Bab 3

Aruni masih berguling dengan bantal guling dan selimut tebalnya. Meskipun beberapa kali diingatkan untuk segera siap-siap tapi dia tidak kunjung beranjak.

Tontonan di ponselnya masih lebih menarik daripada acara yang akan diadakan di rumahnya.

“Uni!” teriak Tuti. Dia menarik selimut sampai menghilang dari tubuhnya.

“Mama, kenapa sih?” Aruni merengut saat kesenangannya diganggu oleh mamanya.

“Kenapa-kenapa, buruan mandi. Ini sudah pukul 18.00, sebentar lagi tante Ismara datang,” omel Tuti.

Aruni duduk bersila. “Ma, kenapa nggak mama aja yang tunangan.”

“Heh!” Tuti menepuk lengan kanan Aruni. “Sembarangan kalau ngomong.”

Aruni terkekeh, dia senang sekali menggoda mamanya.

“Ma, Uni itu belum mau menikah. Uni masih mau jalan-jalan, berkarir, sukses,” cicit Aruni.

“Uni, kamu juga bisa melakukan semua itu setelah punya suami. Malahan bisa jalan-jalannya nggak cuma sama Bayu dan Novia. Tapi sama suami, bisa mesra-mesraan tanpa dosa,” papar Tuti.

“Nyatanya setelah menikah mama tidak bisa bebas. Pergi harus izin suami, masak, cuci baju, ngurusin rumah. Uni belum bisa mama,” tukas Aruni sembari melambaikan tangan kirinya.

“Pokoknya Uni nggak mau nikah sekarang, mana nggak kenal lagi.” Aruni menjatuhkan tubuhnya lagi. Menarik selimut sampai menutupi sampai kepala.

“Kalau kamu nggak mau siap-siap, mama tidak akan memberikan izin kamu buka toko. Mama akan jual toko itu,” ancam Tuti.

Aruni bangun, dia langsung loncat mencegat mamanya yang hendak keluar dari kamarnya.

“Mama, jangan begitu dong. Itu namanya curang pakai jual toko.”

“Makanya kamu sekarang segera siap-siap, dan ingat kamu harus terima perjodohan ini.” Tuti mengusap pipi Aruni.

“Satu lagi, pakai baju yang sopan. Awas pakai celana pendek sama kemeja,” Tuti menunjuk tubuh Aruni.

Aruni berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. Ancaman yang diberikan mamanya itu membuat dia tidak bisa berkutik. Haruskan dia kehilangan toko yang baru saja berjalan selama satu bulan.

“Pikir dong Uni, ayo mikir.” Aruni menepuk-nepuk keningnya.

Aruni berjalan mondar-mandir untuk mendapatkan sebuah ide cemerlang agar dia bisa membatalkan pernikahan dan toko tetap ada padanya.

Aruni menjentikkan jari tengah dengan ibu jari saat dia menemukan ide yang brilian.

“Kenapa nggak gue ambil saja sertifikat tanah toko, habis itu kabur. Uni-Uni lo memang cerdas.” Aruni memuji dirinya sendiri.

Aruni berjalan mengendap-endap menuju kamar mamanya. Dia mengawasi sekitar, saat kedua orang tuanya sibuk mempersiapkan pertemuan kedua dengan keluarga Panji. Aruni menyelonong masuk.

Aruni mencoba membuka brangkas tempat penyimpanan dokumen-dokumen penting.

“Loh, kok sandinya salah?” Aruni mencoba beberapa kali memasukan sandi tapi tidak berhasil.

Menurut Aruni tidak ada yang dengan sandinya, dia ingat jelas ketika kedua orang tuanya nomor sandi.

Sepertinya kedua orang tuanya sudah mengantipasi segala sesuatu yang terjadi. Aruni keluar dengan kesal, rencananya berlianya itu ternyata sudah terbaca jauh oleh kedua orang tuanya sebelum dia menemukan ide itu.

Karena sudah tidak bisa menghindar akhirnya Aruni menurut saja daripada kehilangan tokonya. Aruni dandan sederhana, dengan make up tipis natural.

Aruni memakai gaun casual  putih ramping vestidos  dengan lengan pendek yang membuat dirinya terlihat elegan. Dan rambut yang digerai dengan aksen kepang.

“Aduh calon mantuku cantik banget,” puji Ismara.

“Lihat Ji, kalau papa masih muda pasti kesengsem sama Aruni,” tambah Adi.

Dandanan Aruni malam ini memang membuat terpesona keluarga yang datang. Namun, tidak dengan Panji. Dia menatap sekilas, itu pun dengan tanpa ekspresi karena tidak ada ketertarikan sama sekali. Di matanya hanya pacarnya yang paling cantik dan menarik hatinya.

Aruni bisa melihat kalau di matanya itu ada kekesalan luar biasa. Dia tidak tahu apa usaha kedua orang tuanya hingga membuat Panji ikut datang ke rumahnya.

“Begini Tuti, Dwi kita ajukan saja tanggal pertunangan mereka berdua,” kata Ismara.

“Kalau aku sih setuju-setuju saja. Gimana Uni sama Panji saja,” Tuti menyerahkan hari pertunangan kepada mereka.

“Uni, Panji, gimana?” tanya Adi.

“Gimana kalau tiga atau empat tahu lagi Om?” ceplos Aruni sembarangan.

“Itu kelamaan sayang, kita kan mau cepat-cepat,” tutur Adi halus.

“Panji menolak --,” Panji menghentikan ucapanya ketika Ismara memegang tangan Panji.

“Panji, kita sudah bahas kan masalah ini,” Kata Ismara.

“Kalau memang Mas Panji menolak, maka dengan senang hati  Uni terima,” jawab Aruni dengan senang.

“Uni, kamu sudah siapa konsekuensinya?” bisik mamanya.

“Begini saja, pertunangan kita lakukan sekarang saja,” kata Adi.

“Aku setuju,” kata Ismara.

“Jangan ngaco ma, pa. Lagian Panji juga belum menyiapkan apa-apa untuk pertunangan.”

“Papa sama mama sudah menyiapkan.” Ismara mengeluarkan kotak cincin warna merah dari tasnya.

Panji mendengus. “Ma!”

“Kamu terima pertunangan ini atau melihat mama sakit?” bisik Ismara.

Panji menarik napas dalam-dalam. “Baiklah, Panji akan menerima pertunangan ini.”

“Lho, lho, kenapa mendadak menerima?” Aruni bingung. Dia awalnya senang mendengar penolakan Panji menjadi kesal setelah Panji berubah pikiran.

“Uni, kami memang dari rumah sudah berniat bakalan melamar kamu. Dan Panji sudah setuju dari awal, dia hanya gugup.”

Puji syukur telah terucap dari kedua orang tua Panji dan Aruni. Sedangkan anak mereka diam menjalani takdir mereka karena paksaan orang tua.

*****

Aruni melihat cincin yang sudah melingkar di jari manisnya. Dia tidak menyangka kalau kisah cintanya berakhir ditangan kedua orang tuannya.

Padahal dia sudah membayangkan kalau kisah cintanya itu indah. Bertemu, berkenalan, pedekate, lalu pacaran. Seperti orang-orang, yang dengan bangga memamerkan pertunangan dan juga pernikahannya.

Aruni memfoto tangannya lalu mengirimka ke Novia, dia hanya bisa membagikannya. Dia belum mau membuat geger teman-temannya.

Ponselnya langsung berdering setelah satu menit pesan gambar terkirim.

“Uni, lo tunangan?” tanya Novia tanpa sapa dan salam.

“Iya, baru saja selesai acaranya,” nada bicara Aruni masih sewot.

“Gila, lo beneran mau menikah dengan orang yang tidak dikenal?”

“Iya, dan lo tahu pernikahan gue sebulan lagi,” Aruni sedih.

“Bercanda lo nggak asyik deh.”

“Gue nggak bercanda, tunggu saja nanti undangan gue.”

“Secepat itu?” Novia masih tidak percaya sahabatnya akan melepas lajang dengan waktu singkat.

“Yakin, menikah itu sekali seumur hidup lho Uni. Lo nggak mau pikir-pikir lagi?” katanya lagi.

“Mau nolak atau kabur juga nggak mungkin. Karena ancamannya toko.”

“Jadi lo mengorbankan kebahagiaanya lo demi toko?”

“Iya Nov.”

“Lo selalu bilang kalau seumur hidup itu terlalu lama. Lo juga bilang hanya mau menikah dengan orang yang sefrekuensi dan saling mencintai satu sama lain,” cerocos Novia.

“Gue tidak bisa menjalankan prinsip yang gue pegang sejak lama. Toko gue,” rengek Aruni.

Aruni menarik benda pipih dari telingannya, dia menjatuhkannya bersamaan dengan tubuhnya. Aruni menatap langir-langit. Mimpi-mimpinya sebentar lagi akan menghilang, dia akan segera menjadi istri orang.

“Selamat tinggal masa remajaku, selamat tinggal duniaku.” ucap Aruni sembari menutup kedua matanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!