Aku membuka mata perlahan setelah ku hirup bau menyengat sebuah minyak yang tak asing lagi bagiku. Kepala ku terasa sedikit sakit dan linu, pandangan ku juga masih remang hingga beberapa menit kemudian aku bisa melihat semuanya dengan jelas.
Aku terbaring di kasur dengan selimut bergaris hijau yang menutup setengah badan. Aku mengedarkan pandangan walau kepala ku ini masih terasa sakit. Ada banyak sekali obat di atas meja serta dua kursi yang dimana ada dua sosok manusia yang sedang fokus menatap handphone masing-masing.
"Oi, gue di mana?" Ucapku lemas sambil berusaha duduk.
"Udah sadar lo Yan?" Ucap Iko sambi berusaha menahan ku agar tetap berbaring.
"Jangan duduk dulu dungu" Kecam satu orang lagi, yaa itu adalah si anak jutek. Aku sedikit kesal dengan kalimat yang ia lontarkan pada orang yang sedang lemas, seperti tidak ada bahasa yang lebih sopan saja.
"Arghhh" kepalaku berdenyut ketika aku berusaha untuk bangkit, hingga mau tak mau aku hanya bisa berbaring.
"Gimana keadaan lo Yan?" Tanya Iko terlihat khawatir.
"Gue gapapa, cuma pusing dikit kok" ucapku bohong, nyatanya kepalaku terasa sangat sakit seperti ingin meledak.
"Nih minum" sebuah tangan menyodorkan gelas berisi teh ke arahku. Aku melihat wajahnya yang terlihat datar.
"Kalian ngapain di sini? Dan lo-" aku menatap wajah orang itu.
"Nama gue HANS! HANSEN TAN" jelasnya menekan dan dingin. Suaranya begitu besar dan gagah.
"Yah lo, ngapain disini?" Aku melanjutkan pertanyaan.
"Lo tadi pingsan, minum teh ini" balasnya tak sesuai pertanyaan membuat ku sedikit gemas. Tapi setelah nya, aku tetap menerima pemberiannya tersebut.
Setelah kembali berbaring, aku baru teringat akan suatu hal yang membuat ku pingsan.
"Ik, mayat perempuan itu gimana Ik?" Tanyaku sedikit panik walaupun kepalaku masih berdenyut.
"Udah Yan, semua udah di urus kok. Mayatnya udah di bawa dan kita diberikan libur 3 hari sama pihak sekolah. Gue sama Hans sengaja di sini karena kita gak boleh pulang dulu kata kepala sekolah. Katanya sih ada yang mau di omongin" jelas Iko. Aku mengernyitkan dahi, apa yang akan kepala sekolah bicarakan sih.
Aku mengangguk, "terus cewek itu gimana?" Tanyaku lagi.
"Dia masih belum sadar Yan, dia di kasur sebelah tuh. Lo mau liat ga? Cantik tau hihihi" ucap Iko sambil cekikikan. Ia menunjukkan gorden pembatas yang tertutup.
"Dasar buaya buntung" gumam lelaki bernama Hans ini. Mungkin dia memang orang yang ketus begitu kepada semua orang.
"Eh, lo kenapa masih disini? Gak mau pergi kah" Aku sengaja mencemooh.
"Ga boleh kah?" Ia menatap datar ke arahku. Tumben, biasanya saja ia begitu irit bicara. Namun kali ini dia terlihat lebih normal dari kemarin.
"Ya boleh si, eh tapi... Btw tadi sebelum kejadian gue liat lo turun tangga. Dan lo mimisan?" Tanyaku sedikit mengintimidasi. Dan aku sedikit bingung melihat reaksinya yang rancu. Ia terlihat kaget dan sempat melirik ke arah kiri sekilas sebelum akhirnya ia menjawab.
"Gue kena tangan Dea tadi" ia menjawab sambil mengalihkan pandangannya.
"Cewe yang nge reog tadi?" Aku meyakinkan membuat nya mengangguk datar.
Menurut ku, mungkin Hans berniat juga menolong gadis yang berteriak ketakutan tadi. Namun karena si perempuan bernama Dea kaget seperti waktu awal ku temui, tak sengaja Hans tertimpuk olehnya sampai hidungnya berdarah. Itu opini ku, namun tak tau kenyataannya bagaimana sih.
Iko dan Hans kembali duduk ke bangku hijau tadi. Aku terdiam cukup lama sambil menggulirkan layar handphone yang kini aku mainkan. Sakit kepalaku kini sudah sedikit hilang dari sebelumnya, mungkin karena efek teh hangat dan minyak kayu putih yang mereka tempelkan di dahi.
Aku terdiam sambil membayangkan rupa mayat itu tadi, walaupun pandangan ku masih saja menatap pada layar handphone. Aku tidak bisa melupakan peristiwa tadi dengan begitu mudah. Rasa iba, penasaran dan takut masih bercampur menjadi satu di dalam benak. Sungguh, ku rasa aku tidak akan bisa tidur malam ini.
"Menurut kalian, dia dibunuh atau bunuh diri?" Suara Hans memecahkan keheningan. Spontan aku yang masih berbaring dan Iko yang sedang fokus membaca komik langsung memandangnya dengan serius. Aku beralih, kali ini aku mencoba duduk dengan bersandar pada dinding di belakangku.
Aku mengedikkan bahu. "Kenapa lo ber- spekulasi begitu? Siapa tau dia emang meninggal dalam keadaan seperti itu tanpa bunuh diri ataupun di bunuh kan?" Aku menjawab.
"Menurut gue itu ga masuk akal, harusnya kalo dia meninggal di dalam kelas dalam kondisi seperti itu akan ada yang sadar. Entah itu satpam penjaga ataupun karyawan sekolah lainnya" Jelasnya membuat ku bingung.
"Maksud lo apaan?" Iko menutup komiknya dan kini berfokus pada Hans.
"Maksud gue, mayat cewek itu sudah berbau. Yang artinya dia meninggal sudah cukup lama sebelum dia mengeluarkan gas tidak enak, menurut pengetahuan gue minimal mayat manusia bisa mengeluarkan aroma bangkai itu sekitar dua sampai tiga hari. Jadi kalo semisal benar aroma bangkai tadi berasal dari mayat si cewek maka artinya dia sudah lebih dulu meninggal beberapa hari yang lalu" jelasnya. Sungguh, ia berdalih seperti seorang yang mengetahui banyak hal. Namun penjelasannya ini logis dan cukup masuk akal bagiku.
"Jadi, maksud lo cewek itu udah dibunuh duluan sebelum di temukan mati di sana?" Ucapku menyimpulkan.
"Iya, lebih tepatnya mungkin ini pembunuhan berencana. Tapi gak tau deh gue cuma ngarang haha" ia menatapku datar, sedatar tawanya yang aneh.
"Tapi keren juga si karangan lo, kaya di film detektif-detektif gitu loh" Iko malah memuji Hans sambil berbinar.
"Tentu, Hans gitu loh" Hans tersenyum sombong sambil melihat ke arahku dan Iko. Aku hanya menatapnya dengan aneh, untuk apa dia senang karena karangannya di puji begitu sih.
"Udah-udah, gak usah ngomong aneh-aneh. Lagian polisi juga bakal ngurusin mereka kok, jadi kita tinggal nonton aja. Kalo kita di butuhkan buat wawancara sebagai saksi ya kita tinggal maju aja" Iko mencairkan keadaan. Aku setuju dengannya. Selain anaknya clingy, dia juga suka melawak di beberapa waktu.
"Btw gue mau merekrut kalian" tiba-tiba Hans mengubah topik. Dia mengeluarkan sebuah buku batik kecil bersampul ungu dan sebuah bolpoin yang ia taruh di saku.
"Rekrut apaan?" Aku penasaran, apa yang anak ini lakukan.
"Osis angkatan Kaka kelas sebentar lagi Purna tugas. Gue sedang mencari bakal yang bakal gue tarik ke masa jabat selanjutnya. Dan kalian masuk" ia terlihat menulis dua buah nama di dalam bukunya.
Aku yang mengetahui hal tersebut langsung saja tak terima. Aku melotot ke arahnya dan beranjak ingin memukul kepala anak ini.
"Ih ogah banget sih ikutan kek gitu-gituan. Buang waktu gue" aku menggerutu. Malas sekali jika aku benar-benar di ikutkan pada hal seperti itu. Membosankan, lebih baik fokus untuk mengejar nilai. "Ik, lo ga gabung kan?" Aku menatap Iko.
"Wahh, boleh juga nih. Gue penasaran, jangan lupa promosiin gue jadi ketos ya Hans" kebalikannya, aku tertegun melihat Iko yang sangat antusias. Ada apa sih dengan mereka berdua, mereka begitu aneh.
"Oke, kalo gitu lawan lo ada gue" Hans berkata datar membuat Iko menyeringai lebar kegirangan.
"Oiii, gue kagak susah di ikutin juga kali!" Aku sedikit berteriak membuat Iko yang tengah senyum-senyum sendiri itu langsung kaget, dan Hans yang hanya menyipitkan matanya.
Tak lama, gorden yang berada di samping ku berbunyi karena dibuka secara tiba-tiba. Di sana menampakkan sebuah kepala dengan badannya tak kelihatan karena tertutup gorden.
"Brisik tolol! Kalian gak tau apa ini UKS" seorang gadis mungil memarahi kami yang sedang berdebat. Ia nongol dengan muka yang terlihat kesal. Rambutnya ia biarkan terurai rapi, kulit sawo matangnya terlihat begitu pas dengan mukanya yang mungil. Suaranya kecil dan bertenaga, dan sebuah kacu melintang di leher. Kurasa dia adalah anak PMR.
"Nama lo siapa?" Hans malah bertanya pada perempuan ini.
"Dea! Kenapa sih ribut. Gak tau apa ada orang sakit. Pusing gue tuh ngobatin kalian-kalian, jangan dong kalian nambahin gue stress sama suara adu mulut kalian yang gak berguna kek kentut sapi!"
Buset, ternyata perempuan ini lebih ketus dari yang bertanya.
"Oke, gue daftarin lo juga" Hans melakukan hal yang sama beberapa detik lalu. Menuliskan nama Dea di buku kecil miliknya.
"Dih apa-apaan Lo!!!" Dea berteriak kencang sambil menampakkan badannya dan beranjak ke arah Hans.
Aku memijit pelipis dan sedikit mengeluh. "Ada-ada aja kelakuan orang-orang ini. Keknya gue harus banyak istirahat".
.
.
.
Setelah aku keluar dari ruang kepala sekolah, aku menemui Hans dan Iko yang tengah duduk kepanasan di depan aula. Masih-masing dari mereka memegang plastik dengan adanya sedotan kecil di dalamnya. Itu es cekek.
Beruntunglah aku yang bisa dengan cepat memulihkan badan. Nampaknya pingsan tadi hanya karena kaget belaka sampai aku tak kuat menahan takut.
Ku rampas minuman di tangan Iko dan menyedot es jeruk yang sedang ia nikmati. Iko hanya menatap datar sambil menggeleng.
"Srooottttt"
"Abisin aja sekalian" Iko menggumam pelan dengan mata yang ia pelototkan namun dengan senyum yang ia kembangkan. Ternyata es yang ku minum ini hampir habis.
"Eh eh maap, besok gue ganti deh Ik hehee" aku cengengesan sambil mengembalikan jajanannya.
"Besak besok besak besok" ia menerima dengan muka yang terlihat ngambek. "Besok libur" ia melanjutkan ucapannya.
"Oh iya juga, kenapa besok libur?" Tanyaku agak bingung. Apa mungkin karena kejadian barusan kah.
"So ugly. Kejadian tadi pagi membuat siswa heboh dan ribut sampai-sampai ada yang nangis minta pulang. Mereka ketakutan sampe akhirnya kepala sekolah membubarkan kita dan yeah, kita libur tiga hari. Gue yakin beritanya akan muncul di televisi malam ini" Hans menjelaskan dengan sangat detail dan baik, aku hanya mengangguk sebagai tanda paham.
"Gue jadi kepo, apakah cewek itu mati karena murni dia mati, atau karena dia di bunuh ya?" Iko berspekulasi.
"Oh iya-" aku menyela membuat mereka menatapku. Keadaan sekolah sudah sangat sepi karena para murid di perbolehkan pulang dari pagi tadi. Kami mulai berjalan ke arah parkiran setelah tadi sempat di wawancarai oleh beberapa polisi di dampingi kepala sekolah mengenai kronologi penemuan mayat tersebut.
"Apa?" Hans dan Iko bertanya serentak sambil menikmati gorengan yang mereka bawa. Nampaknya mereka jajan tanpa mengajakku.
"Atau jangan-jangan dia mati karena-" aku menjeda kalimat ku sambil merogoh sesuatu di dalam kantong. "-Karena dia masuk ke ruang sanggar seni kah"
Deg...
Deg....
Deg.....
Hans dan Iko melotot menatapku, mereka nampak kaget dan tak percaya atas apa yang aku katakan.
"Lo ngomong apa sih?" Hans berkata dengan suara lirih. Mukanya sudah merah padam. Aku tak tahu mengapa ia terlihat begitu marah.
"Gada pengulangan" aku tak menggubris.
"Gila, lo tau dari mana Yan?" Iko penasaran. Ia terlihat antusias dengan disertai rasa takutnya.
"Gue liat sendiri kemarin, waktu ambil Torso sama lo" aku menatap Hans yang kini terlihat panik.
"Kenapa ga lo cegat!??" Hans bertanya seperti orang kesurupan. Ia terlihat marah dengan muka yang merah seperti itu.
"Gue tau apaa?" Aku menatap Hans dengan pandangan pasrah. "Gue ga percaya kek gituan!" Aku berucap mantap. Niatku tadi cuma iseng menggabungkan peristiwa gadis itu masuk ke ruang sanggar Seni. Tapi kenapa mereka menjadi panik? Apa memang benar karena perempuan itu masuk ke dalam ruang sanggar seni lalu ia mati.
Rasanya itu mustahil dan sangat tidak logis. Akhirnya aku membuka sebuah gumpalan kertas yang sempat aku ambil dan ku remas dari tangan mayat tadi. Mereka masih saja mengomeli ku mengenai hal yang tak penting itu, bodo amat dengan takhayul. Aku membuka kertas sedikit demi sedikit karena kusutnya begitu parah.
Setelah terbuka penuh aku mulai membaca setiap kata demi kata yang muncul dari atas.
"Suratku untukmu"
"Randi..."
Deg...
Aku langsung meremas kertas itu lagi dan langsung memasukkan nya kedalam saku setelah membaca judul dari kertas ini.
"Itu apaan?" Iko penasaran.
"Kertas contekan kemarin hehe lupa belum di buang" aku terkekeh sambil melanjutkan perjalanan.
"Ini masalah serius, sial" Hans bergumam kecil. Namun gumam-an miliknya cukup bisa aku dengar.
"Gila, sekolah kita bisa viral Yan kalo masyarakat tau si Eveline mati setelah masuk ruangan itu. Desas desus sekolah ini berhantu bakal kembali panas Yan!!!" Iko menggerutu di sepanjang jalan.
"Dan gue minta, lo berdua rahasiakan ini, semua siswa boleh tau tentang kematian Eveline. Tapi ga boleh tau tentang dia masuk ruang sanggar seni" Hans berucap dingin. Kenapa? Kenapa ia meminta hal tersebut.
"Lah kenapa?"
"Pasalnya, kita ga mungkin membuat nama sekolah kita jadi jelek. Dengan lo ngasih tau hal tersebut ke pihak polisi atau orang lain, sekolah kita akan di cap tidak baik oleh pandangan orang-orang. Tragedi 20 tahun lalu yang membuat sekolahan ini tutup bisa saja terjadi lagi pada angkatan tahun kita" Hans menjelaskan.
Aku lantas terkejut, sekolah ini pernah di tutup? Kenapa? Dan tragedi apa yang Hans bicarakan.
"Tragedi? Tragedi apa? Dan kenapa sekolah ini tutup?" Aku bertanya bagai orang yang sangat menginginkan jawaban.
"Lo ga tau?" Iko menatap ku serius.
"Engga, gue pindahan dari luar kota" aku menjawab polos membuat mereka menghembuskan nafas berat. Sebenarnya mereka ini kenapa, mengapa mereka tampak takut sekali dengan ruang sanggar seni setelah aku berbicara tadi?
"Jangan bahas disini, besok ke rumah gue. Akan gue jelasin. Dan inget-" ia menatapku tajam. "Jangan sampai orang lain tau tentang ini"
Aku mengangguk, orang ini benar-benar seperti psikopat. Caranya berbicara sangat mengintimidasi lawannya. Tapi itu terlihat cocok dengan wajah datar dan sejutek itu sih.
"Eh tunggu dulu," Iko menatap kami. Aku dan Hans menunggunya berbicara. Nampaknya Iko mempunyai pendapat lain yang lebih bermakna daripada takhayul tadi. Atau mungkin Iko memiliki spekulasi lain yang lebih masuk akal. Ah, kenapa kami jadi pusing memikirkan mayat Eveline. Dan apa yang akan Iko katakan.
"Mau gado-gado ngga?"
Aku melongo setelah mendengar pertanyaan Iko barusan. Ku sangka ia akan membahas hal yang lebih serius, namun ternyata hanya sebatas gado-gado.
"Serah lo deh" Hans jengah melihat Iko, begitupun aku yang ingin sekali memukulnya.
...Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Isnaaja
kasian es nya dicekek 😁
2024-02-20
1