Melawan Semesta 4

"Nah bu Lusi, ini anak saya seumuran dengan Julian. Jun, ini tetangga baru kita. Salam gih"

Lusi masih begitu setia dengan senyuman hangatnya namun tidak dengan Julian. Dia bahkan begitu kikuk dan mati kutu. Apalagi Junan begitu lekat menatapnya dengan tatapan sulit ia artikan.

"Jun, kok bengong sih. Ayo salaman" Maria memecahkan lamunan Junan.

"Ah emmm...saya Junan tante" dengan sopan mengulurkan tangan mencium punggung tangan Lusi.

"Sopan banget anaknya bu, salam kenal ya Junan. Ini anak tante, Julian namanya" Lusi melirik Julian sekilas.

"Oh jadi namanya Julian" batin Junan. tatapannya ia arahkan kembali kepada Julian yang benar-benar memaksakan senyum di wajahnya. Senyuman manis yang membuat Junan diam beberapa saat sebelum dirinya mengulurkan tangannya ke depan. "Saya Junan" ucapnya.

Julian menatap tangan Junan yang terulur di depannya. Hingga ia menjabat tangan itu dan saat itulah kulit mereka saling bersentuhan. "Julian"

"Masih mau beres-beres ya bu Lusi. Ayo bu saya bantu, kebetulan saya tidak ada pekerjaan. Mau dibawa masuk ke dalam kan barang-barangnya. Ayo saya bantu bawa masuk ke dalam"

"Terimakasih banyak bu Maria, padahal kami bisa sendiri kok"

"Ah tidak masalah, sebagai tetangga yang baik hati memang harus membantu bukan"

Maria begitu antusias bahkan sudah terlihat begitu akrab dengan Lusi. Sambil mengangkat barang-barang tetangga barunya, Maria mengikuti langkah Lusi masuk ke dalam meninggalkan putra-putra mereka yang bahkan masih saling berjabat tangan.

"Emmm maaf, tangan saya" cicit Julian ketika tangannya tidak juga di lepas oleh Junan.

"Ah maaf" Junan perlahan melepas tangan yang lembut itu.

Julian begitu kikuk saat ini. Tidak disangka ia akan bertemu dengan laki-laki yang sempat ia cium satu hari yang lalu. Bahkan untuk menatap Junan saja, Julian begitu malu. Kepalanya tertunduk meremas jemarinya, begitu gelisah. Sementara Junan mengangkat satu alisnya melihat sikap laki-laki yang ada di depannya itu. Dia dapat merasakan kalau Julian tidak nyaman dan seakan takut bersamanya saat ini.

"Saya masih makan nasi" ucap Junan yang tiba-tiba.

"Hah...?" Julian mendongakkan kepalanya menatap bingung Junan yang sedari tadi menatapnya intens.

"Kenapa kamu seakan melihat hantu kalau melihatku. Saya bukan kanibal yang makan manusia, saya masih makan nasi. Lagipula kalau saya makan kamu, apa yang bisa saya makan, kurus begitu" Junan menatap Julian dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Tepat keduanya saling tatap, Julian menatap sinis namun Dimata Junan dia begitu lucu. Bukan tatapan Julian yang ia perhatikan namun wajah rupawan juga wajah cantik Julian. Memang benar apa yang dikatakan Maria, Julian adalah laki-laki namun terlihat cantik dengan mata yang bulat dan dua bola mata yang indah. Hidungnya mungil juga bibirnya merah muda yang tipis serta bulu mata lentik yang ia punya. Jika tersenyum maka kedua lesung pipinya akan terlihat. Wajahnya mulus, Junan akui kalau dia cantik bukan tampan.

"Loh kamu belum berangkat juga Jun, sudah mau jam tujuh loh ini. Ngobrolnya nanti saja, sana berangkat" Maria mendorong bahu Junan untuk kembali ke motornya.

"Iya ini juga mau berangkat" Junan mengambil tangan Maria dan menciumnya, tidak lupa mengecup kening ibunya itu dan semua itu terjadi di depan Julian.

Junan pergi begitu saja setelah bersalaman dengan ibunya. Menaiki motornya dan meninggalkan rumah. Julian masih setia melihat punggung Junan yang semakin jauh.

"Pakaiannya macam preman, pasti di sekolah dia siswa nakal" batinnya.

Melihat penampilan Junan tadi, Julian berasumsi kalau Junan adalah murid yang naka di sekolah. Junan tadi sempat melepas topinya saat akan menaiki motornya sehingga Rambut grondongnya terlihat.

_____

"Bos dapat banyak kita nih" Edwin mengumpulkan hasil mereka memalak di atas meja. Di belakang gudang yang tidak dipakai lagi, biasanya mereka akan berkumpul di tempat itu. Atau kalau biasanya nongkrong di depan sekolah, memperhatikan para cewek yang lalu lalang. Sekedar hanya untuk melihat bodi bohay dimana terkadang baju seragam siswi yang pres sehingga dada mereka terbentuk. Juga rok yang begitu pendek, geng mereka ini begitu senang melihat hal yang seperti itu.

Junan yang mengisap rokok, mengalihkan pandangan kepada banyaknya lembaran uang kertas di atas meja. Kursi-kursi juga meja yang tidak terpakai lagi menjadi tempat mereka duduk bahkan berbaring.

"Party dimana kita...?" Tanya Junan setelah mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.

"Gimana kalau kali ini kita nongkrong di cafe saja. Sekali-kali munuma kopi dan makan kue, jangan yang bersoda mulu dan karaokean. Bosan juga lah" Gafar memberikan usul. Sibuk dirinya menghitung uang yang lumayan banyak itu.

"Gimana bos...?" Genta menanyakan persetujuan Junan.

Habis dengan rokoknya, Junan yang sedang berbaring menarik diri untuk duduk. "Boleh boleh, sekalian gue mau beliin ibu gue kue. Belum pernah dia cicipin kue di cafe-cafe" Junan menyetujui.

"Oke gas. Eh tapi ngomong-ngomong elu dapat lagi hadiah nih. Dari Caca, kayaknya barang mahal deh" Genta memberikan sebuah kotak hitam kepada Junan.

Helaan nafas panjang keluar dari lubang hidung Junan. Begitu malas dirinya selalu diberikan sesuatu yang sangat tidak ingin ia ambil. Bahkan sudah beberapa kali menolak namun gadis yang bernama Caca itu tidak pernah pantang menyerah untuk mendekatinya.

"Malas gue, balikin lagi sama yang punya" Junan kembali berbaring dan menutup kedua matanya dengan lengan kokoh miliknya.

"Benaran nggak mau ambil bos, buat gue aja gimana" Edwin mengambil kotak itu dari tangan Genta. Memeriksa isinya dan terperangah dengan isi di dalamnya. "Waah ini jam tangan mahal bos, benar nggak mau ambil saja...?" Edwin membolak-balik benda itu.

"Nggak, dan kembalikan pada pemiliknya. Beritahu jangan berikan gue apapun lagi dan juga berhenti ganggu gue"

Pulang sekolah maka disinilah mereka, di cafe yang diusulkan oleh Gafar. Masih berpakaian sekolah tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, mereka datang nongkrong di cafe yang tidak jauh dari sekolah mereka.

Menghabiskan waktu hingga sore hari menjelang dan memutuskan untuk pulang ke rumah.

"Kalian duluan saja, gue mau singgah di minimarket dulu" ucap Junan setelah memakai helmnya.

"Nyokap lu punya kios dirumah bos, masih butuh juga lu minimarket" seru Genta yang sudah naik di atas motornya.

"Gue mau beli sesuatu yang nggak ada di kios nyokap gue"

"Apaan...?" Edwin penasaran

"Kond**"

"Anjir"

"Woi tuh mulut di rem dikit napa, mau di lempar lu pakai sendal" Junan melirik sinis ke arah Edwin.

"Mau bikin sama anak siapa bos, kasian loh anak orang"

Junan mendelik mendengar ucapan Genta. "Bukan buat gue tapi buat pretty" jawab Junan dengan asal.

"Si pretty lagi birahi...?"

"Birahi gigimu, gue tampol tuh mulut lama-lama ya" Junan menajamkan mata kepada Gafar. Memang kurang ajar mulut temannya yang satu ini.

"Ya habisnya bos jawabnya buat si pretty, gue kan shock bos"

"Ck" Junan mendelik. "Lagian kalian bodoh banget gitu aja percaya sama omongan gue" dan tanpa berbicara lagi,bia menjalankan motornya meninggalkan teman-temannya.

Masuk ke dalam minimarket mencari sesuatu yang ia butuhkan. Kemudian membayar dan keluar menuju motornya. Tiba di rumah mencari keberadaan ibunya namun ia tidak menemukan wanita yang telah melahirkannya itu.

"Ibu kemana sih, tumben nggak ada di rumah"

Meletakkan kue yang tadi ia beli di cafe di atas meja, Junan menaiki anak tangga menuju kamar. Berganti pakaian dengan celana pendek dan baju tanpa lengan menampilkan otot-ototnya yang kekar. Kebiasaannya memang seperti itu.

Kembali turun ke bawah dan mendapati sang ibu di dapur. "Darimana bu, dipanggil-panggil nggak nyahut. Di kios juga nggak ada" Junan menuang air putih di gelas dan meneguknya.

"Dari rumah bu Lusi tapi ternyata dia belum pulang. Hanya ada Julian dan ibu lagi ambil lauk untuk Julian. Kebetulan kamu sudah pulang, kamu bawakan lauk ini untuk Julian ya, ibu mau layani dulu pembeli tuh di depan"

"Malas ah, biar Junan yang layani pembeli nanti ibu sendiri yang ke rumah itu"

"Nggak bisa, ibu juga ada perlu sama bu Tuti. Udah sana bawa lauknya, kamu kenapa sih pemalas banget. Lagian supaya kamu dekat sama Julian, kasian dia sendirian nggak punya teman. Ibunya kayaknya malam baru pulang. Sana sana, jangan banyak alasan" Maria memberikan piring berisi lauk ke tangan Junan dan mendorong bahu anaknya itu untuk bergerak.

Dengan misuh-misuh Junan tidak punya pilihan. Ibunya memang sudah seperti itu dan dirinya tidak bisa membantah atau akan terkena omelan dari sang ratu.

Berjalan membuka pagar melihat rumah di sebrang sana. Alisnya terangkat ketika ia menangkap sosok Julian yang sedang bermain dengan si pretty. Kucing putih itu berada di pangkuannya. Sampai Junan bergerak mendekati rumah itu, bahkan sudah berada tepat di depan Julian, remaja itu tidak sadar akan kedatangan Junan sebab terlalu sibuk dengan si pretty.

"Ekhem"

Junan berdehem, hingga membuat kepala Julian terangkat. Terkejut dirinya Junan tiba-tiba saja sudah berada di depannya.

"Suka kucing juga...?"

Jawaban itu diangguki oleh Julian dengan semangat. "Gue pernah punya kucing tapi mati karena ketabrak mobil. Kucing putih sama seperti si pretty" mengulas senyum Julian mengelus kepala si pretty.

"Tau dari mana kalau namanya pretty...?" Junan bingung sebab dirinya bahkan belum memperkenalkan kucing itu kepada Julian.

"Kata tante Maria namanya pretty. Cantik sama seperti kucingnya" Julian kembali mendongakkan kepala, menatap Junan yang rupanya sejak tadi terus memperhatikannya.

"Sini pretty" Junan mengambil pretty dari pangkuan Julian. "Ini buat elu" ia menyerahkan apa yang dibawanya tadi.

"Apa ini...?" Julian bangkit dari tempat duduknya hingga kedua saling berdiri berhadapan.

"Lauk untuk elu, kata ibu tante Lusi belum pulang. Siapa tau elu lapar jadi gue datang bawakan elu lauk. Ambil"

Julian belum juga mengambil piring itu, hanya menatap ragu untuk mengambilnya. Junan mengangkat satu alisnya menatap heran. "Kenapa...? Takut di racun...?"

"Ck, bukan begitu"

"Lalu...? Tanganku sudah kebas nih, kalau nggak mau gue balikkin lagi ke rumah"

"Eh jangan" buru-buru Julian menahan lengan Junan. Ia mengambil piring itu dari tangan Junan. "Terimakasih" ucapnya tersenyum.

"Dari tadi kek. Junan mendengus, duduk di kursi yang ada di samping Julian. Memangku pretty dan menatap Julian yang terus berdiri di tempatnya. Julian memalingkan wajah, sebenarnya ia masih belum berani dan masih begitu malu bertemu dengan Junan sejak kejadian kemarin.

"Okelah mungkin elu nggak nyaman di dekat gue, kalau gitu gue pulang. Jangan lupa makan, lauknya enak gue yakin elu pasti suka. Ayo pretty kita pulang, main sama papa di rumah" Junan mencium pretty dan meninggalkan rumah Julian.

Punggung kekar itu menjadi pemandangan bagi Julian sebelum akhirnya Junan masuk ke dalam rumahnya. Julian pun membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.

Pagi harinya seperti biasa Maria akan melakukan paduan suara di dalam rumahnya, membangunkan putranya yang begitu susah untuk bangun pagi. Hal seperti itu sudah biasa terjadi dan sudah menjadi sarapan pagi untuk Junan.

"Selamat pagi bu Maria, pagi-pagi sudah tes suara saja bu" Lusi menyapa ketika Maria keluar membuang sampah.

Lusi sudah rapi begitu juga Julian yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Remaja itu sedang memakai sepatunya di salah satu kursi teras rumah.

"Haduh bu Lusi, saya tiap hari seperti ini. Maklum Junan susah sekali bangun pagi. Maaf ya kalau pagi-pagi sudah mengganggu ketenangan bu Lusi" Maria tidak enak hati, jangan sampai tetangganya itu tidak nyaman.

Lusi terkekeh dan menggeleng pelan. "Sama sekali tidak terganggu bu Maria, hal biasa mah itu kalau sudah menjadi seorang ibu. Saya juga kadang harus membangunkan Julian kalau dia lagi malas bangun"

"Julian sudah mulai masuk sekolah ya...?"

"Iya tante" Julian menjawab ketika dirinya sudah berdiri di samping sang ibu.

"Bu.... sweater merah ku dimana...?" Teriakan Junan terdengar di telinga mereka.

Maria menghela nafas meminta pamit kepada Lusi untuk mengurus keperluan putranya.

"Ibu...."

"Iya iya.... ASTAGA, kebiasaan sekali manggil-manggil kayak toa masjid" dengan bersungut-sungut, Maria masuk ke dalam rumah.

Lusi hanya tersenyum meminta Julian untuk masuk ke dalam mobil dan akan mengantarnya ke sekolah. Beberapa menit Julian dan ibunya berlalu, Junan keluar dari rumah dengan tergesa-gesa. Kancing seragamnya ia biarkan terbuka menampakkan kaos putih dalaman yang ia pakai. Tidak lupa memakai topi untuk membungkus rambut gondrongnya. Menyalakan mesin motor dan tancap gas meninggalkan rumah.

Terpopuler

Comments

🇲🇾WatiAsahi

🇲🇾WatiAsahi

Author...apa ini novel kisah cinta LGBT???🤔🤔🤔

2024-01-19

0

warkop Teteh kuningan

warkop Teteh kuningan

kok keknya Julian cowok yg gemulai yah,gak ada tegas² nya gitu nunduk mulu

2024-01-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!