NITIH

NITIH

Bab 1. Siswa Baru

Aku melihat jam tangan yang terpasang di tangan kiriku. Sudah lebih dari tiga puluh menit aku menunggu di luar kantor guru ini setelah ayah meninggal kan ku sendirian. Katanya aku akan di antar oleh seorang guru, tapi sampai sekarang seonggok manusia belum juga muncul dari pintu coklat itu.

Aku duduk sambil menghela nafas, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke tujuh belas. Tidak ada yang spesial maupun menarik seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin semua orang yang mengenal ku tidak ingat bahkan tidak tahu tentang hari ulangtahun ku, termasuk ayah dan ibu. Tapi tidak apa, diberikan hidup dan sehat sampai sekarang saja aku sudah bersyukur.

"Kelas kamu di ujung yaa, mari bapak antar" Ucap seorang guru mengejutkanku yang tengah melamun, sontak aku langsung berdiri dan menghampirinya. Ia mempersilahkan ku berjalan duluan, nampaknya ia adalah seorang guru olahraga di lihat dari seragamnya yang mencolok memakai celana training khas bergaris biru.

Aku mengeluh dalam hati. Lagi-lagi, aku harus berpindah sekolah karena urusan pekerjaan ayah dan ibu, ini adalah kali kelima aku berpindah-pindah sekolah. Aku harap sekolah dengan penampilan sederhana ini akan menjadi tempat terakhir kalinya aku menuntut ilmu dalam masa putih abu, karena sungguh aku begitu bosan untuk terus bertemu dengan orang-orang baru setiap saat.

Aku sudah menginjakkan tahun ke 2 di masa putih abu. Dimana tahun ini mungkin akan ada banyak sekali tugas dan materi yang harus aku kuasai. Namun karena pekerjaan ayah dan ibu ini, aku menjadi sedikit kesulitan untuk fokus pada satu kurikulum. Walaupun di setiap sekolah menggunakan kurikulum yang sama, namun aku pastikan metode mereka berbeda-beda dalam penyampaiannya. Dan aku akan kesulitan dalam memahaminya.

"Ini kelas kamu yaa, gurunya sudah ada di dalam. Bapak mau mengajar dulu" pamitnya setelah menunjukkan pintu kelas di depanku ini.

Aku tersenyum ramah menatapnya, aku tebak guru ini adalah guru favorit anak perempuan. Karena dilihat dari perawakan nya guru ini masih terlalu muda sekitar 27 tahun-an. Apalagi badannya yang atletis dan kulit putihnya itu. "Terimakasih banyak pak" ucapku sebelum ia beranjak pergi.

Aku berbalik badan menghadap pintu di depanku ini. Aku tak merasa grogi maupun resah, karena mungkin aku sudah terbiasa melakukan hal ini beberapa kali.

"Tok tok tok..."

Aku menotok pintu berwarna coklat dan kuning terang ini sambil menunggu jawaban dari dalam sana.

"Iya silahkan masuk..." Jawab sebuah suara nyaring dari dalam. Aku pastikan itu adalah suara dari seorang guru perempuan.

Akhirnya dengan keyakinan penuh, aku membuka pintu kelas yang sedikit berkarat ini sampai menimbulkan bunyi 'kreeeet'. Seisi kelas memandang ke arahku yang mungkin tampak asing bagi mereka. Aku hanya bisa menahan ekspresi ramah ku.

"Loh ada anak baru?" Ucap sebuah suara lelaki.

"Awww gantengg bangett" kali ini pekik seorang perempuan berdandan menor bak mau kondangan. Aku lihat beberapa siswi lainnya juga sampai melongo ketika melihat ku masuk.

"Silahkan masuk nak"

Aku berjalan ke arah guru perempuan itu setelah ia persilahkan. Susana kelas nampak sedikit gaduh dan berisik, dominan teriakan wanita mengisi penuh ruangan ini. Apa ada yang salah denganku kah?. Aku tersenyum canggung ke arah ibu guru tadi sebelum aku berdiri di sampingnya.

"Perkenalkan nama ibu, ibu Sari. Ibu mengajar kelas matematika. Kamu anak baru yang di ceritakan Bu Heru ya?" Aku menengok ke arahnya seakan tak mengerti. Aku? Di ceritakan?. Apa aku sudah terkenal lebih dulu sebelum masuk sekolah ini kah?

"Maaf bu, saya tidak paham hehe" aku tertawa renyah membuat para perempuan di kelasku ini menjadi tambah berisik. Lagian kenapa mereka se-berisik itu sih?

"Ah tidak apa, dia bilang kamu sangat tampan. Dan ternyata memang benar hehe" kekehnya sambil menatapku.

Jadi karena itu, lagi-lagi aku harus di hadapkan keadaan seperti ini. Padahal aku rasa, aku ini tidak terlalu tampan sangat. Di sekolah sebelumnya pun sama, ribut karena paras ketika aku muncul.

"Ehem berhenti anak-anak!". Tiba-tiba ia memotong keributan. "Sekarang perkenalkan diri kamu nak" ia kembali menyilakan.

"Perkenalkan nama aku Iyan. Dhafi Riyan Firdaus" aku memperkenalkan diri.

"Hai Iyan, apa kabar"

"Kamu tinggal dimana?"

"Udah punya pacar belom?"

"Kiww kiww-"

Aku sedikit melotot mendengar seruan-seruan tak senonoh itu, lebih tepatnya aku kaget. Baru pertama kali aku melihat kelakuan spontan perempuan yang seperti ini. Begitu tak tahannya kah mereka keindahan duniawi? Aku sedang tak memuji diriku sendiri, tapi aku sedang bingung mengapa mereka bertingkah seperti itu.

"Wuu dasar gatelan!" Gerutu para murid cowok. Nampaknya mereka kesal.

"Kaya ga pernah liat cogan aja lu pada"

"Jadi cewek kok murahan!"

"Eh kemaren juga waktu cewek baru itu masuk kalian lebih parah ya!" Timpal para perempuan.

"Iya tuh, dasar buaya!"

"Eh sudah sudah. Kok malah jadi ribut, kasian ini Iyan baru saja masuk bukannya di sambut dengan baik. Yasudah, Iyan sekarang kamu bisa duduk di sana. Sebelah Iko" ibu Sari mempersilahkan membuat ku langsung berjalan ke belakang, bangku yang dimaksudkan.

Suasana kelas sedikit membaik setelah aku duduk dan mulai menyimak penjelasan ibu Sari. Walaupun tak sedikit perempuan di kelas ini yang beberapa kali menoleh ke belakang untuk sekedar menengok ku. Aku tidak mau ke ge-eran, tapi begitulah kenyataannya.

"Heh" Lelaki di samping ku ini menyikutku setelah beberapa menit aku duduk. Matanya yang sipit serta rambutnya yang begitu rapi menambah kesan chindo-nya.

"Iya?" Aku menatapnya sambil berusaha mengeluarkan buku dari tas.

"Lo jangan macem-macem ya disini, jangan sampe lo buat geng pojok depan pada marah sama lo" ucapnya. Aku yang tak mengerti ucapannya langsung saja aku tengok tempat yang ia maksud. Disana sudah ada empat pasang mata yang sedang menatapku secara sengit. Apa mereka sedang main kedip-kedipan kah? "Heh! Jangan noleh tolil!!" Ia menggerutu.

"Loh, ngapain gue buat mereka marah?" Aku kembali menatap lelaki yang sedikit pendek di dekatku ini. Yang ku tahu namanya Iko kalau tidak salah tadi.

"Karna lo terlalu ganteng" ucapnya lirih.

"Hah!! Apa hubungannya?" Sergapku masih tak faham apa yang di maksud Iko ini, ku siswa yang duduk di depanku sampai menoleh ke belakang. Wajah datarnya menandakan bahwa ia terganggu karena suaraku. Aku tersenyum ke arahnya hingga kemudian ia beralih dengan sangat angkuh.

Iko berniat melanjutkan perkataannya.

"Karna-"

Tring......

Bel istirahat berbunyi nyaring hingga membuat rasa penasaran ku sirna. Ibu Sari pamit dari kelas setelah menyelesaikan jam mata pelajaran matematika kami.

Aku berkenalan dengan Iko, lelaki yang tubuhnya lebih pendek dari ku dan sedikit pelupa orangnya.

"Gue Iko, ini buku catatan gue bisa lo bawa buat di pelajari atau disalin di rumah. Pastinya materinya agak sedikit berbeda walaupun kurikulum di sekolah lama lo kurikulum nya sama kan? Makanya gue peka haha" kekehnya. Aku benar-benar berbinar menatap tiga buku catatan yang ia taruh di depanku, aku kaget. Aku buka salah satu buku tersebut, sedikit terkejut karena tulisan ini begitu rapi dan membuat mata segar.

"Ini tulisan lo?" Aku melongo, tulisan ku sendiri bahkan tak sebagus dan serapi ini.

"Iya lah, gue nolep-nolep gini rajin ya. Walaupun sering pelupa" keluhnya.

Akhirnya dengan senang hati aku menerima buku tersebut untuk ku pelajari di rumah. Aku rasa mungkin Iko ini akan menjadi rekan baikku di sini, aku harap. Semoga saja aku tidak pindah sekolah lagi.

Selang beberapa menit kemudian, aku yang sedang mengobrol dengan Iko ini tiba-tiba dihampiri oleh segerombolan perempuan. Mereka mengerubuti meja sampai berdesakan. Hingga salah satu mereka membuka suara.

"Kenalin, gue Clarissa" wanita menor di depanku mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis. Lebih tepatnya 'sok manis'. Aku rasa mungkin dia ini ketua dari geng yang mengerubuti aku dan Iko ini. Nampak sekali dari dandanannya seperti ketombe di selipan rambut.

"Iya" ucapku datar tanpa menjawab uluran tangannya.

Sekejap suasana menjadi canggung, ia membulatkan matanya dan menarik tangannya kembali. Mungkin ia malu karena tak ku hiraukan.

"Lo udah punya pacar?" Tanyanya random.

Aku kaget, apa mereka benar-benar tidak punya malu. Padahal mereka juga sekelas denganku kan. Apakah benar kiasan urat malu yang putus itu benar adanya?

"Udah, nih Iko pacar gue" aku merangkul Iko di sampingku, dan bodohnya Iko malah membalas perlakuan ku. Sungguh aku tak menyangka.

"Iya, kita udah jadian" ucap Iko sambil melingkarkan tangannya di perutku. Aku kaget sendiri sambil menahan geli.

"Ih najis, girls!! Kita cabut!!!. Amit-amit, ganteng-ganteng kok cucunya Ragil!! MAHO" Ia kegelian seperti ulat bulu, bahkan teman-temannya juga mengikuti tingkahnya.

"Ewww najiestt bangett"

"Amit-amit jabang bayi, sampe Fir'aun ngojek gak bakal gue deket-deket tuh anak!" Nampaknya perempuan tadi menanggapi dengan serius.

Setelah mereka tak nampak lagi, aku dan Iko melepaskan tawa yang tadi sempat tertahan hebat. "Gila ya tuh cewek, serius bener hidupnya" Iko tersendat hingga menangis karena tertawa.

Sedang asik tertawa tiba-tiba Iko menatapku dengan tajam. "Oh iya Yan!, lo jangan sampe mendekati, penasaran apalagi buka pintu sanggar seni yang ada di samping ruang OSIS, itu haram".

Aku mengelap air mata yang sempat menetes karena tawa tadi, aku masih kegelian. "Loh emang kenapa?" Tanyaku penasaran.

"Itu larangan dari dulu-dulu, ruangan itu angker dan terlarang. Siapapun gak boleh masuk ke sana, tanpa terkecuali. Katanya kalo ada yang masuk bakal metong keesokan harinya. Semua anak baru wajib banget tau tentang hal ini, kaya lo" jelasnya dengan serius.

Aku terdiam, namun tawaku kembali pecah beberapa saat setelahnya. Perutku semakin sakit mendengar kalimat Iko barusan. Ada-ada saja, mungkin Iko kira aku akan percaya dengan hal tidak masuk akal seperti itu.

"Heh malah ketawa!" Ia menggerutu. Aku masih tak menghiraukan karena asik tertawa.

"Lah lagian lucu, mana ada hal kek gitu" aku masih saja berkelakar.

"Ini serius!"

"Loh, lo percaya?" Aku menahan tawa sampai gigiku sedikit terlihat.

"Iya" Iko mengangguk yakin.

"Bwahahaha" aku tak sengaja membesarkan volume tawa, untung saja kelas sedang sepi karena jam istirahat.

"Ya elah ni orang" Iko mengeluh.

"Ada ya orang kek lu" aku ikut mengeluh.

.

.

.

Jam terakhir pun dimulai, kali ini aku menyimak pembahasan dari ibu Anggi sebagai guru IPA. Ia sedang menerangkan bagian dan fungsi dari organ dalam manusia.

"Paru-paru juga berfungsi sebagai tempat pertukaran udara, O² yang masuk akan di sebarkan ke seluruh tubuh dan sisa yang di hasilkan akan di keluarkan dalam bentuk CO²" aku menyimak betul-betul pelajaran ini, karena ini juga salah satu mata pelajaran favorit ku setelah bahasa Inggris.

"Nah, mungkin Iyan dan Iko bisa bantu ibu?" Selah bu Anggi menatapku dan Iko yang sedang bengong memahami. Aku sedikit terkejut karena namaku terpanggil.

"Siap bu" balas Iko.

"Tolong ambilkan ibu Torso di ruang OSIS bisa?" Ucapnya.

Aku menengok muka Iko yang sedikit kaget. Tapi ternyata setelah aku sadari, tidak hanya Iko yang memasang muka seperti itu namun beberapa siswa yang dekat dengan kursiku, ku sadari ia memasang ekspresi rancu seperti orang kaget dan kaku. Aku bingung, mengapa mereka terlihat kikuk begitu.

"Boleh bu" aku menjawab yakin membuat Iko mendelik ke arahku.

"Biar saya aja yang temenin bu" kali ini seorang lelaki yang duduk tepat di depan ku mengacungkan jari. Dia adalah lelaki bermuka jutek yang tadi terganggu.

"Oke silahkan, berarti Iko tetap di kelas yaa"

Iko mengangguk kaku, membuat ku sedikit curiga.

Akhirnya aku dan lelaki ini tadi keluar dari kelas menuju ruang OSIS yang aku sendiri pun tak tau letaknya dimana. Aku menyejajari ia berjalan, meski langkahnya sedikit cepat. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku, kulitnya putih, matanya sayu dan datar serta hidungnya mancung.

"Hei lo jangan kecepetan bisa ga?" Aku menegur, karena sungguh aku mengikutinya seperti sedang berlari.

Ia melirik ku dengan ekspresi yang masih sama tanpa menjawab. Langkahnya masih sama dengan tempo cepat. Kurasa tipe orang ini adalah orang yang cuek dan sok cool.

"Kaya lagi ngomong sama setan" umpat ku sedikit kesal.

Tak lama, akhirnya aku dan anak ini sampai di depan ruangan bertuliskan 'Ruang Osis'. Anak ini membuka pintu dan segera melangkah. Aku mengikutinya, namun tiba-tiba ia berbalik badan.

"Lo tunggu di sini" ia berkata tegas membuatku mengangguk. Suaranya yang berat serta mata datarnya itu sedikit membuat dirinya terlihat aneh menurut ku.

Akhirnya aku pun hanya diam di tempat sambil menunggu anak ini mengambil barang yang di butuhkan. Aku melihat sekeliling sambil berniat menghafal. Terlihat di sebelah kanan ruangan ini ada sebuah sanggar Pramuka lalu dilanjutkan dengan ruang rapat, ruang guru lalu ruang kelas hingga ke pojok. Aku cukup kagum, meski tampilan sekolah SMA TUJUH LIMA ini terlihat sederhana namun luas juga ternyata.

Sampai sedang asik memperhatikan, tiba-tiba aku menangkap sebuah objek yang membuatku penasaran. Di sebelah kiri ruang OSIS ini ada sebuah pintu ruangan yang terpisah dinding beberapa meter dari ruang OSIS.

Aku menyipitkan mata, kalau di perhatikan model pintunya sedikit berbeda dari ruangan lain. Terlihat sedikit kuno dan antik. Tiba-tiba aku teringat akan ucapan Iko beberapa menit lalu. Apa itu ruangan yang konon katanya angker? Ruang sanggar Seni?

Karena penasaran, aku berjalan ke arah pintu tersebut, hanya beberapa langkah saja. Dan benar, pintu kayu ini memang terlihat sangat kuno seperti ukiran jaman kerajaan dulu-dulu. Majapahit mungkin yang hanya aku ingat.

Pintu ini di gembok dengan kuat, mungkin saja rumor itu memang se-menakutkan itu di sekolah ini. Padahal apa gunanya percaya pada mitos tersebut? Ku ketuk pintu itu tiga kali, berharap ada jawaban dari dalam. Padahal jelas-jelas tidak ada siapapun di dalam, bodohnya aku.

Akhirnya setelah beberapa menit, aku pergi menjauh dari pintu ruangan tersebut dan kembali di tempat awal menunggu anak itu. Namun tiba-tiba, sebuah perasaan gelisah datang tiba-tiba. Tidak ada angin dan udara, aku merasa merinding sekujur tubuh sampai aku memeluk lengan sendiri selama beberapa saat.

Aku menoleh ke kanan dan kiri sambil sesekali mengusap pundak. Dingin itu masih merambah di pundak, rasanya seperti di elus tangan yang baru saja memegang es batu. Seperti itulah rasanya. Aku mengedarkan pandangan lagi, sampai aku terhenti di titik objek yang tadi aku hampiri.

Aku menilik seksama pintu artistik itu lagi dengan pandangan tajam. Hingga aku sadar ada sesosok perempuan yang berjalan menuju ruangan tersebut dari belakang arahku, aku yang sedang mematung menjadi sedikit kaget dengan kedatangannya. Kulitnya putih dengan rambut kuncir kuda dan perawakannya yang tinggi.

Ia terhenti di depan ruang sanggar Seni kuno itu, dan merogoh sakunya. Ia mengeluarkan kunci dan langsung menancapkannya pada gembok yang menggantung di sana. Aku bingung, bukankah kata Iko ruangan itu tidak boleh di buka? Atau anak pelupa itu sedang mengerjai ku?

Aku masih memandang ke arah wanita itu yang tanpa sadar sedang aku perhatikan. Namun tiba-tiba saja setelah ia berhasil membuka gembok, ia menoleh ke arahku dengan cepat hingga aku merasa sedikit terkejut di tempat.

Setelah aku sadar bahwa ia sedang melihatku aku tersenyum ke arahnya. Namun tiba-tiba, ekspresi muka datar wanita ini berubah menjadi ekspresi yang sedikit membuat merinding. Ia meringis lebar dengan mata yang melotot.

Ulu hatiku memanas melihat senyumnya tersebut, hingga aku kembali dibuat kebingungan setelah mendengar kalimat yang wanita ini lontarkan setelah nya.

"Mikul nduwur, mendem jero"

Ia mengucapkan kalimat itu dengan lirih dan sendu seperti angin, namun anehnya kata per kata itu bisa ku dengar. Bahkan dengan sangat jelas hingga membuat perasaan merinding tadi kembali hadir. Aku berkeringat, padahal cuaca sedang tidak panas.

Wanita itu mengalihkan perhatiannya dariku dan melanjutkan aktivitasnya lagi. Ia masuk ke ruang sanggar seni itu dengan ringisannya yang tak ia sudahi.

"Aneh banget" aku berusaha menenangkan diri. Aku rasa badanku akan meriang karena udara tadi. Perutku sedikit mual dan lidahku terasa pahit.

Aku penasaran, siapa perempuan itu dan mengapa dia melihatku dengan ekspresi menakutkan tadi.

Akhirnya karena rasa penasaran yang tumbuh dalam diriku begitu besar, aku berniat menyusul masuk ke ruang sanggar Seni itu. Namun sebuah suara membuat ku terhenti.

"Nih lo bawa" lelaki tadi keluar dari ruang OSIS sambil membawa torso yang sebesar manusia itu di tangannya. Aku langsung menerima tanpa penolakan, karena ia memberikan paksa tentunya. Hal ini membuat ku lupa tentang hal yang baru saja terjadi.

"Berat banget jir, gotongan kek" keluhku.

"Cemen, gitu aja ga kuat" ia mencemooh membuat ku kaget, tak menyangka dia bisa menjawab sepedas itu juga ternyata. Tanpa basa basi, ia ikut memegang sisi yang lainnya.

"Jutek amat jadi manusia" umpatku sambil membopong bagian kepala Torso.

Akhirnya dengan cepat kami berdua pergi meninggalkan ruang OSIS dan kembali ke kelas dengan membawa benda tiruan manusia ini. Sebenarnya aku hendak bertanya padanya tentang ruang sanggar Seni yang katanya angker tadi. Namun aku urung karena aku rasa tidak ada gunanya juga bertanya pada orang jutek seperti dia.

...Bersambung....

Terpopuler

Comments

Pendreamer

Pendreamer

ketombe di selipan rambut?
baru denger istilah itu. boleh dijelasin, suhu?/Grin/

2024-02-20

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!