Beberapa hari berlalu, salah satu teman sekelasnya, memberitahukan pada Lea, jika dirinya dipanggil oleh kepala sekolah, guna membicarakan tentang pertandingan karate yang akan diikutinya.
Lea bersama dua teman ekskul karate menunggu didepan kantor kepala sekolah, karena didalam sana masih ada tamu.
Guru pembimbing baru saja Hadir, Kak Ario biasa disapa, adalah pelatih dari luar sekolah, bergabung bersama ketiga muridnya.
Mereka membicarakan tentang strategi, juga apa saja yang harus disiapkan para muridnya, walau ketiganya sudah sering mengikuti kejuaraan, tapi tetap saja harus kembali diingatkan.
Pintu ruangan kepala sekolah terbuka, muncul dua orang siswa, yang Lea tau jika salah satunya adalah siswa yang memukuli Leo, sedangkan yang satunya lagi adalah siswa yang menolong Leo.
Salah satu dari mereka menatap Lea, dengan tatapan bertanya, tapi Lea membuang muka, tak mau membalas tatapan itu.
Lea bisa mendengar dengusan kesal dari lelaki itu, tapi siapa peduli, baginya urusannya sudah selesai.
Kak Ario bersama ketiga muridnya, menghadap pada kepala sekolah, didalam ruangan itu, mereka mendapatkan pengarahan juga suntikan semangat dari orang nomor satu di sekolah.
Pertandingan akan diadakan beberapa hari lagi, kepala sekolah mengharapkan jika ketiga muridnya, akan kembali membawa nama baik sekolah, dengan kemenangan, apalagi dua diantar tiga muridnya akan lulus tahun ini.
Selesai dari ruangan kepala sekolah, bel masuk berbunyi, istirahat baru saja berakhir, Lea dan kedua temannya berpisah didepan ruangan kepala sekolah, sementara kak Ario masih mendengar pengarahan.
Lea melangkah berlawanan arah dengan kedua temannya, tiba-tiba perutnya mulas, sehingga ia harus menuntaskan hajatnya terlebih dahulu.
Perlu waktu bermenit-menit untuk Lea, untuk Lea menuntaskan hajatnya, sepertinya ia harus banyak makan sayur dan buah, agar tak mengalami masalah pencernaan, memang sudah beberapa hari ini ia tak mengkonsumsi semua itu.
Leo sedang tidak mood memasak, alhasil keduanya hanya mengkonsumsi makanan yang dibeli dari luar.
Lea mencuci tangannya di wastafel yang tersedia, usai membuang hajatnya, baru saja ia akan keluar, ia mendapati salah satu lelaki yang tadi tak sengaja ia temui keluar dari ruangan kepala sekolah, berdiri menghalangi pintu.
Sebagai siswi teladan, Lea berusaha bersikap sopan, "Permisi," tapi lelaki itu tak bergeming dan tetap berdiri menghalangi jalannya.
Lea mendongak dan menatap tajam siswa yang tak mengancingkan seragamnya, waktunya sudah terbuang banyak karena sembelit yang dialaminya, dan sekarang ia harus berurusan dengan lelaki berandal ini.
Lea merogoh saku kemeja seragamnya, uang jajannya, tersisa sepuluh ribu rupiah dan dua lembar uang dua ribuan, ia mengambilnya lalu menyodorkannya pada lelaki yang berdiri menghalangi jalannya, "Sisa uang jajan gue, tinggal segini,"
Lelaki itu menatap sinis pada uang yang disodorkan padanya, "Emang menurut Lo, gue yang ganteng ini jadi tukang palak? Duit receh kayak gitu nggak berarti apa-apa bagi gue,"
Lea memutar bola matanya malas, "Lo kan sama kayak temen Lo yang hobinya malak duit adik-adik kelas, macam preman aja, tapi duit gue emang tinggal segini,"
"Jangan samain gue sama mereka, dan gue nggak butuh duit Lo," bantah lelaki jangkung itu.
Lea mendongak lagi, "Jadi apa maksud Lo menghalangi jalan gue?"
Lelaki itu menyodorkan ponselnya, "Bagi nomor hape Lo," pintanya.
Lea mengernyit, "Buat apaan?" tanyanya bingung.
Lelaki itu berdecak, ia memegang tangan Lea dan meletakkan ponselnya, "Masukin nomor Hape Lo sekarang, atau Lo nggak bakal gue biarin pergi,"
Dengan terpaksa Lea memasukan dua belas digit nomor ponselnya, kasih dulu lah, entar bisa gue blokir, Lea menyodorkan ponsel itu.
Lelaki jangkung itu menerimanya, dan langsung menghubunginya, ponsel Lea bergetar di saku rok seragam yang ia kenakan, ia mengambilnya, lalu menunjukan layar ponselnya, "Udah kan, jadi sekarang, tolong minggir, gue mau ke kelas,"
Lelaki itu mempersilahkannya, namun baru beberapa langkah, tangannya ditahan, "Jangan blokir nomor gue, bales pesan gue, dan angkat telpon gue," peringatan dari lelaki itu membuat Lea memutar bola matanya, lalu berdehem, dan lelaki itu melepaskan tangannya.
Gue bahkan nggak tau nama Lo siapa, masa bodoh kalau Lo hubungi gue, dasar berandal nggak penting.
Lea memasuki kelas, saat pelajaran sudah dimulai, ia meminta maaf pada guru, karena terlambat masuk kelas.
Dia duduk dibarisan paling depan, tepat bersebrangan dengan meja guru, sudah biasa bukan, murid teladan seperti dirinya.
Bel istirahat kedua berbunyi, para murid berhamburan keluar, usai guru beranjak dari kelas, Lea masih berdiam di kursinya, dua sahabatnya, Rani dan Selly mendekatinya, mengajaknya ke kantin.
"Yah duit gue tinggal empat belas ribu," Lea menunjukan tiga lembar uangnya.
Rani berdecak, "Lo udah kayak orang susah, lagian di kantin kita bisa kali bayar pakai cash less,"
"Sayang Rani, gue kan lagi kumpulin duit," sahut Lea, dua sahabatnya tau jika dia adalah orang yang hemat.
"Gue traktir makanan, dan kalau minuman Lo beli sendiri," Selly angkat bicara, dia adalah anak pengusaha sukses ibu kota, sehingga sering mentraktir dua sahabatnya.
Lea dan Rani tersenyum lebar, hampir setiap hari Selly mentraktir mereka, uang jajan gadis kaya itu, saat di sekolah adalah seratus ribu rupiah.
Walau sebenarnya Lea dan Rani bukan dari keluarga susah juga, Lea berasal dari keluarga pendidik, sementara Rani anak dari pengusaha katering rumahan, namun kakak kandungnya menjadi orang kepercayaan dari pengusaha asal Amerika, yang memiliki usaha villa dan resort, kantor pengacara dan keamanan, rumah sakit serta cafe.
Siapa juga orang yang tak menyukai sesuatu yang gratis?
Sesampainya di kantin yang penuh dengan murid-murid saat jam istirahat, untuk mengisi perut, ketiganya berbagi tugas, Selly mencari meja kosong sementara Lea dan Rani memesan makanan dan minuman.
Karena datang paling belakang, tentu Lea dan Rani berada dibarisan paling belakang antrian, keduanya terlibat obrolan, Rani bercerita tentang kakak iparnya sedang bersedih karena baru saja mengalami keguguran.
"Kasihan banget mbak Sinta tau, nggak tega gue," ungkap Rani teringat kakak iparnya.
Lea menepuk pundak sahabatnya, "Memangnya apa penyebabnya?" tanyanya.
Rani menghembuskan nafasnya kasar, ia mulai bercerita, "Lo ingat mantan tunangan mas Rama kan?" Lea mengangguk, Rani sering menceritakan tentang keluarganya, "Dia itu masih nggak terima diputusin sama mas Rama, makanya dia begitu, sebenarnya kasihan sih, tapi kelakuan kek j*lang gitu, yang diputusin lah sama mas Rama, yang apes itu mbak Sinta, kena imbasnya,"
"Ya udah entar pulang bimbel kita jenguk mbak Sinta, kasih semangat dan hibur dia,"
Rani mengangguk setuju, keduanya mulai maju, kurang satu murid lagi, hingga tiba giliran mereka.
Ponsel Lea bergetar, dia yang memang sedang memegang ponsel, melihat siapa yang menghubunginya, ada notifikasi berupa pesan masuk,
0813891xxxx
kenapa no hape gue belum Lo save?
Mendapatkan pesan itu, Lea terkejut, ia menoleh, lelaki itu berdiri tepat dibelakangnya, menaikan sebelah alisnya.
Rani sedang menyebutkan pesanan untuknya dan Selly, "Lo mau pesan apa? Buruan!" dia menoleh ke belakang, terlihat mata gadis itu melebar.
Lea yang melihat perubahan ekspresi sahabatnya, mendadak bingung, "Kenapa Lo?"
Rani gugup, " Lo-mau pesan app-a?"
Lea menyebutkan pesan dan makan yang diinginkannya, setelahnya keduanya bergeser sembari menunggu pesanan mereka dibuat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments