertama kalinya dihadapkan pada kejadian seperti ini.
"Ayah, Sienna takut..." lirihnya yang duduk di jok belakang. Ryan mengusap punggung tangan Sienna, menghalau rasa khawatir sang anak karena situasi sekarang.
"Tenang Sayang, jangan khawatir ya. Ayah janji tidak akan membuat kalian sampai terluka."
"Mas mau ngapain? Jangan Mas, jangan lakukan itu. Kalau mereka begal bagaimana?" cecar Laura menggebu saat melihat suaminya hendak menepikan mobil.
"Ada baiknya kita teruskan saja perjalanannya sampai depan pos polisi di depan sana. Kita bisa buat laporan pada pihak ke—"
Bruk!!
Brakk!!
Suara benturan keras terdengar. Kembali Sienna mengeratkan pegangannya pada kaos yang ayahnya pakai. Wajahnya murung ketika kepanikan itu melanda dirinya.
"Ayah...."
"Mas...."
Mobil mereka kembali dihimpit hingga membentur pembatas jalan. Ryan yang sigap langsung memegang kendali stir mobil dan kembali pada jalur.
"MATILAH KALIAN KELUARGA WILLIAMS!"
Gelak tawa dari dalam mobil di belakang mereka saat berhasil mengganggu kenyamanan membuat Ryan merasakan darahnya mendidih. Ini sudah kelewatan.
"Sial! Apa yang mereka inginkan!"
Ryan geram melirik mereka berkali-kali dari kaca di atasnya. Dengan amarah yang naik ke atas kepala, Ryan menaikkan kecepatan mobil.
"Mas.. pelan-pelan saja. Sienna ketakutan Mas," seru Laura mulai ikut panik saat merasakan laju mobil bertambah cepat. Bahkan wanita itu sesekali memperhatikan putrinya yang gelisah dengan mata berkaca-kaca.
"Bunda, Sienna takut."
"Mereka sepertinya ingin berniat jahat Laura. Pegangan!!" Titah Ryan. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Beberapa peluru mulai ditembakkan ke arah mobil. Ekspresi wajah Ryan dengan cepat berubah drastis dengan dahi berkerut. Rahangnya mulai mengejang.
"Ada apa, Mas? Mereka sudah tidak mengejar lagi. Mereka tidak ada di belakang kita. Pelankan Mas, pelankan. Ini berbahaya." Laura menyentuh lengan suaminya. Kecepatan mobil melaju di jalanan lurus membuat Laura ketakutan dan gemetaran.
"Sialan. Ini pasti ulah mereka," ujar Ryan sambil menginjak rem yang sejak tadi tidak berfungsi sama sekali. Rem mobil blong dan Ryan berusaha sebisa mungkin.
"Kenapa Mas?" panik Laura.
"Remnya ma, remnya tidak berfungsi. Mas udah berusaha menginjak remnya tapi sama sekali tidak bisa. Sepertinya ini ulah mereka..."
"Ayah, di depan ada tikungan tajam."
Mendengar putrinya berbicara lantang, Ryan langsung menoleh dan memicingkan mata menatap jalan di ujung sana. Tikungan tajam tempat kecelakaan sering terjadi. Tanpa perhitungan yang matang, Ryan dengan cepat membanting stir mobil. Mobil menghantam keras pembatas jalan. Melihat situasi yang cukup mencekam, Laura segera meraih tangan putrinya, menggendong Sienna di pelukannya lalu memindahkan gadis itu ke pangkuan sang suami.
Laura mengeluarkan kepalanya sedikit menatap keadaan mobil. Mobil mereka benar-benar berada di posisi yang tidak baik. Sedikit saja mereka bergerak bisa membuat ketiganya masuk dalam jurang. Posisi Laura benar-benar berada diantara hidup dan mati.
Laura menarik napas panjang. Entah sudah tarikan yang ke berapa, kakinya melemas dengan situasi seperti ini. Ia melirik Sienna dan sang suami. Sedikit saja Laura bergerak, bisa ia pastikan mereka semua akan terjun bebas ke jurang. Air matanya mengalir di pipi.
"Mas..." Laura berucap lirih ketika menatap wajah suaminya yang menggeleng ringan. Pria itu tau apa yang Laura pikirkan sekarang.
"Jangan lakukan hal konyol apapun yang ada dalam pikiranmu, Laura. Aku tidak siap untuk itu. Kita semua bisa selamat. Kita harus—"
"Maafkan aku, Mas. Tidak ada jalan lain selain ini," sela Laura ketika mobil bergerak sedikit dan ban depan mobil sebelah kiri sudah berada di tepian pembatas jurang.
"Bunda..." ujar Sienna gemetar. Tangan gadis itu terulur ke depan. Laura hanya bisa tersenyum pedih dengan keadaan mereka sekarang. Tangan terulur ke depan hendak meraih jemari putrinya. Pergerakan yang tiba-tiba membuat mobil bergerak pelan-pelan.
"Cepat selamatkan Sienna. Kalian harus tetap hidup. Bawa putri kita keluar sekarang. Mobil ini akan jatuh. Bahagiakan Sienna dengan wanita yang benar-benar Mas cintai. Apapun itu Sienna harus bahagia. Aku mohon...."
Ryan memajukan tubuhnya pelan-pelan. Sienna yang berada di pelukan sang ayah mencoba meraih sang bunda, sayangnya hanya seulas senyum pahit yang bunda nya berikan.
"Apa yang kau katakan, hah?! Tidak. Kita semua pasti selamat! Kemarikan tanganmu. Tidak satu pun yang boleh pergi malam ini, tidak satu pun, Laura!" Laura tersenyum pahit. Saat ia bersitatap dengan suaminya, ucapan orang-orang tentang pria itu berputar dalam kepala.
"Suamimu selingkuh, Laura."
"Sayang sekali. Kau tidak seberuntung orang-orang yang memiliki segalanya tapi tidak dengan suamimu."
"Kau tidak akan percaya, suami benar-benar berkhianat di belakangmu."
"Selamat ulangtahun anak Bunda. Panjang umurmu ya. Bunda tidak bisa menepati janji Bunda."
"Jangan Laura. Jangan lakukan itu!!"
Dengan derai air mata yang sudah membasahi pipinya, Laura dengan cepat memajukan sedikit tubuhnya—melepas seltbel sang suami dan membuka cepat pintu kemudi. Entah kekuatan darimana, Laura berhasil mendorong tubuh suaminya yang memeluk putrinya ke luar dari mobil.
Ryan terbelalak dan Sienna sendiri membulatkan mata saat melihat mobil hitam itu terjun bebas bersama dengan Bundanya. Satu kalimat panjang yang mereka dengar sebelum kejadian mengenaskan itu terjadi.
"Maafin Bunda, Sayang."
Mobil itu bergerak cepat dan jatuh ke dalam jurang disusul ledakan besar yang membuat Ryan dan Sienna menjerit histeris.
"Laura!!"
"Bundaaa!"
Sienna berlari mengejar Bundanya yang sudah terjatuh ke dalam jurang. Asap tebal mengepul dari dasar jurang membuat Sienna yang melihat itu dengan mata kepalanya langsung menangis histeris.
"Bunda!!"
"Tidak ayah, selamatkan Bunda. Tolongin Bunda ayah!"
Ryan mematung. Kenangan bersama Laura berputar cepat dalam kepala. Untuk sepersekian detik semuanya hilang dari pandangan pria itu.
"Kenapa Ayah diam saja! Kita harus tolong Bunda!"
Sienna berteriak histeris menatap sang ayah yang tidak bergeming sama sekali.
"Sudah sayang, ikhlaskan Bundamu..."
"Tidak! Sienna tidak mau!" Sienna memberontak dari dalam dekapan ayahnya.
"Ayo, Ayah! Ayo, tolong Bunda..."
Sienna menangis kencang sampai sesenggukan. Ryan kian mengeratkan pelukannya, mengelus puncak kepala Sienna sampai detik berlalu Sienna hilang kesadaran. Ia hilang kesadaran di pelukan sang Ayah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments