Sesudah membersihkan diri, aku duduk di atas sofa ruang tamu sambil menonton televisi berharap berita yang aku nantikan akan tayang di layar itu. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima, dan aku masih tak percaya bahwa aku telah melihat mayat tadi pagi. Apa itu sungguhan?
Tak lama, acara televisi yang menayangkan film kartun beranak kembar dan botak itu berpindah acara. Menampakkan dua reporter lelaki yang akan membawakan berita terkini dan ter update. Aku antusias menyimak dengan teliti agar tidak ketinggalan.
Selang dua puluh menit, aku menghela nafas panjang. Ini sudah putaran ke tiga setelah iklan dan berganti topik. Namun berita yang ku nantikan tak kunjung muncul. Aku geram sendiri sambil menekan remote untuk berpindah channel beberapa kali. Bahkan hampir saja tombol yang berada di remote ini hampir lepas karena aku begitu geram.
Dan betapa kagetnya aku ketika menyadari sesuatu. Layar yang awalnya sedang menunjukkan iklan sabun mandi, kini berubah menjadi penampakan latar sekolahku yang berwarna hijau bak sekolah Adiwiyata.
"Seorang siswi di temukan meninggal dunia di ruang kelasnya oleh beberapa murid. Kabarnya siswi tersebut bernama Eveline Airlangga..."
Aku antusias, ini dia yang aku tunggu. Tidak salah lagi.
"Misteri kematian Eveline yang dengan sangat tiba-tiba membuat semua para murid ketakutan sampai keributan pun terjadi di sekolah ini. Karena hal tersebut sekolah ini meliburkan para siswanya untuk belajar di rumah"
Aku mengangguk, itu benar dengan kenyataan. Aku masih fokus mendengarkan semua kalimat yang akan disampaikan media ini. Aku begitu ingin mengetahui penyebab kematian Eveline ini, apakah benar ia mati murni atau dia dibunuh?
"Sedangkan di sisi lain, polisi mencurigai adanya motif pembunuhan pada Eveline. Karena Eveline cenderung anak yang pendiam dan tertutup, dan tidak sedikit siswa atau siswi lain yang terlihat tidak menyukainya..."
Aku mematung, Eveline di bunuh? Mengapa polisi memasukkan analisis seperti itu ke dalam berita.
"Dan sampai saat ini-"
Lap.
Aku terkejut, seisi ruangan yang ku huni ini tiba-tiba saja menjadi gelap. Ku edarkan pandangan, untung saja hari masih sore setidaknya cahaya senja bisa membuka pandanganku untuk melihat seisi ruangan. Aku sedikit kesal, karena mati lampu ini aku jadi tak bisa mengetahui kelanjutan berita tersebut.
Aku menggapai handphone yang ku letakkan di atas meja. Sembari menggulirkan layar untuk menyalakan senter, tiba-tiba saja aku menangkap sekelebat bayangan putih yang lewat di depan ku. Aku kaget dan langsung saja mendongak.
Kanan dan kiri ku pandangi namun tak ku dapati siapapun, apakah aku tidak salah lihat. Tiba-tiba saja udara terasa menjadi sedikit dingin dari sebelumnya, aku tak tahu kenapa bisa begitu. Aku menengok ke arah jendela, masih tertutup rapat tanpa lubang sedikit pun.
Tak lama, bulu kudukku tiba-tiba saja berdiri setelah terpaan angin yang entah darimana datangnya. Aku tertegun sebentar sambil merasakan aura aneh ini, walaupun keringat dingin sudah mengucur di punggung karena rasa gentar.
Aku kembali menatap layar untuk menyalakan senter, mencoba mengalihkan ketakutanku pada perasaan tidak enak ini. Sungguh, rasanya seperti orang yang akan masuk angin namun di sertai rasa merinding dan panas di atas tengkuk.
Tak lama setelah aku berhasil menyalakan senter, aku beranjak menuju ke jendela. Maksud ku ingin melihat rumah tetangga seberang, apakah listrik mereka mati atau tidak. Jika mati, artinya pemadam ini memang merata. Tapi jika tidak dan hanya rumahku yang mati itu artinya ada yang bermasalah dengan listrik di rumah ini.
Aku berjalan ke arah jendela yang terletak di samping pintu masuk. Jendela dengan tirai berwarna hijau itu mampu ku lihat dengan jelas setelah aku arahkan senter. Suara jangkrik dan belalang terdengar jelas di telinga, bahkan sempat ku dengar beberapa kali bunyi anjing yang menggonggong di luar sana. Mungkin milik tetangga.
Aku membuka jendela, cahaya yang remang-remang menyulitkan ku melihat keadaan luar. Halaman rumah ku begitu sunyi, hanya ada pepohonan dan tanaman rindang yang saling berjejer. Tak sedikit juga bunga yang tertanam rapi di sana. Aku mengembalikan fokus, sampai aku sadari ternyata rumah seberang serta tetangga sebelah terlihat gelap dan sepi. Itu artinya memang mati lampu ini di sebabkan dari sumbernya, dan bukan hanya rumahku yang mati listrik. Syukurlah.
Hendak ku tutup korden itu lagi, namun tanpa sengaja pandangan ku teralihkan membuat ku urung melakukannya. Aku menatap pohon jeruk yang tumbuh di depan gerbang rumah. Pohon itu terlihat lebih rimbun saat gelap, mungkin karena efek cahaya saja. Ku pikir.
Aku melamun beberapa menit dengan posisi yang sama. Sampai sesuatu yang aneh tertangkap oleh pandangan ku. Sebuah asap putih mulai muncul tepat di bawah pohon tersebut. Awalnya ku kira itu hanya asap biasa, mungkin asap dari pembakaran sampah tetangga. Namun setelah ku perhatikan, asap tersebut mulai menggumpal dan padat.
"Aneh banget sih, horor pula" ucapku sambil sedikit menenangkan diri.
Bukannya semakin tenang namun badanku menjadi semakin tak enak, aku mengusap lengan sambil menelan ludah. Aku hanya bisa menerka sambil melihat kepulan asap itu yang semakin lama terlihat jelas menampakkan sesuatu. Keringat mengalir di dahi sampai ke dagu hingga akhirnya jatuh. Senter handphone yang ku pegang serasa tidak berguna, karena remang-remang senja dan waktu sandekala membuat suasana di otakku buyar.
Belum selesai berfokus dengan objek tersebut, aku kembali dikejutkan dengan kejadian berikutnya. Aku kaget ketika asap tersebut terlihat terbang dengan cepat menuju tempat ku berada. Aku mundur beberapa langkah sampa aku terjatuh dalam keadaan duduk.
Aku bernafas dengan sangat cepat di sertai irama debaran jantung yang tidak karuan. Aku berusaha tetap tenang, namun aku tetap tidak bisa karena handphone yang ku gunakan sebagai senter tadi sudah jatuh entah kemana.
Brak.. Brakk... Brakk
BRAKKKK
Aku makin terperanjat lantaran pintu di depanku ini tiba-tiba dibuka secara paksa sampai gagang yang biasa ku gunakan untuk membuka kini sudah rusak berhamburan beserta paku-pakunya. Dadaku bergetar hebat disertai rasa takut yang semakin menjadi. Aku berusaha berteriak meminta pertolongan, namun anehnya bibirku tiba-tiba kaku dan kelu. Aku tidak bisa meminta bantuan, kenapa dengan diriku. Kenapa aku begitu ketakutan.
Aku masih dalam posisi yang sama, aku masih terduduk dengan pandangan yang lurus menghadap pintu. Asap putih itu di sana, walaupun cahaya gelap sampai mengganggu pandangan, aku masih bisa melihatnya dengan jelas. Asap putih itu membentuk suatu objek yang aku kenal. Dan makin lama, aku mengenali sosok tersebut dengan pasti.
Pocong, aku mengerjap cepat sambil menelan ludah. Bajuku sudah basah kuyup karena begitu ketakutannya aku, rasanya ingin sekali menangis karena berada dalam situasi seperti ini. Sampai dengan jelas sosok itu terbentuk sempurna.
Kain putih yang di ikat di beberapa bagian dengan tinggi melebihi pintu. Aku melihatnya untuk pertama kali, sungguh ini mengerikan. Wajahnya yang hitam dan nampak tak jelas serta bau busuk yang mungkin ia bawa seperti bau bangkai. Aku ingin berteriak, makhluk ini sungguh sangat membuatku takut bukan kepalang hingga tubuhku kaku.
Aku sudah tak tahan, ku harap seseorang datang dan menolongku sekarang. Siapa saja, aku hanya tidak ingin melihat makhluk mengerikan ini.
Aku mundur beberapa meter dengan cara menarik badan. Lebih tepatnya aku ngesot ke belakang menjauhi benda putih melayang ini. Setidaknya aku bisa menjauh sedikit darinya walaupun harus bersusah payah.
Di tengah ketakutan, aku dikejutkan lagi dengan kejadian berikutnya. Sesuatu jatuh menggelinding tepat di depanku, di tengah-tengah kedua paha yang ku lebarkan. Aku menelan ludah sambil memaksa tanganku bergerak walau dalam kondisi gemetaran hebat.
Setengah mati aku memendam rasa takutku sebisa mungkin agar aku bisa bertahan. Ku pegang benda tadi, ukurannya sebesar kelapa. Aku memutar pandanganku lagi melihat sosok pocong tadi, ia sudah lenyap entah kemana. Aku memandang sekeliling hingga ku pastikan tidak ada sosok itu lagi.
Aku menghembuskan nafas lega sambil bersyukur. Namun, apa ini. Apa benda yang aku pegang?
Aku membalikkan benda sebesar kelapa itu dengan hati-hati. Bak disambar gledek, ketakutan ku semakin menjadi-jadi setelah melihat benda ini betul-betul. Cahaya yang masih remang menambah pikiranku buyar. Aku memegang potongan kepala manusia. Lihat, ia sedang memelototkan matanya ke arahku sambil menyeringai lebar.
"Iyaaan..."
Ia mengeluarkan suara lirih yang terdengar sedih, hal itu membuat badanku memanas. Aku sudah setengah sadar dan hanya bisa pasrah dengan keadaan. Aku tidak bisa melakukan apapun, aku diam karena aku begitu ketakutan. Hingga akhirnya...
"Yann... Bangun Iyan"
"Iyaan ini ayah!"
Samar-samar suara berat itu terdengar, aku terkejut hingga berteriak keras memenuhi ruangan. Aku melihat sekeliling dimana ayah dan ibu masih melihat ku dengan ekspresi kebingungan. Aku menatap mereka sambil mengelus dada.
"Iyan dimana?" Aku melihat sekeliling, ternyata aku sedang berbaring di sofa ruang tamu. Dan cahaya di ruangan ini cukup sudah cukup terang.
"Kamu ketiduran disini Yan, kamu mimpi apa sampe geram-geram begitu?" Aku melihat ayah yang sudah mengenakan baju tidurnya. Ibu yang berada di belakangnya terlihat khawatir.
Aku menghempaskan diri lagi di sofa, ternyata kejadian tadi cuma mimpi belaka. Aku sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
"Gapapa yah, Iyan cuma kecapean aja kok" ucapku bohong, padahal aku bermimpi sampai ketakutan setengah mati.
"Kamu habis kenapa Yan?" Kini ibu beranjak maju dan mendekati ku. Dengan cepat aku mengganti posisi, aku bangun dengan susah payah namun ibu malah menahan agar aku tetap terbaring.
Aku rasa sifat ke ibuan yang ibu miliki akan keluar, padahal aku sangat anti dengan sikap ibu yang itu. Aku sudah besar, namun ibu selalu menganggap ku anak kecil.
"Iyan gapapa yah.. bu..." Aku tersenyum ke arah keduanya. "Iyan laper nih, makan yuk" ucapku setelah melihat jam di dinding. Ternyata aku tertidur sampai pukul setengah delapan malam, dan aku tidak tau aku mulai tertidur waktu kapan.
Ibu masih saja terlihat khawatir, ia memijat pelipisku perlahan. Rasanya enak namun aku tidak mau terlihat manja karena tak mau merepotkan ibu.
"Iyan gapapa bu, Iyan udah besar" aku menatap ibu dengan tulus. Begitu juga sebaliknya.
Ayah dan ibu nampak saling berpandangan, mereka agaknya tak percaya denganku. Namun setelahnya akhirnya ayah memecahkan kebuntuan dengan mengajak kami makan malam.
"Iyan tidur dari jam berapa?" Ayah memulai obrolan setelah kami selesai makan di ruangan makan ini.
"Jam em- empat yah" aku menjawab asal.
"Lah Yan, ibu pulang aja jam setengah empat kamu udah molor di sofa Yan" ucap ibu membuatku tersedak sampai terbatuk. Aku meminum air yang tersisa di gelasku. Ayah dan ibu kebingungan melihat ku.
Aku berusaha agar tak menampakkan gelagat yang begitu aneh. Namun tetap saja aku masih kaget. Bagaimana mungkin aku tertidur dari jam setengah empat sedangkan waktu itu aku masih menonton televisi kan. Dan, kapan ibu pulang.
Aku menelan ludah sambil menatap kedua orang tua ku ini, aku tersenyum sambil meringis. "Hehe iya, Iyan tidur jam tiga. Cape banget soalnya" ujarku.
Ayah dan ibu hanya mengangguk paham, mungkin mereka benar-benar percaya padaku. Setidaknya mereka tak mencurigai ku lagi tentang kondisiku sekarang. Kalau mereka tahu bahwa aku pingsan di sekolah tadi mungkin aku sudah di larikan ke rumah sakit terdekat. Aku tahu mereka ini sangat protektif terhadapku.
"Sekolah kamu gimana Yan? Lancar kah?" tanya ayah.
"Lancar yah" aku menjawab. Ia hanya tersenyum sambil mengangguk.
"Kamu udah dapet temen di sekolah Yan?" Ibu kini ikut penasaran.
"Udah bu, ya walaupun agak aneh si mereka" maksud ku Iko dan Hans.
"Aneh? Maksud kamu Yan?" Ibu bertanya.
"Iyalah, masa mereka excited sama orang mati. Aneh kan?" Ucapku datar sampai tak sadar apa yang aku katakan.
"Apa? SIAPA YANG MATI YAN?!!" Ayah dan ibu berteriak kaget.
Aku panik bukan kepalang, "Hah? Maksud Iyan itu lampu mati" mereka saling melirik. "Masa mereka curiga kalo lampu yang mati di kelas itu karena di buat mainan setan bu. Gitu" ucapku bohong. Apa yang habis aku katakan tadi sungguh aku tak sadar.
"Masa sih? Beneran? Aneh banget temen kamu itu Yan" ayah mengomentari.
"Iya yah, emang gitu anaknya" aku tersenyum kaku. Hampir saja mereka tahu apa yang terjadi.
...Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Isnaaja
karena sebesar apapun kamu,kamu tetap seperti anak kecil bagi ibumu
2024-02-21
1
Isnaaja
ternyata mimpi to 🙃
2024-02-21
1
oursugar
semangat authorrrrrrrr gempur
2024-01-27
3