Melawan Semesta 5

Buru-buru karena kesiangan apalagi sebentar lagi gerbang sekolah akan di tutup, 20 menit lagi ketika Junan melihat jam tangannya. Maka semakin kencang saja ia melajukan motornya. Sayangnya ia harus berhenti sebab di depan sana dua orang yang ia kenal berdiri di samping mobilnya yang sepertinya terlihat sedang bermasalah.

Pelan Junan menjalankan motornya dan berhenti di samping mobil. Kedua orang itu menoleh, Lusi tersenyum melihat Junan yang menghampiri mereka.

"Kenapa tan...?" Tanya Junan yang turun dari motor.

"Nggak tau, tiba-tiba mobil tante mogok" Lusi menghela nafasnya, melirik Julian yang risau karena sejak tadi tidak ada satupun tukang ojek yang lewat. Emmm Junan sekolah dimana nak...?" Lusi kembali menatap Junan.

"SMA Nusa Bangsa Tan. Kalau mobilnya bermasalah biar saya telpon teman saya yang kerja di bengkel untuk datang menjemput mobil tante. Saya sebenarnya bisa saja perbaiki tapi saya harus sekolah juga"

"Kalau mobilnya gampang Jun tapi masalahnya Julian mau ke sekolah tapi dari tadi nggak ada ojek yang lewat. Emmm boleh tante minta tolong nggak Jun"

"Boleh tante, mau minta tolong apa...?"

"Kalian kan satu sekolah, Julian masuk di sekolah kamu. Kamu bisa bonceng Julian nggak Jun...?"

"Nggak usah bun, Lian nunggu ojek saja" Julian sangsi keberatan jika harus berangkat bersama Junan. Mereka tidak sedekat itu untuk ke sekolah bersama-sama.

"Tapi nggak ada ojek loh ini Lian, nanti telat bagaimana. Ini hari pertama kamu sekolah" Lusi nampak khawatir.

"Pasti ada kok Bun, bentar lagi Lian..."

"Bareng gue saja, 10 menit lagi gerbang sekolah tutup. Di sekitar ini memang jarang tukang ojek yang lewat. Ayo buruan, gue harus kejar waktu ini" Junan sudah kembali naik di atas motornya.

Julian nampak ragu, namun Lusi yang memintanya maka ia tidak punya pilihan lain. Ini memang adalah hari pertama ia masuk sekolah, memalukan bukan jika dirinya harus telat ke sekolah dan mendapatkan hukuman. Dengan setengah hati Julian naik di atas motor Junan, duduk di belakang laki-laki itu.

"Pergi dulu ya tan, nanti di sekolah saya hubungi teman saya datang jemput tante sekalian mobilnya di sini"

"Iya, hati-hati ya" senyum Lusi merekah melepas keberangkatan dua remaja itu.

Julian meremas baju seragam Junan, begitu takut akan jatuh sebab Junan melajukan motornya tidak kalah seperti pembalap di arena balap liar. Bokong Julian sampai harus terangkat ke atas dan mendarat lagi ke tempat duduknya saking kencangnya Junan mengemudi motornya.

"ELU KALAU MAU MATI JANGAN BAWA-BAWA GUE DONG. GUE MASIH MAU HIDUP" Julian meneriaki Junan, jantungnya tidak aman untuk saat ini. Tau begini, dia tidak akan mau menumpang di motor tetangganya itu.

"Kalau nggak ngebut kita bisa telat, lima menit lagi pagar sekolah tutup. Elu mau nggak bisa masuk, kalau gue sih nggak mau. Jadi terima saja takdirmu hari ini"

Julian mendengus kesal, ingin sekali memukul kepala Junan yang terlindung okeh helm juga topi yang ia pakai. Sayangnya kedua tangannya tidak bisa bergerak sebab sedang berpegang kuat di baju putih Junan.

Junan tau Julian ketakutan tapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Merasa bertanggungjawab agar yang ia bonceng tidak terjatuh, Junan mengambil kedua tangan Julian dan melingkarkan di perutnya.

Tentu saja Julian kaget, buru-buru ia menarik kembali kedua tangannya namun segera di tahan oleh Junan. "Peluk saja nggak apa-apa, anggap saja elu beruntung hari ini bisa meluk cowok populer di sekolah"

"Idih, sok kegantengan banget" Julian memutar bola matanya. Namun tangannya tidak lagi ia lepas, pasrah saja apalagi Junan menahan sekuat tenaga. Kekuatan Julian tidak seperti apa yang dipunyai oleh Junan.

"Nggak usah malu lah. Elu bahkan pernah melakukan hal lebih dari ini. Masih ingat kan kenangan kita berdua di desa Kenanga kemarin" Junan melihat Julian dari kaca spion motornya.

Sungguh Julian ingin menenggelamkan dirinya ke lautan. Begitu malu ketika Junan membahas hal itu. Semburat warna kemerahan terlihat di pipinya. Bibir mungilnya ia gigit, saat ini Julian ingin secepatnya pergi dari hadapan Junan.

Junan tersenyum tipis melihat Julian salah tingkah. Ia hanya mengelus lembut jemari Julian yang ia genggam saat ini. Entah itu ia sadari atau memang sengaja ia lakukan.

_____

"Pak...pak bentar pak" Junan begitu buru-buru turun dari motor begitu juga Julian. Keduanya berlari mendekati pagar saat satpam sekolah itu hendak menutupnya.

"Sudah telat, datang besok lagi"

"Masih ada 30 detik pak. 30 detik itu juga waktu loh pak, jadi kami berdua masih punya waktu 30 detik untuk masuk ke dalam"

Pak satpam melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, benar saja masih ada waktu beberapa detik lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan keduanya masuk. Sementara motor Junan dibiarkan begitu saja di luar pagar, tidak akan ada juga yang mengambilnya.

Mereka berpisah ketika sudah masuk di halaman sekolah. Julian menuju kantor untuk melaporkan dirinya kepada kepala sekolah sementara Junan tentu saja menuju kelasnya karena bel pelajaran pertama telah terdengar.

Karena tidak tau dimana letak kantor sekolah tersebut, Julian mendekati dua orang siswa yang berjalan tergesa-gesa entah darimana.

"Emmm permisi"

Kedua siswa itu menoleh dan menghentikan langkah. Dua gadis remaja itu menatap Julian dengan tatapan seakan kagum dengan sosok yang ada di depan mereka.

"Elu cowok...?" Tanya salah satunya, menatap begitu intens dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Iyalah, gue pakai celana begini bukan rok" Julian sedikit sewot.

"Habisnya kamu cantik, malah kalah cantik dari kami berdua. Iya nggak Ca"

"Murid baru ya...?" Caca tidak menjawab ucapan temannya, ia melontarkan pertanyaan karena baru kali ini melihat Julian.

"Iya, gue mau ke ruang kepala sekolah. Kantornya dimana ya...?"

"Lurus saja terus belok kanan. Oh iya kenalin gue Caca dan ini teman gue Andin" gadis yang bernama Caca itu mengulurkan tangannya.

Julian tersenyum dan membalas jabatan tangan Caca. Senyuman Julian membuat Andin terpesona, sungguh baru kali ini ia melihat laki-laki yang terlihat sangat cantik.

"Gue Julian. Makasih ya, gue ke kantor dulu kalau begitu" Julian meninggalkan mereka, melangkah ke arah sesuai yang diberitahu oleh Caca.

"Buset Ca, cakep banget. Cantik iya ganteng juga iya. Aaaaa fix dia jadi inaran gue sekarang" Andin terus memperhatikan punggung Julian yang menjauh.

"Ck, kalau masalah cowok ganteng elu memang juaranya An. Udah ah ayo masuk, bentar lagi pak Hakim masuk" Caca menarik tangan Andin yang masih mesem-mesem terpesona akan ketampanan dan kecantikan Julian.

Setelah menghadap kepala sekolah kini Julian akan diantar ke kelas yang akan menjadi tempatnya belajar sampai lulus. Saat ini dirinya mengikuti seorang guru yang akan membawanya ke dalam ruangan kelas. Kedatangan pak Hakim bersama Julian mengundang tanya dikepala semua siswa. Namun setelahnya mereka mengerti kalau di kelas itu ternyata kedatangan siswa baru

"Pagi anak-anak"

"Pagi pak"

"Hari ini kita kedatangan murid baru. Julian silahkan perkenalkan dirimu"

Julian tersenyum simpul, apalagi ketika matanya beradu tatap dengan seseorang yang ia temui tadi, senyumannya merekah pertanda ia senang bisa bertemu sosok itu lagi. Siapa lagi kalau bukan Caca, rupanya mereka mulai sekarang akan satu kelas dan akan sering bertemu.

"Halo semuanya, perkenalkan nama saya Julian Alvarez, saya pindahan dari Bandung"

"Oh my God, sepertinya gue berjodoh deh dengan Julian. Buktinya gue sama dia bertemu lagi" Andin tersenyum penuh semangat, Caca menatap jengah dan malas.

"Julian, kamu duduk di depan Rafael kursi kosong di ujung sana" perintah pak Hakim.

Julian mengangguk, berjalan mendekati bangku kosong. Ia duduk di depan seorang siswa yang sejak tadi menundukkan kepalanya dan sepertinya dia sedang tidur. Nanti setelah salah satu temannya melempar kertas ke kepala Rafael barulah remaja itu mendongakkan kepalanya.

Mengernyit keningnya ketika mendapati kursi kosong di depannya sudah ada yang menempati. Punggung Julian menjadi pemandangannya saat ini, ia penasaran namun tidak berniat untuk melihat wajah Julian. Dalam pikirannya nanti juga ia akan tau bagaimana wajah murid baru yang masuk ke dalam kelas mereka itu.

Satu hari di sekolah, Julian sudah menemukan teman baru, Reza namanya satu tempat duduk dengannya. Hanya dalam satu kali perkenalan, keduanya sudah begitu akrab tanpa rasa canggung sekalipun. Setelah pelajaran pertama selesai, Caca mendatangi Julian di mejanya bersama Andin tentunya.

"Hai" Caca menyapa, duduk di depan Julian juga Reza yang sibuk memasukkan buku ke dalam tas. "Nggak nyangka loh ternyata elu masuk di kelas ini"

"Itu karena dia berjodoh sama gue" cerocos Andin yang menatap kagum sosok Julian.

Caca memutar bola mata, Julian hanya tersenyum meringis mendengar ucapan Andin. Baginya dia sama sekali tidak tertarik dengan dua cewek yang ada di depannya sekarang. Julian akui mereka cantik namun Julian tidak mempunyai rasa lebih kepada mereka.

"Bukannya elu tergila-gila sama Genta ya gengnya si Junan" Reza mengucapkan hal yang rupanya Andin kesali. Wajah gadis itu menatap sinis dan cemberut.

"Junan....?" Mendengar nama Junan di sebut, Julian menjadi penasaran di kelas mana ia duduki laki-laki itu.

"Iya Junan Ardawardhana. Elu kenal...?" Reza beralih menatap Julian dimana kedua matanya bergerak-gerak mengingat sesuatu.

"Nggak" Julian menggeleng. Ia memang tau nama Junan dan dia adalah tetangganya. Namun mungkin saja yang disebutkan oleh Reza bukanlah Junan yang ia pikirkan sehingga dirinya menjawab tidak dari pertanyaan itu.

Sementara Caca, gadis itu menghela nafas ketika mendengar nama Junan. Mengalihkan pandangan ke arah luar dan tepat saat itu laki-laki yang selalu menjadi nomor satu dalam harinya lewat di depan kelas.

"Bentar ya" Caca bangkit begitu saja keluar kelas dengan terburu-buru. Ketiga orang yang ia tinggalkan melongo dan saling pandang.

"Kantin yuk" ajak Reza dan Julian mengangguk tanda setuju.

"Gue ikut" sela Andin.

"Ya kalau mau ikut, ikut saja. Nggak ada larangan juga kalau elu mau kantin. Ayo Lian"

Keduan beranjak dari kursi masing-masing, melangkah beriringan keluar kelas sementara Andin mencebik mengerucutkan bibir namun tetap mengikuti langkah keduanya.

Melewati beberapa kelas hingga mengambil jalan ke arah lapangan, baru juga menginjakkan kaki di sisi lapangan yang luas itu, sebuah bola datang tiba-tiba dan menghantam kepala Julian hingga ia jatuh tersungkur. Kedua tangannya ia jadikan tumpuan tubuhnya agar tidak terbaring di semen kasar itu. Dan karena itu juga kedua telapak tangannya terluka.

"WOI.... PUNYA MATA NGGAK KALIAN" Reza tersulut emosi, menahan kedua matanya menatap beberapa siswa laki-laki yang bermain basket di lapangan.

Andin membantu Julian untuk bangun. Suara sentuhan kaki di semen kasar itu terdengar seakan berlari mendekat. Seorang laki-laki berhenti tepat di depan Julian dan tanpa aba-aba langsung mengambil tangan Julian untuk ia lihat.

"Ikut gue" Rafael menarik pergelangan tangan Julian.

Julian mempertahankan posisinya, menarik tangannya dari pegangan Rafael. "Ini hanya luka kecil" ucapnya, enggan untuk mengikuti Rafael.

"Tapi berdarah Lian" Andin mengangkat sebelah tangan Julian.

"Ayo gue antar dulu ke UKS, kita obati lukamu" Reza merangkul Julian.

"Biar gue saja, gue yang melakukannya tadi jadi gue yang harus bertanggungjawab" tanpa meminta izin, Rafael menarik pergelangan tangan Julian membawanya menjauh dari kedua temannya menuju ke ruang UKS.

Sempat lagi menolak namun tidak dihiraukan oleh Rafael. Akhirnya Julian hanya pasrah saja mengikuti langkah kaki laki-laki yang terus menariknya menjauh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!